Goa Karst! Paradise Sejarah Tersembunyi

Oleh: R.J Warsa*

Melihat Kutai Timur dari dekat, kemungkinan besar pikiran tiap orang akan tertuju pada perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara. Sesungguhnya ketika menelisik secara tenang, akan terlihat sisi keindahan daerah pedalaman dan pesisir pada salah-satu kabupaten di Kalimantan Timur itu.

Pegunungan Karst yang saling sambung-menyambung dari Kecamatan Bengalon, Kaliorang, Sangkulirang, hingga Karangan. Membuatnya lebih dikenal dengan nama Karst Sangkulirang – Tanjung Mangkalihat, dengan jejak berupa lukisan dinding manusia purba.

Menunjukkan telah ada peradaban yang meninggalkan jejak eksistensi mereka pada goa Mangkuris, Gunung Gergaji maupun Merabu. Paradise yang lama tersembunyi tersebut seakan menggugat kehadirannya sejak puluhan ribuan tahun lalu, untuk dapat dikenal di Indonesia maupun dunia.

Bahkan keberadaannya menarik para peneliti dari Indonesia dan peneliti dari luar negeri, atas cap tangan pada dinding gua. Dari dalam negeri ada nama Dr. Pindi Setiawan M.Si yang masuk dalam tim peneliti Institut Teknologi Bandung. Kabar terakhir, hasil penemuan itu telah dipublikasikan pada 2018 lalu di Jurnal Nature.

Dalam sudut pandang masyarakat lokal, keberadaan goa Mangkuris yang berada di desa Batu Lepoq, Kecamatan Karangan. Terbentuk oleh peristiwa magis pada zaman dahulu, dimana sebelumnya daerah itu merupakan daerah dataran dan perbukitan. Dikarenakan ulah beberapa pemuda yang melanggar pantangan dengan menyakiti hewan, padahal mereka termasuk pemuda-pemuda yang mengurus ritual Erau Belian Danyam.

Mereka sengaja menyumpit berangan alias monyet, lalu kemudian mendandaninya layaknya seorang manusia dengan diberikan pakaian dan mengaraknya keliling kampung. Hal ini diketahui Kepala Adat, kontan saja hal itu menyulut kekhawatirannya akan malapetaka yang bisa menimpa desa.

Kekhawatiran Kepala Adat itu benar terjadi akhirnya. Perwakilan adat dari tujuh desa yang berencana mengikuti Erau, tiba-tiba saja mendapatkan halangan berupa angin puyuh dan hujan deras. Bahkan iring-iringan perahu yang memasuki desa tersebut terbalik dalam sungai dan hilang tak berbekas.

“Panci memasak milik para tamu ikut terpental dan diyakini berubah menjadi bebatuan yang membentuk pegunungan karst, sejak itulah daerah tersebut dinamai Batu Lepoq,” tutur Minggu, yang merupakan juru kunci goa Mangkuris.

Keberadaan Karst Sangkulirang – Tanjung Mangkalihat yang masuk dalam wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara, dimanfaatkan Sultan Aji Muhammad Parikesit untuk menarik upeti dari hasil penyebaran sarang burung walet alami hingga hasil alam maupun juga penyebaran agama islam pada masyarakat lokal. Sultan tersebut memimpin pada rentang waktu 1920 hingga 1960 dengan pusat pemerintahan di Tenggarong, Kutai Kartanegara.

Minggu sendiri mengaku sebagai keturunan Petinggi Adat Batu Lepoq bernama Wangsa Luqahan, dimana keberadaan kampung serta pemanfaatan goa karst telah berlangsung lama sejak zaman Kesultanan Kutai Kartanegara. “Bahkan kakek menjadi pemimpin kampung pada tahun 1934, atau jauh sebelum Indonesia merdeka,” terangnya.

Bahkan pemanfaatan keberadaan wilayah tersebut, jauh sebelum zaman kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Parikesit. Mengingat dengan keberadaan makam penyebar agama Islam, utusan Kesultanan Kutai Kartanegara yang keberadaanya berada beberapa ratus meter sebelum memasuki wilayah gua Mangkuris. Yakni makam Ibnu Ali al Mangkurisi dan Siti Fatimah.

Makam Ibnu Ali al Mangkurisi

Keberadaan makam tersebut dinilai berusia lebih tua, dibandingkan masa kepemimpinan Sultan Aji Muhammad Parikesit. Kedua makam muslim tersebut kemungkinan besar berada pada zaman pemerintahan Sultan Aji Muhammad Alimuddin pada 1899-1910. Mengingat makam keduanya baru ditemukan, saat perusahaan kayu menggarap Hutan Tanaman Industri pada tahun 1990.

Minggu mengisahkan penemuan makam itu sendiri tidak sengaja, bahkan amat luar biasa. Pada era 90-an PT. Sumalindo menggarap Hutan Tanaman Industri (HTI), saat itu dozer-dozer yang digerakan meratakan jalan tiba-tiba menemukan kedua makam dalam hutan rimba yang rapat dengan bentukan nisan batu.

