arusmahakam.co, Samarinda – Kasus kekerasan terhadap anak kerap menjadi sorotan. Setiap tahunnya, isu kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual selalu mencuat ke permukaan.
Menukil data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) per Januari – November 2022, tercatat 22.986 kasus kekerasan terjadi. Dari sederet kasus tersebut, korbannya didominasi oleh usia anak, sebesar 56,7 persen.
Jika dirincikan berdasarkan klasifikasi umur, maka rentang usia 13-17 tahun menjadi korban paling dominan, sebesar 31,6 persen. Disusul, rentang umur 6-12 tahun 17,6 persen, dan 0-5 tahun 7,4 persen.
Kasi Tindak Lanjut UPTD PPA Kaltim, Mirza Alfian mengatakan, memang dari sederet kasus yang terjadi, usia anak menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban. Terutama korban kekerasan seksual.
“Memang akhir-akhir ini banyak kasus yang terjadi pada anak di bawah umur. Saat ini ada juga kasus yang sedang kami tangani. Tapi, untuk di Kaltim, kasus kekerasan seksual anak bukan yang dominan, kalau dari 58 kasus yang kami tangani lebih didominasi KDRT,” paparnya.
Meski dari laporan kekerasan seksual terhadap anak di Kaltim yang diterimanya minim, Mirza tak semata-mata meyakini jika peluang terjadinya kekerasan seksual terhadap anak sudah menurun. Bahkan menurutnya, minimnya laporan dikarenakan adanya stigma di mata masyarakat jika kasus kekerasan seksual merupakan aib. Dan, cukup diselesaikan dengan cara kekeluargaan semata.
“Ini seperti dua mata koin juga. Bisa saja fenomena kekerasan seksual ini sebenarnya banyak tapi banyak juga yang tidak melaporkan. Contohnya seperti kasus yang kami tangani, kejadiannya itu sudah sejak 2015 ketika korban masih SMP dan berlangsung sampai korban umur 19 tahun. Parahnya pelakunya orang tuanya sendiri, tapi memang biasanya pelakunya itu orang terdekat korban,” ungkapnya.
Mirza berpendapat untuk menghindari terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak, orang tua mesti memberikan edukasi seksual sejak dini. Memberikan pemahaman pada anak organ tubuh mana saja yang tidak boleh disentuh. Selain itu, lingkungan keluarga juga harus menerapkan pola ramah anak.
“Memang peran keluarga sangat penting dalam edukasi seksual agar menghindari kekerasan seksual terhadap anak. Makanya kan bagus itu ada pemahaman yang di tanamkan jangan sampai ada orang asing yang memenang organ intim sejak dini. Terakhir ya, untuk korban kekerasan seksual juga harus berani speak up. Jika tidak maka siklus itu bisa terjadi terus, tidak ada efek jera juga bagi pelaku,” tukasnya. (adv/dys/DKP3A)