Di Lapangan solidaritas sesama orang miskin lebih nyata terlihat. Hingga saat ini, saya belum mendengar adanya para trilyuner di Indonesia menghibahkan lima puluh persen atau lima persen saja dari hartanya dalam situasi bencana kemanusiaan. Kisah Dermawan seperti ini mungkin hanya ditemukan dalam sejarah masa lalu.
Entahlah! Di zaman yang katanya serba modern ini, sangat sulit menemukan sosok pengusaha yang dermawan. Hampir tiap menit kita mendengar dan membaca ajakan untuk bersedekah bagi yang mampu. Namun, ajakan ini tak mampu membuka pintu hati orang-orang terkaya di Indonesia.
Saat negara dalam situasi sulit, Seharusnya para elit ekonomi terjun membantu masyarakat. Bukankah mereka bisa menjadi kaya raya karena produknya selama ini dibeli orang-orang miskin. Bisa dibayangkan, kalau orang-orang miskin memboikot produk orang-orang terkaya di Indonesia. Niscaya ekonomi mereka juga akan ambruk tentunya.
Pengusaha kaya raya di Indonesia, hampir semuanya selalu bicara bahwa mereka sangat nasionalis. Namun hingga dua tahun pandemi, belum ada satu contoh kedermawanan yang menunjukkan sense of crisis dan semangat senasib sepenanggungan.
Tahun-tahun ini adalah waktunya pembuktian, siapa yang mau bersolidaritas pastinya akan dikenang oleh masyarakat. Tetapi jika perilaku triliuner ini acuh tak acuh, dapat dipastikan. Perlahan tapi pasti, mereka sedang menggali lubang kuburnya sendiri.
Hukum sejarah akan tetap berlaku bagi mereka yang tertutup hatinya, serta teruntuk mereka yang hanya mengeksploitasi saja.
Akhirnya! Kesadaran membangun kebersamaan di tengah pandemi menjadi ukuran. Apakah bangsa ini diisi elite yang beradab ataukah elite yang hanya mau cari untung semata? Biarlah sang waktu yang akan menjawab.
NB; Penulis merupakan warga Nahdliyin. Saat ini penulis lebih banyak beraktivitas di Jawa Tengah.
