Berantas Premanisme dan Pungli

Arusmahakam.co,Jakarta – Upaya pemberantasan premanisme dan pungutan liar (pungli) oleh Polri terus dilakukan dan hingga akhir Juni 2021 sebanyak 9.875 perkara telah ditangani.

“Dari 9.875 perkara tersebut dengan tersangka kurang lebih 26.361 orang tersangka,” kata Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Kombes Pol Rizal Irawan dalam siaran Polri Presisi bertajuk ‘Berantas Premanisme dan Pungli’ yang disiarkan TVRI, Selasa.

Rizal merincikan, 26.361 tersangka tersebut terdiri atas 19.759 tersangka premanisme dan 6.602 tersangka pungli.

Adapun penegakan hukum yang dilakukan terhadap para tersangka premanisme dan pungli ini, kata Rizal, dilakukan proses hukum sampai ke pengadilan dan dengan pendekatan keadilan restoratif.

“Sebanyak 4.810 tersangka ditindaklanjuti sampai dengan sidang ke pengadilan, sedangkan upaya restorative justice atau pembinaan yang dilakukan kurang lebih 21.551 orang,” kata Rizal.

Menurut Rizal, untuk tersangka yang dilakukan penegakan hukum dikenakan Pasal 368 dan pasal 369 KUHP. Upaya pemberantasan premanisme dan pungli kembali masif dilakukan jajaran Polri setelah Presiden Joko Widodo menelpon Kapolri pada saat berdialog dengan pengemudi truk di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (10/6) beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Kriminolog Universitas Indonesia Prof Muhammad Mustofa dalam siaran Polri Presisi itu menyebutkan, premanisme ataupun pelaku pungli jalanan itu adalah bagian integral dari masyarakat modern, tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan tingkat kesejahteraan. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang lebih maju dan sejahtera dibanding Indonesia, premanismenya juga luar biasa tinggi.

“Bahkan dalam dalam pustaka kriminologi, premanisme dianggap sebagai pekerjaan, pekerjaan yang ilegal tentunya. Jadi premanisme harus dilihatnya sebagai cara orang mencari nafkah, walaupun tidak disetujui oleh mayoritas masyarakat,” ujarnya.

Prof Mustofa mengingatkan, premanisme dan pungli tidak mungkin akan hilang, tetapi berfluktuatif. Begitu banyak penindakan akan berkurang, tetapi jika penindakan kepolisian kurang intensif karena ada prioritas yang lain, maka premanisme dan pungli akan muncul lagi, bahkan jika diabaikan dalam waktu yang lama, akan semkain luas penguasaan wilayahnya.

“Premanisme ini yang selalu fluktuatif, karena kejahatan itukan dinamis, satu muncul, satu hilang, satu ditindak satu muncul, karena tidak mungkin semua ditangani,” ujarnya.

Pengamat Sosial dan Pakar Komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr Devie Rahmawati menyebutkan praktek pungli berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh sejumlah sejarawan, sudah ada di Tanah Air sejak abad ke 13 atau pada masa kerajaan tradisional.

“Ketika sekarang kita menemukan pungli makin banyak, itu bukan berarti terjadi akibat kondisi pandemi, ekonomi sulit, tapi ada akar sejarah yang menarik kemudian dijadikan refleksi kenapa kemudian prektik ini masih terus saja terjadi sampai saat ini,” kata Devie. (jun)