Buku Profesor Soraya

Oleh; Fadhil Akbar*

Gedung Perpustakaan Universitas Mulawarwan berdiri tegak dengan pilar-pilar megah bertahtakan perisai dayak. Dari jauh dominasi rerumputan hijau berbalur pepohonan setinggi dua kaki orang dewasa membuat gedung ini memiliki kekhasan tersendiri. Dalam sebuah ruangan diantara lemari-lemari buku, nampak dua orang sahabat terlibat pembicaraan seru yang tak jauh dari buku.

“Kau sudah lihat belum buku baru keluaran Sutrajala, karangan Profesor Soraya tentang Manusia Bukit. Kita harus segera membacanya, biar tidak kalah update dengan bocah borjuis itu,” ungkap Roy, sembari menunjuk kumpulan anak-anak yang keluar dari mobil mewah. Setelah memalingkan wajah sebentar ke arah, yang disebutkan Roy. Erik kemudian berujar, “Tentu kita tidak akan kalah, kita tidak rugi pula. Kalau bisa dimiliki gratis, kenapa harus mengeluarkan sepeser rupiah untuk kesenangan,” dengan senyum penuh arti.

Mereka berkawan sejak lama. Sejak keluar dari lubang garba berbeda, berbentuk orok merah pada sebuah Puskesmas. Terpisahkan ranjang bersalin dengan batasan gorden hijau kusam. Rumah keduanya persis berbatasan dengan sebuah gedung bioskop legendaris bernama Wisma Citra, Loa Janan Ilir. Sebuah bioskop yang jadi tempat hiburan bagi para buruh perusahaan kayu, dikala ekonomi Kaltim masih bertumpu pada gelondongan kayu.

Ditengah keterbatasan orang tua keduanya untuk memanjakan anak-anak cerdas itu pada bacaan berkualitas. Keduanya diberkahi oleh keadaan, mereka diberi kesempatan mengenal dunia lewat potongan koran. Semakin lama mereka semakin haus dan haus yang tak terhingga. Kehausan yang hanya luruh oleh bacaan baru, entah dari manapun sumber bacaan itu.

Bahkan jenis bacaan tak mereka perdulikan lagi, mulai bacaan untuk anak-anak, remaja, hingga bacaan orang dewasa tetap dibaca. Tidak dapat memilih, karena semua didapat dari hasil kesediaan orang-orang membuang apapun yang tidak lagi enak dibaca dan dipandang, pada sebuah tempat bernama tong sampah.

Pada suatu waktu mereka mengenal Manuntung sebuah koran yang kelak berganti nama menjadi Kaltim Post. Dari sanalah muncul ketertarikkan mereka pada tokoh-tokoh dunia. Mulai dari Presiden Amerika Ronald Reagan, Fidel Castro dengan Kuba, serta kawan seperjuangannya seperti Che Guevara, lantas muncul berita orang berjubah rapi dengan jenggot putih dan bersurban yakni Imam Khomeini. Adapula wajah-wajah pemimpin Asia Tenggara mulai dari Mahathir Mohamad dan Lee Kuan Yew dengan setelan jas rapi. Hingga pria dengan cerutu dan senjata yang dikenal pemimpin Macan Asia yakni Jendral Soeharto.

Dunia memiliki keajaiban bagi yang berani berjuang dan bermimpi, karena hobi membaca yang mereka miliki. Menjadikan mereka berprestasi hingga dapat menempuh kuliah di Unmul dan mendapatkan program beasiswa. Dan beruntung pula, ketika tetangga kontrakkan mereka terpaksa harus menjual dua pasang sepatu boots kulit dengan harga murah, maka jadilah itu sepatu untuk dipakai kuliah.

***

Rini gadis manis bertubuh tinggi dengan kulit kuning langsat nampak keluar dari mobil merah marun miliknya. Ditangannya tergengam sebuah buku yang selama ini menjadi incaran Erik. Entah setan apa yang membisiki sesuatu rencana jahat. Tak berapa lama buku berisi 450 lembar halaman itu, ternyata telah beralih dalam genggaman Erik. Ia cepat-cepat memasukkan buku yang serupa bantalan penggajal ban truck itu, dalam tas punggungnya.

Dengan santai, ia kembali masuk ruangan praktikum yang takkala itu baru saja ramai oleh kedatangan anak-anak mahasiswa semester 3 Fakultas Pertanian Unmul. Roy tiba-tiba menunjul kepala Erik dari belakang, “Jahat kamu, sekarang suka main sendiri. Berangkat kuliah saja tak mau lagi bareng aku. Memang ada bisnis apa, kok sibuk sekali,” dengan wajah bertanya serius ia memandang sahabatnya. Roy menanggapi tak serius, “perasaanmu saja”.

Perkuliahan berlangsung hingga tiga jam lebih, karena praktikum ilmu tanah ini berjalan ketat, terlebih nilainya sama dengan 4 SKS. Mau tidak mau mereka begitu serius mengerjakan praktikum, agar tahun depan tidak ada kata mengulang kembali pelajaran yang membosankan namun masuk kriteria wajib diambil jika ingin lulus jadi sarjana.

