Cerpen & PuisiRagam

Gadis Cape of Good Hope

Penulis: Audey Maria Imeldha*

Aku anak perempuan yang lahir di sebuah kota yang disebut sebagai tempat Raja bertahta. Seiring waktu, kedua orang tuaku membawaku untuk tumbuh besar di desa bernama Tanjung Harapan. Desa yang terus menjaga perihal harapan tetua desa hingga masa sekarang.

Jika boleh meminta agar tanjung ini benar-benar penting, maka aku berharap ia dapat mengambil alih peran dari suatu tanjung bebatuan yang diisi baris pasir pantai menghadap Samudera Atlantik di Afrika Selatan sana bernama Cape of Good Hope. Mengingat ia merupakan tanjung yang menjadi batu loncatan peradaban sejarah lintas manusia, sebelum para pelaut eropa menemukan Amerika dan Hindia Timur.

Aku merupakan anak kedua, dari empat bersaudara. Ayahku merupakan seorang petani sawah, sebuah pekerjaan yang luar biasa. Ia berkomunikasi dengan bulir-bulir padi, tanah, air, maupun hama-hama padi setiap waktu tanam hingga panen. Seragam ayah adalah pakaian berupa kaus dan celana kain, ia nampak gagah dengan keringat dan begitu dekat bersahabat bersama matahari. Walau kadang ia harus berkorban dengan tenaga dan keringat yang tiada henti menetes demi dapat terus bersahabat dengan energi besar tersebut.

Disela-sela pekerjaannya sebagai petani sawah, ayah selalu mendapatkan hiburan menarik ketika ia menyelipkan tradisi berburu hewan liar sebagai kegiatan olahraga maupun bentuk sikap lainnya sebagai ksatria. Perihal yang membuat Ibu dan saudara-saudaraku begitu merindukan kedatanganya dari hutan belantara. طريقة لعب البوكر Karena pada malam harinya, rumah kami akan begitu hangat dengan canda gurau kami sekeluarga, ditambah daging hasil berburu yang diolah begitu cermatnya menjadi makanan lezat.

Ibuku merupakan cahaya rembulan, membuat kami semua menjadi tenang pada saat gelap tiba hingga pagi menjelang. موقع المراهنات كرة القدم Ketika siang ia mengisi seluruh detik waktu dengan menumpar dan berkebun. Tanah di pekarangan kami tumbuh berbagai macam tanaman, sebuah mini market yang hidup dan begitu dekat dengan dapur kami. Memudahkan penambahan bilangan sayur-mayur untuk tersaji pada saat makan tiba.

Baca juga:  Kisah Sang Elang

Perlahan aku terus belajar banyak hal, dari bunyi-bunyian, gerakkan, arah angin, hingga teks yang tertulis diatas kalender berwajah artis film Dian Sastro. Sebagai anak petani tentu aku harus sadar diri, di negeri Pelangi tidaklah mudah menjadi klan anak bumi. Maka suatu hari aku dibawa adik perempuan ibu untuk bekerja pada sebuah rumah makan dekat kastil pangeran-pangeran tampan.

Tentu tiada yang mudah dalam hidup, kerjaku adalah mengantar makanan pada tiap-tiap meja para bangsawan. Setelah melewati hari yang sulit, aku mendapat upah dari hasil kerjaku. Uang perak pertama yang aku miliki dari hasil kerja keras sendiri, rasa lelahku selama ini menghilang seketika.

Tidak hanya itu, aku lantas memerdekakan diri. Merdeka memilih pekerjaan paruh waktu, mulai dari menanam padi, membajak sawah, memecahkan batu, berjualan keliling. Termasuk pula menjadi pemanah hebat, dengan dipandu ksatria matahari yakni ayahku. Kami berburu hewan liar di hutan, sebuah kemewahan atas pendidikan bertahan hidup pada dunia yang liar. Aku selalu bersyukur pada Tuhan, atas berkah luar biasa ini.

Tahun-tahun berikutnya aku melanjutkan pendidikan di negeri atas angin, lantas aku membuka bisnis kerajinan tangan. Awalnya memang sulit, tetapi setelah beberapa usaha dan kerja keras, akhirnya bisnis kecil itu berjalan. Orderan dari sosialita terus bertambah, uang yang terkumpul lantas ku gunakan kembali untuk membeli bahan dasar seperti manik dan benang. Serba-serbi dunia, ku tak siap dengan persaingan yang luar biasa. Banyak wanita mulai tertarik dengan usaha serupa, menawarkan dengan harga di bawah rata-rata. Aku tumpah dan pasrah, kemudian berganti pada produk lain.

Aku mulai mengganti kegiatanku, dengan mendekati produk bernama tumpar. Tumpar merupakan salah-satu kerajinan adat Dayaq Benuaq, membuatnya tidak sulit. Tetapi memang membutuhkan ketelitian dan ketekunan agar mendapatkan hasil tumpar yang baik. Seperti episode sinetron lainnya, kembali lagi wanita-wanita sebayaku ikut-ikutan. Hiiii… Pada akhirnya tidak ada orderan yang masuk, aku mulai kehilangan usaha lagi. لعبة بلبل

Baca juga:  Dangdut, Kemungkinan Besar Obat Alternatif COVID-19

Aku lantas diterima belajar pada Smatwoen Castele, beruntung aku dapat bekerja pada sebuah toko kue. Memandangi warna-warni kue yang berbaris bak sedang ikut latihan baris-berbaris, tetapi tetap manis dan cantik yang utama. Namun bumi kedatangan alien berjenis COVID-19, manusia banyak terimbas kengerian atasnya. Bumi mendadak sunyi, semua bersembunyi dalam kantung-kantung pertahanan walau tiada desing peluru seperti cerita sejarah perang dunia.

Setelah beberapa tahun menempuh pendidikan di Smatwoen Castele, aku kemudian melanjutkan pendidikan tinggi pada sebuah University dengan lambang mahluk mitologi. Seperti halnya universitas yang digambarkan pada novel Harry Potter karang J.K Rowling, univesitas ini sangatlah menarik hati saya.

Ini mungkin permulaan yang berat, ditengah berbagai kendala yang telah aku alami sebagai anak petani sawah dan beribu cahaya. Namun sebagaimana judul tulisan diatas “Gadis Cape of Good Hope”. Aku takkan pernah menyerah walau berdarah-darah, karena sejatinya aku adalah hamba-Nya. Selalu dalam kasih sayang Tuhan, amin.

Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta).

Related Articles

Back to top button