InternasionalOpini

Sejarah Musik Sesat

Oleh; Joss Wibisono*

LARANGAN mendengarkan jenis musik tertentu ternyata bukan cuma pengalaman kita di masa Demokrasi Terpimpin. Sekitar tiga dekade sebelumnya, di masa Nazi berkuasa, orang Jerman mengalami larangan serupa. Persamaan lain juga ada. Misalnya, musik yang dilarang diberi nama atau julukan tertentu. Di masa Demokrasi Terpimpin, lagu-lagu kelompok Koes Bersaudara—yang kemudian terkenal sebagai Koes Plus, disebut musik ngak ngik ngok. Itu belum cukup. Personel kelompok ini kemudian dijebloskan ke penjara. Lagu-lagu mereka yang ala Beatles itu dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa , bisa merusak moral generasi muda. Di masa Nazi, musik yang dilarang diberi julukan entartete musik atau musik sesat.

Kaum Nazi menggolongkan musik a-tonal atau musik yang tidak taat kepada satu jenis tangga nada tertentu, musik jazz dan, di atas segala hal bersifat teknis ini, musik karya komponis-komponis keturunan Yahudi ke dalam jenis musik sesat. Musik yang baik dan benar adalah musik yang diciptakan ras Arya, bangsa unggul yang ingin dimurnikan Hilter.

Setelah itu Nazi dan pendukungnya leluasa melarang segala macam konser, pertunjukan, bahkan menghalangi karier banyak artis, komponis, ahli musik serta guru musik. Semula larangan itu hanya diterapkan di Jerman, tetapi begitu Hitler mengumbar nafsu ekspansionisnya dengan memprovinsikan negara-negara lain, maka larangan tersebut berlaku di berbagai negara-negara Eropa lain yang dia duduki dan jajah.

Di Belanda, salah satu provinsi termuda dengan ‘gubernur’ Arthur Seyss-Inquart, orkestra terkenal Concertgebouworkest dilarang memainkan karya-karya Gustav Mahler. Padahal komponis ini sering mementaskan karya-karya simfoninya di gedung konser yang terletak di wilayah elit Amsterdam Selatan ini. Begitu eratnya hubungan Mahler dengan Concertgebouw, sampai-sampai pada tahun 1925 diselenggarakan Festival Mahler I. Karya-karya komponis keturunan Yahudi lain yaitu Mendelssohn dan Hindemith bernasib serupa, dihapus dari repertoir salah satu orkes yang terkenal di Eropa ini.

Lebih dari itu, dilangsungkanlah apa yang disebut “arisering van het Concertgebouw” atau peng-arya-an Concertgebouw. Semua karyawan Concertgebouw, dari atas sampai yang paling bawah diwajibkan mengisi formulir pernyataan Arya atau ari rverklaringen. Formulir A harus diisi para keturunan Arya, sedangkan Formulir B diisi keturunan Yahudi dan mereka yang berbau Yahudi, misalnya bukan Yahudi tapi kawin dengan Yahudi. Dari sini diketahui bahwa pada awal tahun 1941, Concertgebouw memiliki 16 orang, sekitar sepertiga dari seluruh pemain orkes, yang tidak bersih lingkungan. Mereka keturunan Yahudi atau berbau Yahudi. Tiga belas orang dideportasi ke kamp konsentrasi Barneveld untuk kemudian ke Theresienstadt, kamp konsentrasi khusus seniman, yang berarti tidak jauh lagi dari pemusnahan di kamar gas yang terletak di kamp konsertrasi Auschwitz .

Pada musim panas 1942, segenap Concertgebouw sudah diaryakan. Yang paling merisaukan pihak pimpinan adalah mencari pengganti para pemain keturunan Yahudi yang sudah disingkirkan itu. Pengaryaan ini tidak bisa tidak akhirnya berdampak juga pada mutu Concertgebouw. Kalau di lain pihak penguasa pendudukan Jerman masih juga belum puas, maka itu karena alasan lain. Di semua pilar gedung Concertgebouw terukir nama berbagai komponis. Ternyata nama-nama komponis Yahudi masih tertera, satu noda yang menyilaukan mata biru kaum Arya, penguasa pendudukan Jerman. Ini jelas harus dihapus. Maka, sesuai dengan hasil rapat Dewan Penyantun pada tanggal 13 Oktober 1942, disingkirkanlah nama-nama Mahler, Mendelssohn dan Rubinstein dari pilar-pilar gedung ini. Tapi, bagaimana dengan nama Hiller? Ternyata ada dua komponis yang memiliki nama keluarga Hiller. Hiller yang manakah dia? Adam Hiller yang Arya atau Ferdinand von Hiller yang keturunan Yahudi?

