Abdoel Moeis Hassan: Pelopor Provinsi Kaltim, Penyelamat Warisan Sejarah Kutai

Resensi oleh Ahada Ramadhana

Judul Buku: Abdoel Moeis Hassan Pejuang Republiken di Kalimantan Timur | Penulis: Muhammad Sarip, Nabila Nandini | Penerbit: RV Pustaka Horizon Samarinda | Edisi: Cetakan Keempat, September 2021 | Tebal: 148 Halaman

Pada 23 Januari 1950, Abdoel Moeis Hassan pemuda 26 tahun berbicara di rapat umum yang digelar pemerintahan Sultan Kutai Kertanegara Aji Muhammad Parikesit. Panggung kehormatan itu tak lepas dari kiprah dan kesetiaannya sebagai republikan sejati. Hal itulah diulas Muhammad Sarip dan Nabila Nandini dalam buku Abdoel Moeis Hassan: Pejuang Republiken dan Pelopor Pembaharuan di Kalimantan Timur (2021).

Biografi membabar sederet peran pentingnya antara lain memimpin kaum republikan menentang kolonialisme lewat Ikatan Nasional Indonesia (INI) Samarinda (cikal bakal PNI Kaltim), mengintegrasi Keresidenan Kaltim ke NKRI, menginisiasi Kongres Rakyat untuk pendirian Provinsi Kaltim, serta menyelamatkan istana Kutai dari pembumihangusan.

Sebelum lebih jauh, perlu ditegaskan beda sosok Abdoel Moeis Hassan (Moeis kecil) dengan Inche Abdoel Moeis (Moeis tinggi). Di Samarinda, nama dua Moeis diabadikan masing-masing Jalan Moeis Hassan dan Rumah Sakit Umum I.A. Moeis. Keduanya memang hidup sezaman bahkan berkiprah di wadah perjuangan yang sama, namun seiring perjalanan haluan politik mereka memencar.

Moeis Hassan yang lebih muda 4 tahun, mengetuai Front Nasional, koalisi 22 organisasi pro-RI yang dibentuk pada 1947, usai I.A. Moeis diberhentikan karena sikapnya pro-Belanda menggagas Negara Kalimantan. Anak keturunan Moeis Hassan tak ada yang berkiprah di politik, sehingga reputasinya terjaga tapi sekaligus membuat namanya tak tenar di masa kini. Sedangkan I.A. Moeis merupakan ayah dari politisi Emir Moeis.

Kedua Moeis pun pernah memimpin Kaltim. I.A. Moeis menjabat Kepala Daerah Tingkat I pada 1959 saat Provinsi Kaltim berumur 2 tahun, tapi cuma 3 bulan karena dimakzulkan DPRD. Saat itu Kaltim punya dua pemimpin yakni gubernur yang dipilih pemerintah pusat, dan kepala daerah swatantra yang dipilih DPRD Kaltim.

Kedua Moeis lalu diusulkan jadi gubernur pada 1962 menggantikan A.P.T. Pranoto. Akhirnya Moeis Hassanlah yang disetujui Presiden Sukarno, yang dilantik 10 Agustus 1962 di usia 38 tahun.

Saking mudanya Moeis Hassan saat dilantik jadi Gubernur Kaltim, Ali Sastroamidjojo atasannya di DPR RI tempat pengabdiannya sebelumnya, berkelakar, “Saudara kelihatan muda sekali, jangan-jangan usianya belum memenuhi syarat jadi gubernur.” (hlm, 58)

Dibentuknya Provinsi Kaltim tak lepas dari peran Moeis Hassan, didasari alasan lambatnya pembangunan jika statusnya hanya keresidenan. Awalnya, usulan dibahas di konferensi INI pada 1950, lalu berlanjut aksi massa Kongres Rakyat Kaltim pada 1954. Tuntutan direspons dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 yang melahirkan 3 provinsi yakni Kalbar, Kalsel, dan Kaltim. Tanggal resmi berdirinya Provinsi Kaltim adalah 9 Januari 1957, dengan gubernur pertamanya A.P.T. Pranoto, saudara seayah Sultan A.M. Parikesit.

