NasionalNewsTelusur

Goenawan Mohamad: Kita cuekin apa yang heboh di luar itu

Penulis, Penghargaan, dan Marwahnya (1)

Arusmahakam.co, Jakarta – Sophocles merupakan pemenang penghargaan pertama kali di dunia, pada tahun 468 Sebelum Masehi (SM), ia merupakan penulis drama dan tokoh teater kuno di Yunani. Masyhur dengan menciptakan karya drama Oedipus the King dan Antigone.

Seperti diungkapkan oleh Goenawan Mohamad, penulis dan pendiri Tempo dalam Sarasehan Daring SATUPENA #2 pada Minggu (22/8/2021), “Penghargaan usianya sudah lama dari jaman Sophocles. Sophocles seringkali memenangkan hadiah dalam festival teater di Yunani lama,” jelasnya.

Penghargaan bisa berperan sebagai seleksi untuk melihat mana yang baik dan mana yang tidak. Tetapi mana yang baik dan tidak bukan ditentukan oleh sebuah hadiah sastra. Bob Dylan meraih penghargaan sastra, tetapi itu tidak menjamin karyanya lebih pantas dihargai ketimbang karya puisi Milan Kundera.

Pada tahun 1953 pemenang hadiah nobel kesusastraan adalah Winston Churchill. Yang mana ia merupakan seorang jurnalis, tentara yang piawai, dan juga menulis satu novel saja. Tetapi ia lebih dikenang sebagai pemimpin politik Inggris, ketimbang sebagai sastrawan. Perlu diketahui Winston Churchill merupakan Perdana Menteri Britania Raya dari tahun 1940 -1945.

“Pada akhirnya sebuah penghargaan ditentukan oleh satu kelompok penilai, yang mustahil mencerminkan nilai yang universal. Yang diterima dan diakui dimana saja dan kapan saja. Karena tidak ada standar yang universal dalam sastra, itu wajar dan harus diterima. Sastra bukan olahraga, dalam lari maraton misalnya. Waktu dua jam lima belas menit untuk jarak 42 Km itu merupakan prestasi hebat, yang diakui di London maupun di Lombok atau dimana saja,” jelasnya.

Sementara tidak ada ukuran semacam itu dalam sastra. Dalam sastra, tiap penilaian termasuk kritik dan penghargaan. Ada undangan yang datang untuk percakapan yang lebih jauh dan lebih dalam tentang sebuah karya. Itu pula yang terjadi dengan hadiah nobel.

Baca juga:  Perkuat Internet untuk Layanan Publik, Kominfo Siapkan Hot Backup Satellite

“Hadiah nobel ini khan dianggap sebagai penentu standar universal keunggulan dalam bidang sastra. Artinya menerima hadiah nobel untuk sastra, dianggap menandai prestasi puncak dalam kesusastraan. Baik di Swedia maupun di Indonesia, di Timor Leste maupun di Monaco,” ujar Goenawan Mohamad.

Namun ia juga memberikan penjelasan, jika ditelaah ada yang tidak benar dalam anggapan itu, serta banyak kelemahan dalam hadiah nobel. Juru hadiah nobel sastra yang dirahasiakan namanya, tidak mengenal banyak karya sastra di dunia. “Saya kira dan saya yakin tidak ada yang bisa membaca sastra Indonesia dalam bahasa Indonesia. Sastra Tagalog dalam bahasa Tagalog atau sastra Telugu dalam bahasa Telugu. Hanya bahasa-bahasa yang oleh orang Eropa dianggap bahasa besar, tanda kutip yang masuk ke dalam radar di Swedia. Radar yang misterius,” ungkapnya.

Dengan kata lain jangkauan komite nobel sangat terbatas. Bahkan banyak sastrawan terkenal yang menulis dalam bahasa past tense yang tidak jauh dari Swedia, juga tak pernah mendapat penghargaan nobel. Semisal Leo Tolstoy bahasa Rusia, Franz Kafka bahasa Jerman, Holly James bahasa Inggris hingga Federico dalam bahasa Spanyol.

“Kita tahu bahwa mereka yang saya sebut, menghasilkan karya-karya yang sampai sekarang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Tetapi mereka bukan penerima hadiah nobel sastra. Hadiah nobel juga menimbulkan kerancuan, yang kita lihat ketika nobel diumumkan adalah nama sastrawan bukan karyanya. Kita tidak tahu kebenarannya,” jelas penulis Catatan Pinggir ini.

Boris Leonidovich Pasternak penyair dan penulis Rusia, menerima penghargaan itu karena novelnya berjudul Doctor Zhivago atau karena sajak-sajaknya. Akhirnya orang banyak mengambil kesimpulan bahwa yang diberi hadiah nobel adalah sang pengarang.