Baca juga:  Rahasia Gus Dur Selalu di Rindukan

Di masa kekuasaan Nazi, kehidupan artis, komponis, ahli musik dan guru musik porak-poranda. Beberapa orang melarikan diri ke negara lain, tetapi banyak pula yang mati di kamar gas, hanya karena mereka keturunan Yahudi.

Di antara mereka yang mengasingkan diri terdapat Berthold Goldschmidt. Pada 1930, dia mencipta opera der gewaltige Hahnrei, yang artinya kira-kira Suami Tertipu yang Jempolan. Untuk pertama kalinya opera ini dipanggungkan pada bulan Februari 1932 di Mannheim. Rencana pementasan berikutnya, di Berlin pada tahun 1933 dibatalkan, karena dia keturunan Yahudi. Opera Goldschmidt dengan begitu termasuk jenis musik sesat. Kini, der gewaltige Hahnrei mulai ditemukan kembali dan menjadi repertoir baru beberapa gedung opera besar di Eropa. Untunglah Goldschmidt berhasil menyelamatkan diri dari cengkeraman Nazi dengan mengungsi ke Inggris. Tapi, ya begitulah, kariernya sebagai komponis hancur, padahal ia begitu berbakat untuk menjadi besar, seperti Richard Wagner atau Richard Strau . Ketika meninggal dunia dalam usia 96 tahun pada tahun 1995, Goldschmidt hanya sempat mencipta dua opera, yaitu der gewaltige Hahnrei dan Beatrice Cenci.

Salah seorang yang paling terkenal di antara mereka yang mati di kamar gas adalah Viktor Ullmann, pencipta opera kamar der Kaiser von Atlantis. Opera ini diciptakannya di kamp konsentrasi Theresienstadt, sebuah kamp yang tidak jauh dari Praha. Di Theresienstadt itu, atau Terezin dalam bahasa Czeko, Nazi mengumpulkan para seniman untuk dipamerkan kepada dunia internasional bahwa yang disebut kamp konsentrasi itu baik adanya. Bahkan Nazi sempat membuat film propaganda tentang Theresienstadt yang mengesankan seolah-olah kamp ini adalah kota Yahudi (padahal keturunan Yahudi tidak pernah hidup menyendiri, mereka sudah berintegrasi dengan warga setempat) dan seolah-olah penduduknya hidup aman tentram (padahal Theresienstadt adalah kamp konsentrasi). Harus diakui dibandingkan dengan kamp-kamp lain, Theresienstadt termasuk lumayan. Namun, kebiadaban yang terjadi tetap sama. Ketika sejumlah penghuni Theresienstadt sibuk menggubah musik, bermain biola, melukis atau berpuisi, bahkan tampil dalam konser, sesama penghuni kamp lainnya diangkut ke kamar gas di kamp konsentrasi Auschwitz .

Opera der Kaiser von Atlantis berkisah tentang seorang kaisar yang kejam, begitu kejamnya, sampai-sampai panglima angkatan bersenjatanya yaitu Kematian (der Tod) jadi muak. Alkisah, suatu ketika sang kaisar mengumumkan perang massal, yang oleh Kematian serta merta dianggap sangat keterlaluan. Dia mogok, menolak melaksanakan tugas utamanya: mematikan siapa saja.

Ketika perang massal berlangsung, dan semua orang saling membunuh, ternyata tidak satu pun menemui ajal, walau pun darah sudah membanjir ke mana-mana. Ini terjadi karena itu tadi: sang Kematian mogok kerja. Muncullah kekacauan yang tidak terbayangkan. Kekaisaran terancam ambruk dalam anarki dan darah. Sang kaisar menghampiri Kematian, menghiba-hiba kepadanya supaya berhenti mogok. Ketika Kematian menghentikan pemogokannya, maka korban pertamanya adalah sang kaisar itu sendiri.

THERESIENSTADT di musim gugur 1944, Viktor Ullmann dan dirigen Rafael Sch chter bekerja keras mempersiapkan pementasan pertama sebuah opera, yang libretto atau syairnya ditulis penyair muda belia Peter Kien. Tapi upaya mereka sia-sia. Beberapa hari sebelum premiere-nya, tepat pada tanggal 16 Oktober 1944, Viktor Ullmann, Rafael Sch chter, bersama sebagian besar penyanyi yang akan tampil, termasuk Peter Kien yang berusia 22 tahun, diangkut ke kamar gas di Auschwitz.

