Apakah Saya dan Teman-Teman Boleh Berdiri?

Penulis, Penghargaan, dan Marwahnya (2)

Arusmahakam.co, Jakarta – Karya berkualitas ataupun penulis yang menciptakan karya berkualitas memang penting dihargai. Kita semua boleh paham untuk perihal yang satu ini, tetapi penulis apakah menulis semata-mata untuk mendapatkan penghargaan.

Untuk itu kiranya pembaca semua dapat melihat catatan mengenai Sarasehan Daring SATUPENA #2 pada Minggu (22/8/2021) beberapa waktu lalu, dan kali ini kita melihat pendapat dari Linda Christanty yang merupakan salah-satu narasumber dalam acara tersebut.

“Kita menulis tidak semata-mata mengejar penghargaan. Namun jika kita menelisik lebih jauh tentang siapa yang menyelenggarakan penghargaan, proses memilih penerima penghargaan, dan bagaimana seseorang atau sebuah buku memperoleh penghargaan. Kita akan bersiap dalam posisi untuk memberi kritik atau juga dikritik,” jelas jurnalis yang juga penulis ini.

Linda menyebutkan bahwa dirinya pernah mendapatkan penghargaan serta pernah pula menjadi finalis suatu penghargaan, bahkan menjadi juri dalam beberapa penghargaan. Pengalaman-pengalaman tersebut membuat dirinya mengerti bahwa sebuah penghargaan jarang sekali luput dari politik ideologi, kepentingan tertentu, cara berfikir tertentu dan bahkan keterbatasan pengetahuan pihak penyelenggara maupun jurinya.

Beberapa tahun lalu, ia pernah dinominasikan untuk sebuah penghargaan yang diberikan kepada perempuan-perempuan di garis depan perjuangan dalam berbagai bidang. Seperti bidang lingkungan hidup, kebudayaan, jurnalisme, dan sebagainya.

“Yang mereka ini bukan semacam selebriti, jadi orang-orang biasa seperti saya. Pemenang itu ditentukan oleh sejumlah suara atau vote, dari pemilihnya yang masuk ke bilik suara di situs penyelenggara penghargaan ini. Jadi para perempuan ini harus memobilisasi suara untuk mereka, jika ingin jadi pemenang penghargaan tersebut,” jelasnya.

Penyelenggara penghargaan mengkondisikan para perempuan tersebut seperti halnya lomba balap karung, yang bahkan bertentangan dengan tujuan penyelenggara sendiri untuk memberi penghargaan itu. Dimana para perempuan tersebut sebenarnya jarang terekspose tindakan pentingnya. Pemenangnya adalah perempuan dari Afghanistan, dan anggota parlemen, seorang politikus.

“Di tahun itu, setahu saya penduduk Afghanistan yang menggunakan internet sekitar delapan persen. Lebih dari 70 persen pengguna internet di Afghanistan adalah tentara NATO atau pasukan gabungan. Jadi bagaimana politikus ini memperoleh suara sangatlah menarik, kalau tidak salah dia memperoleh lebih dari 30.000 ribu suara. Dia melakukan mobilisasi suara, karena dia politikus. Dia sangat tahu caranya,” terangnya dalam diskusi tersebut.

Linda melihat dalam kegiatan penghargaan itu, ada nama Mama Aleta Baun dan Maria Hartiningsih juga dinominasikan untuk penghargaan tersebut. Suara untuk keduanya sedikit sekali, tidak sampai seratus suara. Ia merasa ada yang tidak benar, dalam penyelenggaraan itu dan berinisiatif mengirim surat kepada pihak penyelenggara.

Dengan maksud mengkritik cara penyelenggara memilih pemenang. Seharusnya pihak penyelenggara melakukan riset dan memilih pemenang melalui tim yang dibentuk. Bukan dengan cara memobilisasi suara.

“Surat saya dibalas, dan penyelenggaranya menyatakan menghargai pendapat saya. Tetapi mereka menganggap cara itu sudah benar. Pada tahun 2013 saya memperoleh S.E.A Write Award. Ini adalah penghargaan dari Thailand untuk 10 penulis dari negara Asia Tenggara, sudah banyak penulis di Indonesia yang mendapat penghargaan ini sebelum saya,” ungkapnya.