Lima tahun kemudian, Moeis Hassan yang menjabat gubernur tapi cuma 4 tahun. Ia mundur saat gaung pembersihan pemerintahan baik pusat maupun daerah dari segala unsur berbau PKI. Massa mendesaknya lengser karena dituduh memihak kubu PNI Osa Maliki-Surachman yang dianggap pro-PKI, padahal PNI Kaltim lebih memihak kubu PNI Ali Sastroamidjojo. Karena situasi pemerintahan tidak kondusif, Moeis Hassan pun rela meletakkan jabatan pada 14 September 1966, setahun sebelum masa jabatannya usai.

Waktulah yang kelak membuktikan ia tak pro-PKI, lewat pengangkatannya sebagai anggota MPR di tahun pertama Soeharto menjadi Presiden RI (1968). Pasalnya, kalangan tertuduh PKI di era Orde Baru tak akan mungkin mendapat posisi penting.

Meski menjabat relatif singkat, Moeis Hassan telah menorehkan banyak peninggalan penting untuk Kaltim. Di antaranya mendirikan Universitas Kalimantan Timur pada 27 September 1962 yang kini dikenal Universitas Mulawarman (Unmul) dan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda pada 7 Oktober 1963.

Di eranya jua, logo Provinsi Kaltim diresmikan, berupa perisai hijau bersudut lima yang di dalamnya memuat bintang, rotan, perisai, mandau, sumpit, tetesan minyak dan damar, beserta motonya Ruhui Rahayu yang berarti “Kehidupan yang harmonis, damai sejahtera, aman dan tenteram”.

Tentang Buku

Kedua penulis bukanlah nama awam di kancah sejarah lokal Kaltim. Sarip telah bergiat di literasi sejarah beberapa tahun belakangan lewat Lasaloka-KSB, lembaga independen yang ia dirikan pada 2014. Ia alumnus Sertifikasi Kompetensi Penulis Sejarah oleh LSP Kebudayaan Kemendikbud 2020. Sedangkan Nabila salah satu peserta Bimtek Penulis Sejarah Kemdikbud 2021, program berbasis seleksi yang juga diikuti Sarip tahun sebelumnya.

Buku ini disusun dengan metode ilmiah standar penulisan sejarah yang meliputi empat tahap. Pertama heuristik, pengumpulan sumber seperti dokumen dan artefak. Kedua verifikasi, penelusuran soal keaslian/keabsahan dan kredibilitas sumber. Ketiga interpretasi, penafsiran peristiwa sejarah meliputi analisis dan sintesis.  Keempat historiografi, penulisan dengan struktur karya ilmiah yaitu pengantar, hasil penelitian, simpulan. Meski demikian, di tangan kedua penulis, historiografi disampaikan dengan bahasa narasi-deskripsi yang tak cuma kronologis mendetail, tapi juga enak dibaca dan mudah dicerna.

Pelimpahan Wewenang Memerintah

Daerah Istimewa Kutai dihapus pada 21 Januari 1960 lewat UU No. 27 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan yang ditandai dengan penyerahan wewenang memerintah pada tiga kepala daerah yakni bupati Kutai, wali kota samarinda, dan wali kota Balikpapan. Cakupan Kabupaten Kutai kala itu meliputi Kutai Barat, Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Bontang.

Moeis Hassan pun berperan menyelamatkan warisan sejarah Kerajaan Kutai. Terbukti pada 1963 ia meredam upaya penghancuran keraton Kutai yang masih ditinggali eks Sultan A.M. Parikesit. Hal itu diawali tuduhan bahwa bangsawan Kutai ingin membangkitkan kesultanan. Mengetahui lambang, patung, dan pakaian kesultanan telah dibakar, Moeis Hassan segera mengirim polisi dan kejaksaan untuk menyegel keraton, sehingga warisan sejarah dan budaya itu tetap terpelihara. Kini, bangunan itu dikenal sebagai Museum Mulawarman di Tenggarong.

Kini, ia diusulkan jadi pahlawan nasional. Usulan resmi digagas sejak medio 2018 lewat beberapa kali seminar dan pengajuan naskah deklarasi usulan calon pahlawan nasional oleh Lembaga Sejarah Lokal Samarinda – Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB) yang didukung instansi terkait. Pemprov Kaltim pun berencana mengajukan status kepahlawanan Moeis Hassan tahun ini.

Jika disetujui, ia akan menjadi pahlawan nasional ke-2 dari Kaltim, menyusul Sultan ke-14 Kutai Kertanegara Ing Martadipura, Aji Muhammmad Idris yang ditetapkan pahlawan nasional pada 2021, 22 tahun usai diusulkan pertama kali pada 1999.