Arusmahakam.co, Amerika – Katib Aam PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf atau yang akrab dipanggil Gus Yahya, menyampaikan pidato kunci pada hari ketiga International Religious Freedom (IRF) Summit di Washington, DC, pada hari Kamis, 15 Juli 2021, pagi waktu setempat. Ia membawakan tajuk “The Rising Tide of Religious Nationalism” (Pasang Naik Nasionalisme Relijius).
Dalam pidatonya Gus Yahya mengatakan bahwa bangkitnya nasionalisme relijius adalah mekanisme pertahanan, ketika suatu kelompok agama biasanya merupakan mayoritas di negaranya–merasa terancam secara budaya. Hal itu terjadi karena memang dunia sedang bergulat dalam persaingan antar-nilai untuk menentukan corak peradaban di masa depan, sementara keseluruhan dinamika internasional mengarah pada perwujudan satu peradaban global yang tunggal dan saling berbaur (single interfused global civilisation).
Persaingan yang sengit dalam konteks ini berpotensi memicu permusuhan dan kekerasan. Oleh karena itu, dunia harus menemukan cara untuk mengelolanya sebelum terlanjur meletus konflik global yang acak dan kacau, yang bisa memakan korban tak terperi dan meruntuhkan peradaban umat manusia seluruhnya.
Gus Yahya menawarkan suatu strategi dalam rangka itu. “Pertama-tama, kita harus mengidentifikasi, nilai-nilai apa yang selama ini telah kita terima bersama,” ia menjabarkan. “Saya bisa sebut: nilai-nilai kejujuran, kasih-sayang dan keadilan, adalah nilai-nilai yang pasti kita sepakati secara universal,” lanjutnya.
Kemudian ia mengatakan bahwa dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati agar semua pihak yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai.
“Bila diperlukan, nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai harus dirubah,” ia menegaskan.
Terkait dengan itu, ia memberikan contoh, apa yang telah dilakukan oleh Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim-Ulama di Kota Banjar tahun 2019 yang lalu, yaitu keputusan para ulama untuk menetapkan bahwa, sebagaimana ia katakan, “kategori kafir tidak memiliki relevansi hukum dalam konteks negara bangsa moderen, karena setiap warga negara harus setara didepan hukum.”
Sesudah itu semua, adanya perbedaan-perbedaan keyakinan mengenai nilai-nilai yang tersisa harus disikapi dengan toleran.
Hadirin mengelu-elukan dengan tepuk tangan berulang kali sepanjang pidato itu. Ambassador Sam Brownback, dalam sambutannya sebagai pemrakarsa dan penanggung jawab KTT, secara khusus memuji langkah-langkah bersejarah yang telah diambil oleh Nahdlatul Ulama.
“Dunia sungguh membutuhkan peran Nahdlatul Ulama demi masa depan peradaban yang lebih harmonis”, tandas Sam Brownback. (Tgs)