Ia kemudian mengatakan jika tadinya tidak begitu mencermati siapa saja penerima penghargaan sebelum dirinya. Suatu hari ia membaca lagi nama-nama penerima penghargaan ini dengan lebih teliti. Ada nama YB Mangunwijaya, NH Dini, Goenawan Mohamad, WS Rendra, tetapi tidak ada nama Pramoedya Ananta Toer.

S.E.A Write Award ini pertama kali diselenggarakan pada tahun 1979. Atau 3 tahun setelah peristiwa bulan Oktober yang terkenal di Thailand. Pada tanggal 6 Oktober 1976, militer Thailand dan milisi menyerang mahasiswa di Universitas Thammasat. Massa di lapangan Sanam Luang diserang secara brutal, bahkan dengan menggunakan senjata pelontar granat. Banyak yang meninggal dunia, dan ribuan mahasiswa masuk hutan untuk menyelamatkan diri.

“Monarki dan militer Thailand anti komunis dan komunisme. Jadi kondisi dalam negeri Thailand seperti kondisi Indonesia di awal Orde Baru. Sementara itu pemerintah Orde Baru sudah jelas anti komunis dan anti komunisme. Dan pada tahun tersebut, tahanan politik di Pulau Buru sudah dibebaskan. Tetapi mereka masih diawasi dengan adanya cap Eks Tapol pada KTP mereka. Saya pikir inilah sebabnya Pramoedya tidak mendapat S.E.A Write,” terangnya.

Masalah ideologi dan politik jelas mempengaruhi penghargaan ini. Waktu gladi resik S.E.A Write Award. Para sastrawan yang diposisikan berada di sisi Putri Raja, yakni Putri Mahkota Maha Cakti Sri Nduon. Diminta untuk duduk bersimpuh.

Lantas Linda menanyakan, “Apakah saya dan teman-teman boleh berdiri?”. Pada waktu itu salah-satu temannya yang merupakan jurnalis dan aktivis Thailand, menyampaikan keberatan Linda. Dan kemudian berkata pada Linda, “Seharusnya sastrawan dari negara lain tidak perlu mengikuti aturan kerajaan yang diperuntukkan untuk orang Thai,” katanya.

Mengingat baik Linda dan sastrawan lain dari berbagai negara di Asia Tenggara adalah tamu. Akhirnya kompromi tercapai, dan para sastrawan yang diposisikan berada di sisi putri raja diperbolehkan untuk berlutut saja.

“Saya melihat foto-foto upacara S.E.A Write tahun-tahun sebelumnya, malah ada foto putra mahkota duduk di kursi dan semua orang berada jauh di belakangnya pada jarak tertentu. Ada juga foto cucu Raja duduk di kursi yang dikelilingi para penerima penghargaan ini, yang semuanya duduk bersimpuh di sekelilingnya,” ujar Linda.

Foto S.E.A Write Award 2016 terdapat sedikit kemajuan, cucu Raja duduk di kursi dan para penerima penghargaan duduk pula di kursi. Walau tetap saja penerima penghargaan duduk di belakangnya.

Diluar itu ada penghargaan yang membuat Linda begitu bergembira mendapatkannya. Dari lembaga yang bergerak di bidang pendidikan dan kebudayaan di London, Inggris, yakni The International Organization of Creativity for Peace. Lembaga pemberi penghargaan tersebut diinisiasi Dr Wafaa Abdel Razzak, dimana selain dia ada nama penyair perempuan dan anggota serikat jurnalis Suriah yakni Linda Abdel Baki pada Maret 2021 lalu.

“Tapi ada penghargaan yang saya merasa gembira memperolehnya, penghargaan ini tidak ada uangnya sama sekali. Yaitu penghargaan untuk perempuan kreatif, dari sebuah lembaga pendidikan dan budaya yang diketuai Waffa A Razzak. Seorang penyair Irak yang eksil atau tinggal di Inggris. Lembaga ini bekerjasama dengan berbagai universitas di sejumlah negara untuk menyelenggarakan seminar atau konferensi sastra ataupun budaya dalam bahasa arab,” katanya.

Yang menominasikan dirinya kala itu adalah kalangan akademisi. Dan Universitas Negeri Malang (UNM) di Indonesia, juga pernah menyelenggarakan konferensi yang diikuti sekitar 30 Universitas di seluruh dunia dalam bahasa arab. “Universitas ini pun juga bekerjasama dengan lembaga Waffa Abdel Razzak itu,” ucapnya. (Jun)