Baca juga:  Dapat Kunjungan DPRD Bulungan dan Kukar Bahas Sosialisasi Perda

“Sementara itu kita tahu seorang sastrawan tidak selamanya menghasilkan karya bagus. Maka biasanya hadiah nobel dipesankan mencakup seluruh prestasi sastra seorang sastrawan, dan itu berarti diberikan di ujung karir. Ketika Albert Camus dalam umur 43 tahun menerima hadiah nobel, ia sendiri pucat. كرت اونو Karena ia merasa terlalu muda memperoleh itu. Dia ingin Andre Marrow yang mendapatkannya,” jelas GM.

Tetapi ia merasa penghargaan ini diberikan kepada seorang Aljazair, dan Albert Camus datang. Dengan kata lain orang sudah mengejek dia, begitu orang dapat hadiah nobel maka ia sudah selesai. بلاك جاك اون لاين Karena itu hadiah-hadiah lain pada penulis juga di Indonesia, harus diterima dengan proposional.

Goenawan Mohamad teringat perihal mengenai protes beberapa penulis pada tahun 1962, kepada HB Jassin yang memimpin majalah sastra. Dua penulis yang menjadi juara dua dan tiga protes, mengenai penulis yang menjadi juara pertama. Bahkan pada saat itu berkembang hingga jadi lawan politik dari HB Jassin.

“Waktu itu saya juga dapat hadiah, tetapi saya mengatakan ini khan cuma pendapat HB Jassin terhadap kita. Dan HB Jassin bukan Maha Tahu, banyak sekali kelemahannya. Kalau diberi penghargaan ya oke, tapi itu bukan menentukan bahwa yang tidak mendapat penghargaan lebih jelek dari karya saya,” jelasnya.

Belakangan ini Goenawan Mohamad mendengar ontran-ontran yang tidak begitu penting, mengenai orang yang mengangkat diri calon penerima nobel apa tidak. Karena menurutnya perihal yang seperti itu menunjukkan mutu manusianya. Sebaiknya para penulis tidak mempersoalkan perihal ontran-ontran tersebut, namun sebaiknya mempersiapkan bagaimana mengusahakan royalti dibayarkan dengan baik.

Ia berharap bagaimana buku dibaca oleh lebih banyak manusia Indonesia, bagaimana pendidikan sastra diperbaiki secara besar-besaran. “Kita tahu bahwa pendidikan sastra di sekolah sangat menyedihkan, karena yang diajarkan adalah nama, judul buku, dan tanpa mengenal apalagi menikmati karya sastra,” jelasnya. كاس يورو 2023

Baca juga:  KONI KUKAR TARGET 3 BESAR DI PORPROV BERAU

Pendidikan sastra seharusnya dimulai dengan gemar sastra, dalam hal ini metode Pak Tino Sidin sangatlah bagus. Bukan pandai menggambar tapi gemar menggambar. Dalam pendidikan sastra di Indonesia, sebaiknya gemar sastra. Goenawan mengingat pada masa Sekolah Dasar dahulu, Gurunya membacakan cerita-cerita dari buku. Akhirnya ia dan kawan-kawan tertarik menulis, bahwa ada yang berhasil atau tidak menjadi penulis itu soal lain. Tetapi apresiasi sastra itu dimulai dengan mengenal sastra.

“Gelar-gelar dan formalitas dalam kesenian kita, terutama sastra. Yang di frame di kotakkan begitu rupa, mematikan kreativitas dan mematikan apresiasi. Itu sebenarnya yang perlu diperjuangkan sekarang. Soal hadiah, soal pengurus jadi pengurus, itu sama sekali tidak penting. Organisasi sastra selain sastrawan, itu mengandung resiko. Karena selalu ada persoalan, siapa yang layak masuk kesana siapa yang tidak,” ujarnya.

Dengan begitu merendahnya, Goenawan Mohamad menyebutkan bahwa dirinya enggan masuk dan terlibat kesana. Karena tidak banyak yang bisa ia sumbangkan, lebih baik ia menulis. “Politik dalam organisasi kadang-kadang tidak bisa dielakkan, karena itu lebih baik saya tidak ikut dalam organisasi. Tetapi organisasi penting, kalau memperjuangkan seperti yang saya katakan tadi. Saya kira saya berhenti saja disini (berbicara lebih jauh, red), dan selamat melanjutkan diskusi yang sangat bermanfaat. Dan kita cuekin apa yang heboh di luar itu, terimakasih,” tutupnya. (Jun)

Related Articles

Back to top button