Ikhwal Ishlah

Oleh: Didik Suyuthi*

Sejenak membayangkan suasana Muktamar Cipasung. Berdasarkan cerita dan catatan pemberitaan, konon itulah Muktamar terpanas sepanjang sejarah.

Hari itu, Senin dini hari, 5 Desember 1994, ketegangan memuncak. Tak sedikit kiai sepuh yang hatinya ketar-ketir. بوكر اون لاين حقيقي Sebagian bahkan tak kuasa meneteskan air mata. Semua muktamirin yang hadir harap-harap cemas. Suasana tegang. Dini hari itu penghitungan hasil pemungutan suara akan segera dimulai.

Sesaat kemudian, melalui pengeras suara, dibacakanlah nama-nama calon dan perolehan suaranya berdasarkan hasil pemungutan. bet365 com Pada putaran pertama, Gus Dur mengumpulkan 157 suara, Abu Hasan 136 suara, Fahmi Saifuddin 17 suara, dan Chalid Mawardi 6 suara.

Walhasil, diluar perkiraan banyak orang, pada putaran kedua, Gus Dur unggul dengan meraup 174 suara, dan Abu Hasan 142 suara. Hasil akhir ini sontak direspon histeris para Muktamirin. Sebagian mereka spontan meneriakkan yel-yel “Soeharto has to go! Soeharto has to go!”

Sedikit menilik sejarah, panasnya Muktamar ke-29 NU di Cipasung saat itu dipicu oleh upaya terbuka penguasa Orde Baru yang ingin menjegal pencalonan Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU untuk yang ketiga kalinya.

Meski pada akhirnya gagal, namun dampak dari upaya penjegalan yang begitu rupa, membuat akar rumput bahkan struktural NU dari pusat hingga daerah terbelah dua.
———————————
Awal tahun 1995, mengawali masa khidmatnya yang ketiga, Gus Dur mengupayakan langkah-langkah rekonsiliasi internal. Komunikasi pun dilakukan dengan berbagai pihak, baik di akar rumput, maupun di level elit NU yang berseteru.

Hasil komunikasi dan konsolidasi, kemudian antara lain menyepakati dilaksanakannya sebuah majelis ishlah di PWNU Kalimantan Selatan. Kebetulan Kalimantan Selatan saat itu menjadi salah satu wilayah yang lumayan keras polarisasinya.

Berbagai persiapan teknis pertemuan pun dilakukan. Dua pihak yang mengalami keterbelahan, menjadi prioritas undangan.

Dari PBNU, Gus Dur mengutus Ahmad Bagdja, Sekjen PBNU saat itu, untuk memfasilitasi pertemuan.

Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Ahmad Bagdja ke Kalimantan Selatan. Namun sesuatu terjadi.

Sesaat setelah mendarat di Bandara Syamsudin Noor di Banjar Baru, ia mendapat telpon dari Guru Ijai, seorang tokoh kharismatik yang disegani dari Banjar, Kalimantan Selatan.

Guru Ijai yang bernama lengkap Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari, sigkat kata, berharap dan meminta agar Ahmad Bagdja langsung menuju ke kediaman beliau di Martapura. لعبه افلام

Mendapati permintaan ini, Ahmad Bagdja lantas berkoordinasi singkat dengan kedua pihak yang hendak di ishlahkan.

Sam’an wa tha’atan dengan permintaan Guru Ijai, tokoh kelahiran Kuningan, Jawa Barat ini, kemudian memutuskan langsung menuju Martapura, diikuti oleh kedua belah pihak yang sedianya hadir dalam pertemuan Ishlah.

Sesampainya di kediaman Guru Ijai, di Kelurahan Keraton, Martapura, hanya Ahmad Bagdja saja yang kemudian mendapat perkenan bertatap muka langsung di ndalem beliau.

“Indonesia ini tidak pecah karena do’a tujuh orang. Allah mendengar betul do’a beliau-beliau. Jangan dibayangkan ketujuh orang ini kiai semua. Mereka ada yang tukang gorengan, ada yang tukang sapu. Karena beliau-beliau inilah Indonesia selamat,” demikian antara lain dawuh Guru Ijai.

Guru Ijai lantas mencontohkan beberapa negara Uni Eropa seperti Uni Soviet, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman Timur, hingga Ottoman yang terpecah dan bubar lantaran tidak memiliki karunia hadirnya kaum-kaum salikin sebagaimana tujuh orang dimaksud.

“Kalau memang Allah kasih kesempatan saya ketemu sama tujuh orang ini, saya akan mau dengan senang hati berguru sama beliau-beliau,” lanjut Guru Ijai.

Usai bertatap muka dan mendapat buah tangan berupa cerita singkat ini, Ahmad Bagdja pun diperkenankan kembali melanjutkan agenda kegiatannya.

Namun belum lagi agenda dilanjutkan sebagaimana rundown acara, belum lagi bergerak dari tempat Guru Ijai, dua pihak yang berselisih, langsung menyatakan ikrar ishlah satu sama lain.

Wallahu ‘A’lam

#Ikhwal pertemuan dengan Guru Ijai disarikan dari cerita Mas Yulianto LPBI, yang mendengarkan riwayat langsung dari almaghfurlah KH Ahmad Bagdja.

*Wakil Ketua Lembaga Ta`lif wan Nasyr Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LTN PBNU)