Opini

Bullshit Jobs David Graeber

Oleh : Hamdani Mubarok

Sorot matanya tajam. Setajam harimau yang sedang mengintai mangsa. Sorotan mata yang menggambarkan pribadi dengan pikiran yang mendalam. Rambutnya sering kali acak-acakan, tidak teratur.

Secara fisik, ia tidak layak untuk dianggap sebagai akademisi. Akan tetapi, jangan salah, dont judge a book by its cover. Demikian pepatah lama mengingatkan kita. Begitu pula saat menilai Graeber.

Di balik tampilan fisiknya yang terkesan urakan, ia memiliki pemikiran yang cemerlang. Ia adalah profesor. Bukan hanya sekadar profesor biasa. Ia adalah titik kekaguman banyak profesor lain.

Maurice Bloch, profesor antropologi di London School of Economics menyebutnya sebagai “teoretikus antropologi terbaik di dunia dari generasinya.” Ia adalah David Rolfe Graeber. Antropolog, penulis, aktivis-anarkis, sekaligus dosen. Jiwa akademiknya yang detail lagi telaten, pilihan hidupnya pada dunia aktivis-anarkis yang menggebu-nggebu, adalah pemandangan yang langka, dan karenanya membuat nama Graeber spesial.

Graeber masyhur terutama karena konsepnya mengenai bullshitt jobs. Ini adalah gagasannya tentang budaya kerja yang ada di tengah masyarakat kita. Ia membongkar kebiasaan kerja yang selama ini dianggap masyarakat baik-baik saja. Ia dengan fasih menjelaskan hal-hal yang tidak berguna dalam dunia kerja.

Graeber berhasil menunjukkan bahwa sebenarnya ada banyak pekerjaan di tengah masyarakat yang tidak layak untuk dianggap sebagai pekerjaan. Hal ini karena tidak adanya nilai guna di balik pekerjaan tersebut. Pekerjaan-pekerjaan seperti inilah yang ia sebut sebagai bullshit jobs.

Yang dimaksud dengan nilai guna dalam konsep Graeber adalah tidak adanya kemanfaatan (efek postif) yang ditimbulkan oleh pekerjaan tersebut. Pekerjaan yang jika dihilangkan dari masyarakat, tidak akan memiliki dampak yang signifikan. Atau bahkan tidak berdampak apa pun. Ironisnya, dalam masyarakat modern, pekerjaan semacam ini memiliki banyak bentuk dan porsi dalam dunia kerja.

Ide Graeber tentang bullshit job ini menjadi antitesis dari apa yang dulu pernah disuarakan oleh Jhon Maynard Keynes. Pada tahun 1930-an, Keynes pernah menyebutkan bahwa dunia modern, seiring dengan semakin pesatnya pertumbuhan mesin di tengah peradaban manusia akan menggeser kerja mereka. Kehadiran mesin, kerja manusia akan tergantikan mesin. Negara-negara dengan teknologi maju diprediksi hanya akan membutuhkan jam kerja manusia sebanyak 15 jam dalam seminggu.

Baca juga:  Potret Pendidikan Kita

Teori Keynes ini pada awalnya terdengar rasional dan dapat dengan mudah diterima. Kemajuan teknologi telah menjadi fenomena dunia. Semakin mudahnya pekerjaan dilakukan dengan teknologi diprediksi akan semakin merampas jatah kerja manusia.

Artinya, jam kerja manusia akan semakin sedikit. Teori yang diajukan Keynes pun diterima oleh banyak orang.

Namun, seiring berjalannya waktu, apa yang diajukan oleh Keynes tak kunjung menemui pembenaran. Teknologi sudah semakin maju. Alat sudah semakin canggih. Akan tetapi, jam kerja manusia tak kunjung berkurang. Malah, banyak yang semakin sibuk. Yang menahan teori Keynes tetap menjadi utopia adalah karena ia tak memperhitungkan peningkatan konsumsi yang semakin hari semakin besar. Semakin hari semakin bermacam-macam modelnya.

Di tengah kejumudan pikir para teoritikus sosial, kemudian muncullah Graeber dengan ide radikalnya. Ia berhasil membongkar patahan teori Keynes. Keynes mungkin tidak menyangka sebelumnya bahwa teorinya masih memiliki celah yang luput dari pandangannya.

Dunia modern, yang semakin maju dengan teknologi turut serta memperbesar hasrat manusia, seperti yang dikira Keynes dan kebanyakan orang, telah meringankan tugas manusia. Mesin telah mengambil alih tugas-tugas produksi.

Jika menilik teori Keynes tersebut, semestinya ada banyak manusia yang bisa santai. Namun, ternyata tidak. Ada banyak manusia yang tidak bisa dengan rela hidup santai. Hidup dengan tanpa melakukan apa-apa adalah sebuah penghinaan atas eksistensi manusia.

