G20 – Indonesia Dorong Tingkatkan Kesetaraan Gender di Dunia Kerja

Indonesia akan mengusulkan mekanisme indikator pelaporan gender dalam bisnis yang bersifat wajib bagi perusahaan-perusahaan di negara-negara anggota G20 sebagai sebuah rekomendasi dalam pertemuan para pemimpin G20 di Nusa Dua, 15-16 November 2022 mendatang.

Arusmahakam.co, Jakarta – Kaum perempuan di Indonesia masih rentan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam berpartisipasi di dunia kerja. Data Badan Pusat Statistik per Agustus 2021 menunjukkan, angka kesempatan kerja perempuan baru sekitar 53,34 persen atau lebih kecil dari kaum pria yaitu sebesar 82,27 persen.

Karena itu sebanyak 63,8 persen dari perempuan tadi memilih bekerja di sektor informal atau lebih besar dari laki-laki (56,61 persen). Hanya sebesar 32,5 persen dari pekerja perempuan yang mampu meraih jenjang karier di tingkatan manajerial dalam berbagai bidang pekerjaan.

Jika menilik dari sisi pengupahan, dengan angka Rp2,35 juta per bulan yang diterima pekerja perempuan, masih lebih kecil dibandingkan apa yang didapatkan pekerja laki-laki yaitu sebesar Rp2,96 juta per bulan. Hal itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor tak terlihat (ceiling glass effect) yang menyebabkan perempuan sulit meningkatkan kemampuannya untuk meraih posisi pekerjaan yang lebih baik.

Misalnya adanya stereotipe soal kemampuan perempuan dalam memimpin, kebijakan organisasi yang berbau diskriminasi terhadap perempuan, Kemudian masih rendahnya kompetensi, peran ganda perempuan, dan tingginya budaya maskulinitas.

Hal itu disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga dalam webinar Rising to the Top: Women Leadership in Executive Position in IDX200, Kamis (21/4/2022). Kegiatan ini merupakan side event dari Business 20 (B20) pada Presidensi G20 Indonesia dan diadakan bertepatan dengan peringatan Hari Kartini.

Menurut Menteri Bintang, Indonesia sangat mendukung hasil G20 Brisbane pada 2014 yang berfokus pada pengurangan kesenjangan partisipasi perempuan di dunia hingga 25 persen di 2025 mendatang. Selain itu, Presidensi G20 Indonesia harus dimanfaatkan untuk meningkatkan peran perempuan di dunia kerja dan menghapus kesenjangan upah pekerja perempuan.

Ia juga berharap dapat memberi peluang lebih besar kepada perempuan untuk menempati posisi-posisi strategis di perusahaan-perusahaan. “Dengan membawa semangat Hari Kartini, saya mengajak semua pihak dan negara-negara G20 bergandeng tangan bekerja sama untuk menjadikan perempuan lebih berdaya. Jika perempuan lebih berdaya maka anak-anak mereka pun akan semakin sejahtera,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Sumber Daya Manusia dan Keuangan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Risa E Rustam yang menyebutkan salah satu fokus Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) adalah terwujudnya kesetaraan gender di berbagai bidang. Selaku G20 Empower Advocate Indonesia, Risa mengatakan bahwa pihaknya mengadakan sensus terkait kepemimpinan perempuan pada tingkat eksekutif yang dilakukan terhadap 200 perusahaan yang tercatat di BEI.

Sensus yang digelar Desember 2021 hingga Maret 2022 itu melibatkan 200 emiten dengan kapitalisasi perdagangan terbesar dalam kurun Juli-Desember 2021. Diketahui dari hasil sensus tersebut bahwa saat ini hanya terdapat 11 persen perempuan menempati posisi manajerial dan sekitar 4 persen atau 8 orang menjabat sebagai pimpinan tertinggi (Chief Executive Officer/CEO) di delapan korporasi. Mereka adalah pimpinan di PT Vale Indonesia Tbk, PT Bank Ganesha Tbk, PT XL Axiata Tbk, PT MNC Studios International Tbk, PT Prodia Widyahusada Tbk, PT Unilever Indonesia Tbk, PT Surya Biru Murni Acetylene Tbk, dan PT Hasnur International Shipping Tbk.