“Saat itu tertutupi lebatnya hutan dan tanah. Ternyata timbul kembali dan seakan-akan naik ke permukaan tanah. Maka keberadaanya dipertahankan hingga sekarang, mengingat keberadaan kedua makam tersebut termasuk dalam sejarah syiar perkembangan islam di daerah pedalaman Kalimantan,” terang Minggu didampingi anaknya bernama Maulana.

Harapan Besar Masyarakat Atas Keberadaan Karst

Saipul Anwar pemuda setempat mengatakan, keberadaan pegunungan karst di Karangan yang teramat luas memerlukan kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya arti karst bagi kehidupan manusia.

“Selain sebagai sumber air dan memegang penting dalam ekosistem kehidupan, keberadaan karst memiliki pesan mendalam mengenai kearifan sejarah manusia purba. كيفية لعب البلاك جاك Dimana ia menjadi titik-titik awal sejarah dan warisan dunia mengenai penyebaran manusia ke segenap wilayah nusantara,” jelasnya.

Sulit memang untuk tidak mengakui secara jujur, jika Karangan memiliki materi luar biasa sebagai sebuah kesatuan wisata alam yang begitu menantang. Jika selama ini yang tampil di publik adalah pegunungan karst Gombong Selatan, Kebumen. Karst Kapur Utara yang tersebar di Kudus, Pati, Grobogan, Blora hingga Rembang Jawa Tengah, atau perbukitan Maros Pangkajene di Sulawesi Selatan.

Saipul Anwar tokoh pemuda setempat

Kawasan Karst Sangkulirang – Tanjung Mangkalihat yang termasuk didalamnya pegunungan karst di Karangan dengan luasan mencapai 293 ribu hektar lebih ini, ternyata menghadirkan berbagai kejutan yang menakjubkan mata para petualang.

Dalam menjaga pegunungan karst yang merupakan bagian dari warisan dunia, tentu membutuhkan pemahaman yang baik dari semua pihak. Mulai dari masyarakat, LSM, pemerhati budaya dan lingkungan, pemerintah hingga pihak swasta, diharapkan mampu bergerak sinergi dengan pengelolaan karst yang tidak saja berdampak pada dunia pariwisata.

Tetapi juga pada sektor-sektor lainnya seperti sosial, budaya, ekonomi, hingga pendidikan. Karena ini bukan sekedar mengangkat derajat manusia semata tetapi mengangkat derajat alam dan lingkungan sebagai garda depan kehidupan.

Minggu serta seluruh masyarakat adat Dayak Basap secara turun-temurun diperintahkan tetap menjaga dan mempertahankan kelestarian kondisi goa-goa seperti sedia kala. Tetapi hal itu tidak akan bermanfaat banyak, jika tidak disokong oleh kebijakan yang memihak pada adat maupun alam.

Nampak lukisan purba berupa tapak tangan pada dinding gua

“Kami butuh dukungan semua pihak, untuk kemudian benar-benar memfokuskan diri dalam pengembangan wisata alam ini. Silahkan mengembangkan pariwisata alam untuk kemajuan daerah, kami menyambutnya dengan antusias. مسابقات للربح مجانا Tinggal bagaimana kebijakan pemerintah mampu mendukung penuh pemanfaatan potensi- pariwisata di Karangan. Sehingga pegunungan karst sebagai warisan dunia tidak saja menjadi simbol namun menjadi pondasi dari perbaikan kondisi masyarakat dan lingkungan,” harapnya.

Dalam sudut pandang Irwan Pecho salah-satu pencinta karst. Sebaran karst memang amat krusial bagi pembangunan ruang lain seperti perkebunan dan pertanian, karena jika barisan pegunungan rusak. لعبة بلوت Maka investasi yang sudah dikeluarkan dengan maksud mensejahterakan, justru akan merusak keberadaan pegunungan karst yang memang memiliki arti penting dalam ekosistem hidup manusia dan alam.

“Untuk itulah perlu ruang diskusi maupun kesepahaman dengan berbagai pihak terkait, mengenai arti penting keberadaan pegunungan karst agar dapat berdampingan dengan laju pembangunan itu sendiri,” jelasnya.

Benny pencinta karst lainnya, menyebutkan jika dirinya menikmati perihal goa-goa karst yang ada di Kutim. Bahkan beberapa temuan berupa sisa-sisa gerabah hingga tapak tangan hasil karya budaya manusia purba, menjadikan ekspedisi pegunungan karst amat berkesan untuknya.

“Kecintaan pada alam makin menjadi-jadi, tidak mudah untuk menemukan pengalaman berharga seperti ini. Terlebih berkunjung pada lokasi wisata mainstream namun di luar mainstream, amat menyenangkan sekaligus menyuguhkan pengalaman berharga. Saya berharap hasil-hasil temuan baik yang telah didapatkan oleh peneliti maupun rekan-rekan pencinta karst dapat dijadikan satu wadah, yakni berupa museum di Kutim,” harapnya.

NB: Penulis merupakan anggota IALI (Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia) Kalimantan Timur. Saat menjadi mahasiswa, termasuk pendiri PERHIMALI (Perhimpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap Indonesia).