NasionalNews

Aturan Perpajakan yang Baru Menjadi Perbincangan Masyarakat

Arusmahakam.co, Jakarta – Pemerintah menerbitkan empat belas aturan turunan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mengimplementasikan ketentuan pada Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pemerintah berupaya merumuskan kebijakan yang seimbang untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. bet365 كازينو

Penerbitan PMK tersebut diharapkan dapat memudahkan wajib pajak (WP) dalam memahami dan melaksanakan amanat terkait kebijakan pada UU HPP. “Kami berharap agar wajib pajak dapat melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pada UU HPP serta aturan turunannya,” ungkap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor dalam keterangan resmi.

Pemerintah berharap agar masyarakat dapat mendukung pelaksanaan setiap kebijakan dalam UU HPP, yang merupakan bagian dari reformasi perpajakan, serta dapat melihat setiap kebijakan tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh. Hal itu dilakukan demi menciptakan fondasi pajak yang optimal dan berkelanjutan.

Dari 14 Peraturan Menteri Keuangan itu ada tiga peraturan yang menjadi perbincangan masyarakat. Yaitu, Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, dan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) atau membangun rumah dengan luas bangunan paling sedikit 200 meter persegi.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 65 tahun 2022 disebutkan, pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap perdagangan kendaraan bermotor bekas sebesar 1,1 persen dari harga jual. Direktur Neilmaldrin mengatakan, pengusaha kena pajak (PKP) yang memungut PPN merupakan PKP pedagang kendaraan bermotor bekas yang melakukan kegiatan usaha penyerahan kendaraan bermotor bekas.

Sedangkan kegiatan jual-beli kendaraan bermotor bekas yang dilakukan oleh orang pribadi atau individual yang bukan PKP dan penjualan atau pembelian yang dilakukan bukan karena kegiatan usaha, tidak perlu memungut PPN. Dalam PMK nomor 61/PMK.03/2022  pemerintah juga menaikkan (PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri/KMS) atau membangun rumah dengan luas bangunan paling sedikit 200 meter persegi.

Baca juga:  Indonesia Potensi Jadi Pasar Karbon Dunia

Hal itu menyusul kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022. الفائز بكاس العرب 2023   PPN atas kegiatan membangun sendiri sebenarnya bukan hal baru. Pajak ini memang sudah ada sejak UU nomor 11 tahun 1994 yang berlaku pada 1 Januari 1995.  Yang disesuaikan hanya tarif dari 10 persen menjadi 11 persen, untuk rumah dengan luas bangunan paling sedikit 200 meter persegi. Dasar pengenaannya hanya 20 persen dari jumlah biaya.

Kegiatan membangun rumah sendiri adalah membangun tanpa menggunakan kontraktor yang memungut PPN, baik bangunan baru maupun perluasan dari yang lama. Dalam PMK dijelaskan, besaran pajak terutang sama dengan 20 persen x tarif PPN yaitu 11 persen x Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau 2,2 persen dari DPP. Adapun DPP PPN kegiatan membangun sendiri adalah nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah.

Ilustrasinya, seorang yang membangun rumah senilai Rp1 miliar, maka PPN yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp22 juta (Rp1 miliar x 20 persen x 11 persen) atau (Rp1 miliar x 2,2 persen).

Pajak Kripto

Dan pada Mei 2022 nanti, transaksi kripto resmi mulai dikenakan pajak. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Poin-poin aturan itu mulai berlaku pada bulan depan.

Adalah Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor yang menegaskan bahwa aturan itu ditujukan untuk memberikan kepastian hukum tentang pemberlakuan PPN dan PPh atas transaksi kripto.

Baca juga:  Kemenprin Dorong Penyerapan Tembakau Lokal

Pemberlakuan perpajakan mengacu kepada status aset kripto dalam kerangka hukum Indonesia. Bank Indonesia menyatakan, aset kripto bukanlah alat tukar yang sah, lalu Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas. باى بال

PPN yang terutang atas perdagangan kripto dipungut dan disetor oleh PPMSE dengan besaran tertentu (Pasal 9A UU PPN) sebesar 1% dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto, dalam hal PPMSE merupakan pedagang fisik aset kripto (PFAK) dan 2% dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto. Sedangkan dalam hal PPMSE bukan merupakan PFAK atau jasa penyediaan sarana elektronik untuk memfasilitasi transaksi aset kripto (jasa exchange dan dompet elektronik) merupakan JKP dan dikenai mekanisme umum PPN.

Begitu juga jasa mining aset kripto (verifikasi transaksi aset kripto) merupakan JKP yang dipungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 10% dari tarif PPN dikali nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima penambang (miner). Juga pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh, 1) Penjual aset kripto dikenai PPh 22 final dengan tarif 0,1% dari nilai transaksi untuk PFAK; dan 0,2% dari nilai transaksi untuk selain PFAK. 2)  Penambang aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1% dari nilai transaksi. 3) PPMSE atas penyelenggaraan perdagangan kripto dikenai PPh dengan tarif umum, atas transaksi aset kripto dikenai PPh 22 final 0,1% dari nilai transaksi. (sri/idn/amc)

Related Articles

Back to top button