Dari Pinggir Kota Aku Membaca

Oleh : Faruq Bytheway*

Berdasarkan laporan yang dikemukakan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 yang lalu mengenai “Most Literate Nations in The World”, lagi-lagi menyebutkan Indonesia menempati urutan ke-60 dari total 61 negara, atau dengan ungkapan lain minat baca masyarakat Indonesia berada pada
zona degradasi, alias jika di presentasekan hanya sebesar 0,01% atau setara dengan satu manusia berbanding sepuluh ribu manusia dalam urusan minat baca.

Jika kita runut kembali dari bawah, Bank Dunia No. 16369-IND dan studi IEA (Intenational Association for the Evaluation of Education Achievermen) di Asia Timur, telah mengungkapkan tingkat terendah membaca anak-anak digenggam oleh Indonesia dengan skor 51.7.

Dibawah Filipina (skor 52.6); Thailand (skor 65.1); Singapura (74.0); dan Hongkong (75.5).
Begitupun Badan Pusat Statistik pada 2006 mempublikasikan, membaca bagi kalangan masyarakat Indonesia masih belum menjadi prioritas utama. Artinya membaca bagi masyarakat Indonesia belum mampu dijadikan nutrisi untuk memperluas wawasan atau minimal menjadi bahan informasi.

Masyarakat Indonesia cenderung lebih suka melakukan kegiatan yang lain dari pada hanya sekedar membaca. تعليم لعبة الطاولة Terlihat dari presentase minat masyarakat yang lebih suka menonton televisi (85.9%) dan sisanya melakukan ritual yang lainnya. Seperti main game, youtube-an, dan yang lainnya, syukur-syukur ketika bermedia sosial masih sempat mengunjungi detik.com, kompas.com, medianusantara.or.id
atau semacamnya untuk mendapatkan informasi terbaru.

Menemukan data-data seperti di atas, terkait minat baca masyarakat Indonesia sungguh sangatlah miris sekali. Membaca seakan tidak ada manfaatnya bagi masyarakat kita. Membaca seperti suatu kegiatan yang membuang-buang waktu. سلوقي Karena anggapan yang muncul dibenak masyarakat kita adalah;
masih banyak hal-hal pokok yang perlu dipenuhi, masih banyak agenda kecil yang perlu diselesaikan. Padahal jargon ketika kita saat masih berada di TK (Taman Kanak-Kanak), terpampang jelas kalimat “Membaca! Kunci Jendela Dunia”.

Di Indonesia sendiri, banyak masyarakat yang lebih mementingkan hal-hal yang pokok (baginya sendiri) semisal, lebih membutuhkan makanan, pakaian, kebutuhan dapur tanpa menyisakan sepeser pun untuk membeli buku. Minimal satu buku sebagai nutrisi otak yang lebih penting dari nutrisi tubuh, Al-aklus salim fil jismis salim, karena akal yang sehat berada pada tubuh sehat.

Begitu pula Mahasiswa yang dianggap sebagai masyarakat intelektual, yang lebih berpendidikan. Untuk menempa dirinya haruslah selalu bersanding dengan buku. Sebagai manusia yang selalu di sorak-sorak sebagai agen of change, agen of control dan agen segala-segalanya, mahasiswa sebagai kaum akademisi (lebih untung akademis-organisatoris) setiap harinya harus bermesraan dengan buku.

Namun apa boleh buat jika tidak sesuai dengan realita. Artinya mahasiswa-mahasiswi masih seperti emak-emak yang kebutuhannya banyak sekali, ketimbang menyisisipkan kiriman dari orang tuanya untuk memperbanyak koleksi bahan baca.

Bahkan tak jarang, mahasiswa-mahasiswi mengutamakan membeli sesuatu terkait fashionable hingga prestise, mulai dari handphone hingga alat make up, ketimbang buku. Sesuatu yang jauh dari kata civitas akademika.

Kita semua dapat membandingkan terkait lebih banyak pengunjung tempat hiburan, warung kopi, dibandingkan dengan perpustakaan. Tentu tempat yang pertama lebih menarik, kalaupun tempat terakhir jadi pilihan. Itu pasti karena hantu tugas atau mencari bahan skripsi.

“Dari pinggiran Kota Malang diriku, maupun kalian yang berada di kota-kota lainnya. Ketika melihat fenomena diatas, jelas ada tugas berat yang harus kita selesaikan bersama,”.

Artinya perlu penyeimbangan dalam penyebutan identitas sebuah kota atau kabupaten, sesuai realitas dan fakta antara wisata dan pendidikan. Atau apa perlu kita sebut sebagai kota pinggiran dengan pusat perkotaan? Tentu tidak, hanya perlu kita baca kota ini dari pinggir, untuk menemukan seperti apa minat baca di kota atau kabupaten tempat kita saat ini berada.

Untuk menumbuhkan minat baca dan budaya baca masyarakat, memang dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. العاب عل النت Perlu ada gebrakan yang sistematis dan masif, ibarat roda becak harus berjalan se-irama. Perlu ada kecintaan terhadap buku, ungkap duta buku Nasional Najwa Shihab,  “memulai membaca kita hanya perlu mencintainya.

Dosen dan guru dapat menjadi role model dalam membantu minat baca anak didiknya. Lantas kemudian pemerintah juga harus  membuat terobosan baru, selain membangun ekonomi kreatif dalam sektor pariwasata juga mampu menggerakkan ekonomi eduktif yang lebih mengarahkan konsumen pada minat membaca.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) menjelaskan bahwa perpustakaan sumber daya pendidikan yang penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan pra-sekolah, pendidikan dasar dan menengah, artinya perpustakaan sangatlah penting dalam keberlangsung minta baca di Indonesia. Posisi perpustakaan di Indonesia menempati urutan nomor 1 di Asia, namun hal itu berbanding terbalik dengan situasi minat baca masyarakat.

Sempat ada suatu hal yang menjanggal juga terkait perpustakaan yang telah disediakan. Selama hidup merantau di kota wisata-pendidikan ini (Kota Malang, red), saya masih belum menemukan perpustakaan yang memiliki standar yang bermutu. Banyak perpustakaan yang telah dikunjungi baik di kampus dan perpustakaan milik Pemkot yang koleksi bukunya itu-itu saja. Artinya tidak ada pembaharuan ketika ada buku terbaru terbit. Bahkan tak jarang ditemukan buku-buku yang sudah lusuh dan tak layak di baca.

Itulah yang menjadi kejanggalan awal, sempat bertanya-tanya apakah fasilitas yang kurang memadai atau diri yang kurang meminati. Secara objektif memang kedua faktor tersebut menjadi penghambat dari lemahnya minat baca.

Konteks diatas harus berjalan seirama dan tugas mahasiswa-mahasiswi menjadi pelopor dalam keberlangsungan minat baca. Minimal setiap kamar mahasiswa-mahasiswi memiliki perpustakaan mini, untuk keberlangsungan menempa diri dari pinggir kota lalu merantau ke tengah kota.

*Penulis Buku – Nanti Ketika Di Malang.