Kemudian muncullah pekerjaan-pekerjaan baru. Pekerjaan seperti staf administrasi, satpam yang membukakan pintu toko dan lain sebagainya, yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

Toh, ketiadaan mereka juga tidak banyak berpengaruh pada kelancaran aktivitas manusia. Dari sinilah muncul apa yang oleh Graeber disebut bullshit jobs.

Selain tentang bullshit Job, Graeber juga mendata beberapa pekerjaan yang masuk dalam daftar shit job. Pekerjaan-pekerjaan ini adalah pekerjaan yang harus selalu ada karena berhubungan secara langsung dengan kelangsungan hidup manusia. Pekerjaan yang jika dihilangkan, maka akan goyah tatanan hidup yang sudah mapan ini.

Baca juga:  Makna Filosofi Nasi Tumpeng

Lies Marcoes memberi contoh orang-orang yang masuk dalam kategori shit job ini dengan contoh ibu-ibu rumah tangga. Lies menyebutkan bahwa ibu-ibu rumah tangga sering kali bekerja melebihi yang seharusnya.

Adat dan budaya masyarakat kita sering menempatkan mereka pada posisi padat kerja. Pagi harus memasak, setelah itu membersihkan rumah, mencuci baju. Bahkan saat semua penghuni rumah beristirahat, ibu rumah tangga banyak yang masih harus membersihkan dapur.

Sialnya, mereka mendapat upah yang tidak semestinya. Upah mereka sering kali berada jauh di bawah orang-orang yang bekerja dalam kategori shit jobs.

Bahkan tidak jarang, pekerjaan mereka tidak dihargai. Mereka sering dianggap sebagai golongan masyarakat yang tidak produktif hanya karena apa yang mereka lakukan tidak menghasilkan uang.

Saat mereka tidak ada dan tidak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti biasa, baru disadari bahwa segalanya segera menjadi tidak baik-baik saja. Ini adalah budaya kerja yang timpang, yang menjadi garapan empuk Graeber.

Graeber dengan teori bullshit job-nya telah banyak menyadarkan masyarakat tentang betapa cacatnya budaya kerja yang mengikat mereka selama ini. Apa yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan keren dengan sudut pandang Graeber kemudian berubah menjadi hal yang memalukan. Seperti bekerja, tapi tidak produktif. Seperti penting, ternyata tidak memberi dampak apa pun.

Di luar urusan isi kepala Graeber, ia lantang bersuara menentang birokrasi dan kapitalisme. Sikapnya radikal dan tak tebang pilih. Senasib dengan kaum radikal di bagian mana pun di sudut dunia, Graeber juga mengalami hal yang sama. Tidak semua pihak bersedia menerimanya. Tidak semua kelompok senang dengan pilihan sikapnya.

Ia pernah mengabdikan diri di Universitas Yale sejak 1988 hingga 2005. Namun, karena sikapnya yang bertentangan dengan pihak kampus soal keputusan kampus mengeluarkan salah satu mahasiswa mereka, Graeber tidak mendapatkan perpanjangan masa kerja. Mahasiswa tersebut terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Beberapa dugaan lain menyebut jika Graeber tidak mendapat tempat lagi di Universitas Yale karena jalan hidup aktivis-anarkis yang ia pilih.

Baca juga:  Walau Sesat! CR7 Komitmennya Jelas

Pesona Graeber segera menemui rumahnya. Universitas London datang menampungnya. Di tempat barunya itu nama Graeber tidak berhenti bersinar.

Di mana pun Graeber berada, ia selalu mendapat banyak cinta. Yusuf Arifin (Dalipin), pernah menyebutkan kisah perjumpaannya dengan Graeber. Ia memberi pujian pada Graeber dengan pujian yang luar biasa. Kekaguman itu, salah satu sumbernya berasal dari sikap Graeber yang memiliki banyak tenaga untuk aktif di banyak tempat dan kegiatan pada saat bersamaan.

Saat ditanya bagaimana resepnya, alih-alih menjawab dengan rangkaian kata-kata filosofis, Graeber justru menjawabnya dengan enteng, “Saya kerjakan apa yang perlu dikerjakan.” Jawaban apa adanya ini yang membuat Graeber membumi, sekaligus makin terlihat mengagumkan.

Graeber tidak hidup sampai tua. Pada September 2020, ia menghembuskan napas terakhirnya, dalam usia yang belum terlalu tua, 59 tahun. Ia mati meninggalkan istri Nika Dubrovski, seorang seniman yang juga penulis. Selain itu, hal yang lebih besar ia tinggalkan untuk para akademisi, juga aktivis, tentang pemikirannya mengenai budaya kerja yang penuh omong kosong.

Penulis merupakan Kontributor buku Serat Kehidupan

Related Articles

Back to top button