OpiniRagam

Rokat Tase’ – Tradisi Syukur! Melepas Keduniawian

Oleh: Abu Rakso*

Wabah mengguncang dunia dan harus diterima oleh makhluk bumi, ditelan oleh sebagian manusia sebagai peringatan agar manusia benar-benar paham bahwa dunia adalah tempat yang tidak selamanya alias persinggahan semata.

Ujian sekaligus teguran adalah bukti kekuasaan Tuhan, supaya manusia dalam melakoni kehidupan bisa mengarahkan tujuan hidupnya sesuai tupoksi dan sewajarnya. Serasa jika manusia tanpa ujian dan tanpa teguran, akan semakin liar seakan tidak ada yang menandingi kepemilikannya. Sehingga lupa, bahwa kepemilikan yang saat ini dipeganganya; kekayaan, kedudukan dan apa pun yang melekat pada diri di dunia tidak lain hanyalah bersifat sementara.

Penyebaran wabah menjadi renungan, agar ketaatan hati dan perbuatan lahir perlu ditingkatkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Giliyang, yakni sebuah pulau kecil di antara gugusan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Madura. Tepatnya masuk wilayah Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Mereka ramai membaca burdah karya Imam Busyiri. Bahkan dilantunkan setiap malam, sembari keliling desa dengan berjalan kaki.

Selain itu, masyarakat Giliyang tidak meniadakan kegiatan lama para leluhur yang telah diwasiatkan kepada anak cucunya seperti halnya, “Rokat Tase”. ivermectina dosis en niños plm Dimana rokat tase’ berarti sedakah laut, masyarakat melakukannya dengan membuat perahu kecil yang bermuatan sesajen dan barang-barang penting lainnya.

Upacara adat ini dimaknai oleh masyarakat setempat sebagai bentuk rasa syukur dan pelajaran hidup. Bahwa harta-benda yang dimiliki akan ditinggalkan, seperti halnya perahu yang membawa sesajen dan kepingan dan lembaran rupiah ke samudera, dan tanpa kembali ke daratan.

Upacara adat yang digelar juga sebagai penghormatan kepada laut yang mana ikannya diambil setiap waktu. Tidak hanya ikannya, termasuk juga kekayaan lainnya seperti pasirnya bahkan. Yang mampu memberi ruang ekonomi kepada masyarakat desa, dimana hidupnya termasuk bagian dari alam semesta.

Baca juga:  Top-Topan

Warga membuat perahu kecil, bagian dari pelaksanaan Rokat Tase'

Untuk itulah diperlukan kesadaran, yang mana manusia tidak hanya harus beradab. Melainkan juga memiliki tata krama pada alam semesta, sebagai perwujudan syukur nikmat atas berkah Ilahi. Kurangnya rasa syukur adalah bentuk kesombongan, sebab awal rusaknya hati dan alam adalah kesombongan manusia. revolution ivermectin

Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Luqman ayat 18, yang mana melarang manusia berlaku sombong dan angkuh. “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Ayat diatas memperingatkan kita!  Selama hidup hanya memanfaatkan isi alam semesta dan berbuat “se enak e dewe” lupa atas kekayan yang diberikan Tuhan. Untuk itu disadari atau pun tidak. Sebagai manusia, kita tidak dapat membalasnya dengan sepadan. Bahkan kerakusan pun dijadikan landasan utama dalam membangun kerusakan juga mengundang malapetaka kehidupan.

Banyaknya musibah yang merajam dan menumpahkan air mata, harus mampu membuka magnet dan menghubungkan signal positif untuk merawat alam dan hubungan sosial. Maka perilaku batin terus diupayakan dan perbuatan lahir juga disterilkan, untuk menyelaraskan frekuensi kesemestaan dalam upacara adat. Sedekah laut dan puji-pujian yang mengantarkan jiwa-raga untuk semakin dekat dengan Tuhan.

Puluhan tahun hingga ratusan tahun silam, cerita tentang budaya Giliyang tidak lagi menjadi asing di pendengaran. Apalagi mengenai kebiasaan-kebiasaan yang selama ini mengakar dan sempat kita tiru, meski sempat vakum selama kurang lebih dua tahun tidak lagi ada yang melepas perahu kecil ke laut sebagai ajang selamatan desa.

Maka dengan istilah yang selamanya kita pegang, mepertahankan yang baik dan menerima apa yang telah dianggap baik. Sehingga bermacam doa dilangitkan, bermacam ritual dilestarikan. Tujuan perihal tersebut hanyalah mengharap ridha Allah SWT serta syafaat Nabi Muhammad SAW. Agar pandemi yang melanda pertiwi cepat berakhir.

Baca juga:  Ritual Apem dan Ketupat

Dalam rangka permohonan yang digelar, tidak hanya berpangku pada apa yang telah membudaya di masyarakat. comprar remédio revectina Tetapi hal lainnya dilakukan pula shalat sunah lidaf’il bala. Dengan harapan besar sebagai penangkal wabah atau pandemi yang mendunia. Sehingga dapat dipandang antara budaya lokal dan keorisinilan agama saling bersamaan dan tak ada yang dianaktirikan.

Mengapa sampai sekarang budaya dan agama tidak bisa dipisahkan, karena agama tersebar dibelahan Nusantara, melalui pendekatan budaya. Mungkin bisa terbilang rumit ketika agama harus berlawanan dengan budaya, dan dapat dipastikan Islam tidak akan menjadi mayoritas di tanah Indonesia tanpa melestrikan budaya. Oleh karenanya, ada qawaid yang bernarasi begini, “al-‘adatu muhakkamatun”. Artinya, “adat (kebiasaan) akan menjadi (keputusan) hukum”.

Tentu, mengenai adat yang saat ini dijadikan referensi oleh masyarakat Giliyang, apakah menuai sembilu. Keluar dari tatanan agama dan mendekati kesyirikan? Kalau penulis menyikapi tidak sampai ke maqam syirik, karena secara ketauhidan masyarakat yang ada di Giliyang tidak mudah menukarkan sifat Ketuhanan kepada benda yang hanya sekelas sesajen.

Hal ini sangat miris, jika hal sepele mengundang polemik dan melahirkan perdebatan yang tak berujung. Sesajen atau hal lain yang menjadi keyakinan masyarakat bukan lantas menduakan Allah, tetapi semata-mata menyadari bahwa begitu luas kasih sayang Tuhan, sehingga kita juga harus berbelas kasih pula kepada semua makhluk, selain bersedekah kepada manusia juga bersedekah kepada alam semesta yang Allah ciptakan.

Harapannya, wabah segera berlalu agar tidak ada lagi manusia yang saling menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Semakin bergelombang kita beradu lisan dan saling merasa benar sendiri dalam berargumen, maka akan semakin besar pula ujian dan musibah yang akan kita kunyah. Maka terapi setelah doa adalah kesadaran nurani masing-masing diantara kita. Serasa, bentuk kepedulian adanya burdah yang dilanggamkan serta menghidupkan nilai luhur para pendahulu tentu untuk keselamatan bangsa dan manusia.

Baca juga:  Layla-Majnun Menyikapi Patah Hati

NB: Penulis merupakan pria kelahiran Pulau Giliyang. Sehari-hari bertugas mengajar pada sebuah sekolah di desanya. Ia merupakan penulis buku berjudul “Sepasang Hati yang Terluka”.

Related Articles

Back to top button