Risa menyebutkan, berdasarkan hasil survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) terhadap 416 perusahaan di Indonesia menunjukkan bahwa kurang dari 10 persen yang mempunyai pimpinan dari kalangan perempuan bahkan untuk level manajemen. Analisa McKenzie Global Institute menyebutkan hanya sekitar 13 persen perempuan Indonesia mengisi posisi penting di level manajerial dan hanya lima persen berada di posisi direksi.

Di tingkat global, merujuk data Sustainable Stock Exchange Gender Equality 2021 menunjukkan bahwa dari 2.200 perusahaan dengan nilai perdagangan saham terbesar di negara-negara anggota G20, peran pemimpin perempuan masih minim. “Hanya sekitar 20 persen berada di posisi manajemen. Sebanyak 5,5 persen di posisi direksi, dan 3,5 persen sebagai CEO. Dari data-data di atas menunjukkan bahwa peran pemimpin perempuan masih rendah,” ujar Risa.

Kondisi yang sama juga terjadi di Australia. Seperti diutarakan Head of Mission Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Penny Williams bahwa dari 300 perusahaan di Bursa Efek Australia (ASX) yang disensus, hanya terdapat enam persen perempuan menempati posisi CEO. “Tidak hanya di Indonesia, Australia pun mengalami hal yang sama ketika masih sedikit perempuan berada dalam posisi pimpinan di perusahaan. Karena itu saya gembira mengetahui diangkatnya tema tentang peran pemimpin perempuan di dalam perusahaan pada B20 kali ini”.

Pelaporan Indikator Gender

Chair B20 Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menyampaikan rencana untuk merekomendasikan mekanisme pelaporan indikator gender dalam bisnis yang bersifat wajib bagi perusahaan-perusahaan di negara-negara anggota G20. “Kami akan mendorong aksi afirmatif untuk dijadikan rekomendasi kebijakan para pemimpin saat Konferensi Tingkat Tinggi G20,” kata Shinta.

Kendati terdapat banyak kelemahan dari sisi kesempatan meraih karier tinggi di perusahaan, Shinta menunjukkan fakta berdasarkan survei ILO di 70 negara termasuk Indonesia terkait prakarsa kesetaraan dan keragaman gender. Faktanya, hal itu dapat membantu dalam meningkatkan performa usaha. Misalnya meningkatkan produktivitas, profit, kreativitas, inovasi, ketahanan, dan penguatan merek perusahaan.

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu, Indonesia perlu memperluas upaya untuk menyamakan kedudukan gender lewat tindakan yang kuat dan efektif untuk menghapus setiap hambatan yang menjadikan perempuan sulit mencapai kesetaraan.

“Kita harus memanfaatkan keunggulan kita dengan menciptakan ekosistem yang mendukung talenta-talenta perempuan di perusahaan. Kita harus menyadari pentingnya mengukur dan memantau kemajuan bersama yang mana laporan kesetaraan gender menjadi penting utamanya dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi perusahaan,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, CEO Vale, Febrianti Eddy dan Managing Director NASDAQ, Virginie Barbot berbagi pengalaman sebagai orang nomor satu di perusahaan mereka. Febrianti yang belum genap setahun sebagai CEO dan presiden direktur perusahaan tambang berkode emiten VALE ini merupakan perempuan pertama yang mengisi jabatan itu sejak VALE berdiri. Ia menggantikan Nicholas D Kanter yang bergeser menjadi komisaris.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu sebelumnya menjabat Chief Finance Officer VALE. Ia mengungkapkan, di awal menjabat CEO, ada rasa canggung ketika memimpin rapat karena dirinya adalah satu-satunya direksi yang tidak berlatar belakang insinyur.

“Untuk menjadi CEO yang kuat sebetulnya saya perlu mentor yang baik. Tapi mereka bilang bahwa saya lebih baik kuliah lagi untuk dapat gelar insinyur dan itu sempat memukul saya. Tapi saya katakan tidak karena saya masih mampu mengatasinya dengan cara saya. Untuk itulah para pemegang saham memilih saya,” kata Febri yang telah 14 tahun berkarier di Vale.

Sementara itu, Virginie mengutarakan bahwa ia mengedepankan keberagaman, kesetaraan, dan budaya sebagai identitas perusahaan dan berlaku untuk seluruh karyawan yang dipimpinnya. Menurutnya, semua orang harus diberi kesempatan yang sama termasuk kepada perempuan untuk berkembang dan menciptakan banyak hal positif yang akan memberikan keuntungan besar bagi perusahaan di masa mendatang. (ant/idn/amc)