Nazi sudah di ambang kekalahan. Wilayahnya sudah banyak yang jatuh ke tangan Sekutu. Hitler marah besar. Untuk melampiaskan amarah, ia memerintahkan pemusnahan makin banyak lagi tahanan di berbagai kamp konsentrasi, yang sementara itu sudah bukan hanya terdiri dari keturunan Yahudi, tetapi juga kaum Sinti dan Roma, homoseks, komunis serta kalangan lain yang dianggap Hitler sebagai subversif. Dilaporkan bahwa kamar gas dan krematorium kamp Auschwitz sampai harus bekerja 24 jam sehari akibat perintah Hitler tersebut.

Baca juga:  Joe Biden Angkat Bicara Terkait Krisis di Afghanistan

Pada saat-saat terakhir di tengah pemberangkatan paksa sekitar 18.500 orang ke tempat pemusnahan itu, Viktor Ullmann berubah pendirian. Naskah der Kaiser von Atlantis dan beberapa komposisinya yang lain tidak jadi dibawanya ke Auschwitz, melainkan diserahkannya kepada salah seorang temannya, dengan pesan supaya kalau dia tidak kembali naskah itu diserahkan kepada H.G. Adler, sahabat karibnya.

Setelah perang, Adler yang berhasil selamat dari pembantaian Nazi, gagal meyakinkan beberapa gedung opera Jerman supaya bersedia mementaskan opera ini. Dia lalu berimigrasi ke Inggris. Alhasil der Kaiser von Atlantis tidak pernah dipentaskan lagi, sampai akhirnya dilupakan orang. Untung saja partitur opera itu tidak sampai hilang lenyap.

Pada 1972 dirigen Inggris Kerry Woodward menemukan naskah opera ini secara tidak sengaja. Ketika itu dia tengah asyik membongkar-bongkar arsip keluarga Adler. Sambil merekonstruksi kembali opera itu, karena ternyata ada satu halaman yang hilang, Woodward mendesak berbagai gedung opera Jerman supaya bersedia mementaskannya. Lagi-lagi, tidak satu pun tertarik.

Namun, usaha keras Woodward tidak selamanya gagal. Dalam festival seni musim semi, Het Holland Festival, di Amsterdam pada 1975, der Kaiser von Atlantis dipanggungkan untuk pertama kali. Woodward mengaku sempat gemetaran hebat dan berdiri buku kuduknya ketika merekonstruksi opera ini. Libretto atau syair opera tersebut diketik di balik formulir pendaftaran orang-orang yang masuk Theresienstadt. Di situ tercantum berbagai data, seperti nama dan tanggal lahir, dan, yang paling mencekam, menurut Woodward, pada formulir itu juga tercantum tanggal saat orang-orang ini diangkut ke Auschwitz, tempat mereka digas. Peter Kien, sang penulis libretto atau syair, dipekerjakan di bagian administrasi kamp, sehingga tidak mengherankan kalau ia menggunakan formulir itu untuk menulis syair-syairnya.

Nasib sial juga menimpa Ernst Krenek, padahal ia bukan keturunan Yahudi. Dari daerah asal mereka di Czeko, orang tua Krenek berimigrasi ke Austria, dan pemuda berambut pirang bermata biru ini (rambut dan mata seorang keturunan Arya) dibesarkan di alam kesenian Austria yang mencapai puncaknya pada periode interbellum atau masa antara dua perang dunia.

Krenek tampil sebagai seorang komponis, dirigen, pianis, sekaligus pengarang, dan pendeknya dalam ukuran apa pun jelas Ernst Krenek ini luar biasa. Dalam dunia musik dia dikenal sebagai tokoh ultra-modernist dengan musik avant-garde ekspresionis yang tidak perduli lagi dengan tradisi bahwa sebuah gubahan musik harus taat pada satu tangga nada tertentu. Beberapa karya musiknya memang a-tonal. Dia juga termasuk perintis musik 12 not. Aliran ini menolak musik tradisional yang hanya mengenal delapan (oktaf) not pada satu tangga nada. Jelas inilah yang oleh kaum Nazi disebut sebagai musik sesat tadi.

Tetapi kaum Nazi baru mendapat kesempatan menggebuk Krenek ketika opera pertamanya dipentaskan. Opera pertama yang begitu sukses, Jonny Spielt Auf menampilkan seorang kulit hitam (baca: bukan kulit putih Arya) sebagai salah satu tokoh utama. Dan inilah opera jazz pertama di dunia!

Kaum Nazi berdemonstrasi besar-besaran ketika Jonny Spielt Auf dipanggungkan di Wina pada 13 Januari 1928. “Gedung Teater Kita Dikotori oleh Pertunjukan Yahudi-Negro,” begitu tulisan yang tertera dalam salah satu spanduk di depan gedung Wiener Staatsoper.

