Tak pantaslah manusia menganggap dirinya sempurna. Mengingat manusia adalah tempatnya ketidaksempurnaan. Semakin merasa tak sempurna, itulah hakikat kesempurnaan manusia.
Manusia dianggap sempurna bila nyawa sudah tak di badan, bertemu dengan Maha Sempurna. Ia baru sadar kekurangan lantas sadar untuk menyempurnakannya. Di titik itulah menjadi penting bagi masing-masing orang untuk selalu menambal ketidaksempurnaannya.
Mengapa menambal? Manusia pada mulanya tidak sempurna, tapi secara fisik barangkali manusia bisa jumawa mengklaim makhluk paling sempurna. Tapi bersamaan dengan waktu, manusia mulai menemukan kekurangan demi kekurangan diri sejalur dengan pertumbuhan akal-pikiran dan perbuatannya.
Dari perjalanan itu, ketidakmaksimalan dalam berpikir dan berbuat dalam merespon situasi dan kondisi, manusia mulai sadar pada kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Kekurangan pun menganga. Ketidaksempuranaan mulai nampak jelas. Manusia lantas dituntut untuk menambal ketidaksempurnaan itu.
Menambal yang Bolong
Manusia memang tempatnya bolong, kalah karena memang tak selalu menang, dan suka bermalas-malasan. Tapi, manusia pula tempat Tuhan memberi wewenang menjadi khalifah-Nya dan melantiknya sebagai hamba-Nya secara bersamaan.
Apa maksud Tuhan dengan itu semua? Tak lain, Dia ingin menunjukkan bahwa manusia memiliki segala potensi yang ganda secara bersamaan. Satu sisi menjadi hamba, sedang sisi lain sebagai khalifah.
Nah, untuk memiliki peran hamba dan khalifah, manusia harus terus tambal-menambal segala kekurangannya. Misalnya saja, kita masih sering menikmati kemalasan. Banyak sekali pekerjaan yang tidak segera tuntas dan tertunda.
Sebenarnya manusia memiliki potensi untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. Persoalannya, bagaimana mengelola kemalasan menjadi potensi? Tentu masing-masing dari kita harus menemukan teknik sendiri-sendiri.
Maaf, cerita sedikit. Beberapa waktu lalu saya mengikuti pengajian di salah satu pesantren di Wonosobo. Niatnya untuk mencari ilmu, barokah, dan ingin merasakan suasana pesantren.
Dalam suasana pengajian tersebut banyak sekali lalu lalang manusia. Ada yang cantik, tidak cantik, bahkan ada juga yang wajahnya pas-pasan. Gayanya pun bermacam-macam ada yang necis sampai yang kumal. Pengisi pengajian pun juga begitu ada yang keras, lembut, dan ada juga yang terkesan masih latihan ceramah.
Apa maksud cerita di atas? Saya ingin menunjukkan bahwa suasana kebaikkan pun, potensi buruk dalam diri manusia sering kali muncul. Ditenggelamkan, kemudian muncul kembali. Terus begitu. Dan selalu begitu.
Saat yang buruk itu muncul, itulah yang mesti segera ditambal. Menambal pikiran buruk dengan gagasan cemerlang. Menambal hati yang buruk dengan zikir dan baik sangka. Menambal perbuatan buruk dengan selalu menjalani tugas sebaik-baiknya.
Tentu saja pelaksanaannya tak seindah kata-kata. Butuh penuh perhatian, kesabaran, dan ketundukkan. Serta tak kalah penting, bahwa apapun yang kita perbuat tak lain hanya sekadar perintah dari-Nya. Diri manusia hanya sarana semata. Dengan begitu, tambalan demi tambalan akan semakin rapi, indah, dan lama bertahan.
Begitu sebaliknya, bila tambalan hanya sekadar untuk menutupi atau menyembunyikan kerusakan sementara, siap-siap saja akan segera terungkap lebih lebar dan muncul kerusakan baru. Nampaklah keburukan kita.
Saya jadi teringat kutipan tembang Ilir-Ilir Sunan Kalijaga; dodotiro, dodotiro (pakaianmu, pakaianmu)/kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak bagian samping)/dondomono, jlumatono (jahitlah, benahilah)/kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore).
Tembang tersebut memiliki makna bahwa pakaian lahir-batin kita sebagai manusia pasti terkoyak dan berlubang di sana-sini. Untuk itu, kita diminta selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap jika dipanggil menghadap kehadirat-Nya.
Terakhir, setiap detik kita selalu dihadapkan dengan dua hal, memilih yang baik atau yang buruk. Memilih senang atau sedih. Melakukan atau meninggalkannya. Senyum dan cemberut. Taat atau kufur. Makan atau puasa. Marah atau menerima.
Itu semua adalah gambaran bahwa dalam menambal harus tahu kerusakan atau bolongnya dalam diri manusia. Dengan tahu kurang dan bolongnya, tambalan akan bekerja tepat pada tempatnya sehingga, keutuhan benar-benar tercermin ke-u-Tuhan.
Kita semua ini cuma tukang tambal, tidak lebih. Wallahula’lam.