Aswaja

Rabi’ah Al Adawiyah Perempuan Sufi Master

Oleh; KH. Husein Muhammad

Rabi’ah al-‘Adawiyah. Namanya sering disebutkan sebagai Rabi’ah al-Qaisiyyah dari Basrah, Irak. Lahir tahun 180 H. Nama perempuan ini begitu populer. Ia diingat orang, terutama dalam dunia sufisme, sebagai perempuan Ikon cinta Tuhan (al-Hubb al-Ilahi).

Dalam dunia filsafat Platonisme cinta semacam ini acap disebut dengan nama “Cinta Platonis” . Sebuah cinta kekaguman yang luarbiasa karena keindahan yang paripurna terhadap sesuatu. Cinta platonis diambil dari nama filsuf terkenal Yunani bernama Plato. Plato menulis definis cinta dalam karyanya, Symposium.

Hampir semua sufi besar menyebut nama Rabi’ah ini, baik dalam karya sastra prosa maupun puisinya. Tokoh perempuan ini mungkin paling banyak ditulis orang : para sastrawan dan para sufi besar. Beberapa tokoh yang menulis tentang Rabi’ah antara lain al-Jahizh, dalam “Al-Bayan wa al-Tabyin” , Abu Thalib al-Makki dalam “Qut al-Qulub” buku yang menginspirasi Imam Abu Hamid al-Ghazali, Abu al-Qasim al-Qusyairi dalam “al-Risalah”, Abd al-Rahman al-Sullami dalam “Dzikr al-Niswah al-Mut’abbidat al-Shufiyyat”, Ibn al-Jauzi, Farid al-Din al-Athhar dalam “Tadzkirah al-Awliya”, dan lain-lain. Belakangan filsuf Mesir terkenal; Abd al-Rahman Badawi menulis buku berjudul : “Rabi’ah al-‘Adawiyah Syahidah al-‘Isyq al-Ilahy” (Rabi’ah Adawiyah sang perempuan Sufi Martir).

Banyak teman mengolok-olok sikap hidup Rabiah yang eksklusif itu. Mereka seperti tak setuju dengan jalan hidupnya. Rabi’ah mengatakan :

“O. Tuhan, mereka mencemoohku,
lantaran aku mengabdi hanya kepada-Mu. Demi Kemuliaan dan Keagungan-Mu
aku akan mengabdi kepada-Mu dengan seluruh darah dan nafasku”.

Ia menggubah puisi :

يا ذا الذى وعد الرضا لحبيبه أنت الذى ما ان سواك أريد

Duhai Yang berjanji menyambut dengan riang kekasih-Nya
Duhai, Kau Yang tak ada yang lain yang aku harapkan

Konon, Rabi’ah juga acap mengunjungi ahli fiqh sekaligus sufi besar, Sufyan al-Tsauri, begitu pula sebaliknya, al-Tsauri sering mengunjunginya. Keduanya saling belajar dan terlibat dalam dialog-dialog cinta Tuhan yang sering membuat keduanya menangis tersedu-sedu dalam “Khawf” (khawatir, cemas) dan “Roja” (berharap).

Baca juga:  Tiga Tingkatan Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

Diceritakan pada awal perjalanan spiritualnya Rabi’ah dibimbing seorang sufi perempuan : Hayyunah. Puisi di atas berasal darinya. Rabi’ah suatu saat mendengarkan temannya bersenandung cinta kepada Tuhan :

Duhai Kekasih-ku Satu-satunya
Engkau yang memberiku kegembiraan membaca tiap malam
Lalu Engkau lepaskan aku ketika siang datang
Duhai Tuhanku, Aku ingin seluruh siang adalah malam
Agar aku selalu mesra bersama-Mu

Rabiah Tidak Menikah

Rabi’ah al-‘Adawiyah tak menikah sampai akhir hayatnya. Ia tak ingin menikah dengan laki-laki siapapun. Ia menolak laki-laki yang datang kepadanya, sekaya, sebesar, dan setinggi apapun keilmuan dan kehebatan laki-laki itu.

Seluruh hidupnya diliputi oleh gairah cinta kepada Tuhan, tak ada yang lain dan tak ingin yang lain. Hari-harinya disibukkan untuk menyebut Nama-Nya, memuji-Nya, mensucikan-Nya dan merindukan-Nya. Malam-malamnya dihabiskan untuk menjalin keintiman bersama-Nya. Hingga ia menjadi ikon Cinta Tuhan sepanjang sejarah.

Kisah perempuan masih panjang dan amat menarik.

Related Articles

Back to top button