Sejak itu, Krenek mulai dijauhi orang. Namanya tidak dikenal lagi. Tahun 1938 Hitler menginvasi , lalu diumumkanlah integrasi, “der Anschlu ”, negeri ini ke dalam Jerman Rayanya. Pada tahun itu juga bergegaslah Krenek ke pengasingan di Amerika Serikat, memulai hidup baru yang ternyata juga tidak gampang.

Baca juga:  Mantan Tentara yang Menolak Putus Asa

Fasisme Hitler, tak pelak lagi, juga memporak-porandakan sejarah musik Jerman. Kalau ditanya siapa sebenarnya komponis opera Jerman sesudah Richard Wagner, orang Jerman tidak tahu lagi jawabannya. Wagner adalah komponis opera Jerman yang sangat kontroversial karena termasuk kalangan anti-semit. Dia komponis romantik terkenal dari abad 19 dan telah menciptakan 13 opera. Operanya yang terkenal der fliegende Holl nder dan sebuah opera siklus der Ring des Nibelunge.

Ada yang berkata bahwa Richard Strau layak menempati posisi setelah masa Warner. Dia telah menggubah 15 opera, termasuk Salome dan Elektra. Tapi sebagian orang menyebut nama Kurt Weill. Dia menciptakan die Dreigroschenoper dan Aufstieg und Fall der Stadt Mahagonny atas libretto karya Bertolt Brecht. Tak sedikit yang menyebut nama lain. Ini semua membuktikan bahwa betapa kacaunya sejarah musik Jerman akibat Hitler berkuasa.

Bahkan 50 tahun setelah kekuasaan Nazi berakhir, orang masih sulit menulis sejarah opera Jerman. Ulah Hitler melenyapkan komponis opera yang kebetulan semuanya keturunan Yahudi sangatlah efektif. Tidak seorang pun yang tahu percis, siapa saja komponis keturunan Yahudi yang pernah menggubah berbagai karya musik, termasuk opera, dan di mana pula karya-karya mereka tersimpan.

Sejarah, begitu sering disebut, ditulis oleh mereka yang menang dan berkuasa. Mereka yang kalah, walau pun sebenarnya pernah membuat sejarah, pasti akan tersingkir dari sejarah karya sang pemenang itu. Sejarah musik Jerman juga tidak luput dari perangkap ini.

Sekarang tabir gelap sejarah musik Jerman di masa Hitler pelan-pelan tersingkap. Misalnya, tentang opera gubahan Krenek Jonny Spielt Auf . Sampai sekarang banyak orang menduga bahwa opera jazz pertama di dunia adalah Porgy and Bess ciptaan komponis Amerika keturunan Yahudi Rusia, George Gershwin. Pada tahun 1928, sebelum menciptakan Porgy and Bess tahun 1934, Gershwin sampai-sampai merasa perlu untuk bergegas ke Wina menyaksikan opera jazz gubahan Krenek ini. Dengan ditemukannya kembali karya Krenek tadi, maka jelas sejarah musik jadi lain.

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa kekuasaan, terutama kekuasaan yang sewenang-wenang, jelas adalah biang keladi di balik terbuang percumanya usia produktif seseorang yang begitu berbakat. Bayangkan saja kalau misalnya Nazi tidak pernah berkuasa, tidak ada periode fasisme di Jerman, pasti orang-orang seperti Goldschmidt dan Krenek bisa terus berkarya. Wajah dunia musik dan opera pasti berbeda. Ullmann tidak perlu mati dalam kamp konsentrasi. Sampai hari ini tidak ada yang tahu berapa karya yang telah digubahnya, selain opera kamar der Kaiser von Atlantis dan sekitar 33 komposisi lain. Opera pertama Ullmann der Sturz des Antichrist atau Jatuhnya Antikristus yang dia ciptakan pada 1935, baru dipentaskan untuk pertama kali di tahun 1995 di Bielefeld.

Kini, 50 tahun memang telah berlalu, tapi orang tidak akan pernah berniat mengubur ingatan mereka tentang ulah Nazi. Sebaliknya, orang sekarang terus menggali, membuka kuburan Nazi, berupaya menemukan kembali apa-apa yang dulu pernah dikubur Nazi dari ingatan orang. Selain itu, tidak sedikit pula kalangan yang terus bertanya-tanya, walau pun Nazi itu sudah 50 tahun menjadi sejarah, telah menjadi sejarah pulakah metodanya?

*) Joss Wibisono kontributor sindikasi Pantau di Jordaan, Amsterdam. Artikel ini tayang di https://pantau.or.id/liputan/2006

Related Articles

Back to top button