Tetapi siang itu wajah Rini tidak seperti biasanya, buku koleksi milik ayahnya tiba-tiba raib dari tasnya. Buku itu adalah buku kesayangan, mengingat edisi pertama diterbitkan terbatas oleh pengarang, hanya 350 ekslemplar jumlahnya di seluruh Indonesia. Wajah gadis manis itu bak badai dengan tetesan air mata mengalir deras, ketakutan membayang pada pikirannya akan kemarahan ayahnya.

Benar saja apa yang dipikirkan Rini. Hanya satu buah buku yang hilang, padahal dilantai atas rumah mewah tersebut berjejer ribuan buku dengan rapi di lemari-lemari kayu berukuran besar. Belum lagi buku-buku tertumpuk tebal di lantai, bak benteng perlindungan yang tidak satu tumpukkan namun ada belasan. Tetap saja tak meradakan amarah lelaki dengan rambut memutih. Rini hanya bisa duduk terdiam sembari memelintirkan jari-jarinya, mendengarkan omelan ayahnya.

Ditempat lain wajah Roy nampak begitu bangga, karena Erik menghadiahkan buku Manusia Bukit padanya. “Jangan sia-siakan perjuanganku. Ini buku susah didapatkan, edisi terbatas. Mau cari dimana kalau bukan khusus aku datangkan dengan cara luar biasa,” ungkap Erik bangga, sembari menggosok hidungnya tanda hebat.

Roy lantas mengucapkan terima kasih, sungguh tak percuma aku berkawan denganmu. Ini namanya susah senang bersama, nanti kalau aku punya buku bagus akan aku berikan padamu. Terima kasih sudah begitu baik denganku. “Santai kawan! aku gitu lho,” ungkap Erik.

***

Minggu malam kali ini, Roy nampak berdandan necis. Rambutnya yang panjang diikat rapi sehingga membuat kesan gagah, pada lelaki berhidung mancung dan berjenggot tebal ini. Ini adalah kencan perdana yang dilakukannya, Ia tampak telah menyiapkan segala jurus rayuan untuk memikat calon mertuanya. Dengan menggunakan Yamaha RX King, dirinya melaju menuju sebuah perumahan mewah di Kota Samarinda.

Dengan langkah diatur perlahan, Roy nampak gugupn saat hendak mengetuk pintu. Karena selain kunjungan pertama ke tempat gadis pujaan hatinya, dia telah diberitahu sebelumnya oleh sang gadis bahwa ayahnya sangat menyukai buku serta memiliki koleksi buku teramat banyak. “Masuk aja langsung, Ayah sudah nunggu dari tadi lho,” ungkap gadis itu dengan nada manja. Dari balik daun pintu, diruang tamu nampak seorang lelaki berkacamata tebal tengah asyik duduk sembari membaca buku.

“Met malam Om!,” ucap Roy. Melihat anak muda dengan tas ransel berdiri didepan pintu, lelaki itu menyuruh masuk dan duduk bersamanya di ruang tamu.

Pembicaraan hangat antara lelaki muda dan lelaki berambut putih itu tampak seru. Bahkan Roy sampai lupa tujuan datang adalah untuk berkencandengan anak pemilik rumah tersebut. Rini sendiri membiarkan pembicaraan itu berlangsung apa adanya. Ia memilih peran sebagai gadis yang hangat bagi kedua pria yang dicintainya ini.

Dua cangkir kopi hitam dan gorengan nampak menghiasi pinggan yang dibawa Rini. Kali ini Rini ikut nimbrung dengan keduanya, dan kemudian mengingatkan Roy mengenai hadiah yang akan diberikan pada ayahnya.

“Sayang! Katanya mau ngasih hadiah ke Ayah. Mana? Kasih sekarang dong,” tegur Rini. Seusai meminum cangkir kopinya, Roy mengeluarkan sebuah buku dan memberikannya langsung pada lelaki berambut putih itu.

Pembicaraan malam itu terhenti, tidak berapa lama Roy dipersilahkan pulang dengan santun. Terang saja hal ini membuat lelaki berambut gondrong itu terkejut. Namun ia juga tak sanggup mengelak, karena tuan rumah telah membukakan daun pintu lalu meminta Roy segera keluar.

Belum lama sampai dirumah usai pulang dari rumah Rini, Roy mendengar nada panggilan dari HPnya. “Gimana kencannya? Sukses besar kan,” ternyata Erik yang bicara. Gila aja kamu, aku diusir dari rumah gebetanku. Setelah nyerahin buku, yang kau berikan itu,” jelasnya. Memang kenapa, Erik setengah kaget mendengarnya. Buku Profesor Soraya itu milik ayah pacarku. Kamu nggak beli, kamu nyolong itu buku? tanya Roy.

“Rini… Rini itu pacarmu? Iya aku nyolong buku dia, aku nggak tahu kalau kamu jadian dengannya,” Erik berusaha menjelaskan. Tuuuuuttttss… Tuuuutttttsss… Bunyi suara HP diputus, meninggalkan Erik yang terjebak rasa bersalah.

NB; Penulis tumbuh di tanah Borneo, dan mengaku merindukan pertumbuhan Kaltim yang ramah dengan lingkungan.