AswajaOpini

Kemerdekaan dan Asyura

Bulan ini kita akan menyambut dan menyongsong dua hari besar yang saling berdekatan. Hari ini Selasa, 17 Agustus kita memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76, hari paling bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia. Dua hari berikutnya, kita akan memperingati hari Asyura, salah satu hari yang paling bersejarah dalam perjalanan umat Islam.

Selama 76 tahun kita menghirup udara kemerdekaan, apakah kita telah benar-benar meraih kemerdekaan yang hakiki?. Tidak dipungkiri, merdeka dari cengkeraman kaum penjajah merupakan kenikmatan agung yang Allah anugerahkan kepada bangsa Indonesia. Betapa tidak, dengan kenikmatan merdeka, kita bisa dengan leluasa melakukan banyak hal yang bermanfaat. Akan tetapi sudah cukupkah bagi kita kemerdekaan dari cengkeraman penjajah?. Bukankah masih banyak belenggu yang harus kita singkirkan agar kita dapat meraih kemerdekaan hakiki dan sejati?

Kemerdekaan hakiki adalah ketika kita sudah mampu memerdekakan diri kita dari jerat hawa nafsu. Kemerdekaan sejati adalah ketika kita telah mampu memerdekakan diri kita dari perangkap jahat setan yang tiada henti membuai kita dengan rayuannya. Kemerdekaan yang sebenarnya adalah tatkala kita telah mampu memerdekakan hati kita dari penyakit-penyakit hati yang membinasakan.

Kemerdekaan yang sesungguhnya bagi seorang pejabat adalah saat ia mampu memerdekakan dirinya dari mental korup. Pejabat yang korup dan memakan uang rakyat sejatinya ia terjajah dan belum merdeka. Terjajah oleh angan-angannya bahwa kekayaan dan status sosial yang tinggi akan melambungkan kebahagiaannya.

Kemerdekaan yang hakiki bagi orang kaya adalah tatkala ia mampu memerdekakan hatinya dari penyakit sombong dan sikap merendahkan orang lain. Kemerdekaan bagi seorang pedagang adalah ketika ia mampu memerdekakan dirinya dari kecurangan. Seorang santri atau siswa dikatakan merdeka apabila ia mampu memerdekakan dirinya dari kemalasan dalam menuntut ilmu. Guru atau dosen yang merdeka adalah yang mampu memerdekakan dirinya dari niat lain selain mengabdi, mendidik, dan mengader. Seorang tetangga yang merdeka adalah apabila ia mampu memerdekakan hatinya dari virus iri, dengki, dan hasud kepada tetangganya. Dan begitulah seterusnya. Kemampuan melepaskan belenggu yang menghalangi kita dari berbuat baik, itulah kemerdekaan yang hakiki dan sesungguhnya. Jika seluruh bangsa Indonesia sudah meraih kemampuan itu, maka Indonesia benar-benar telah merdeka. Merdeka dalam arti yang sesungguhnya.

Baca juga:  Dari Sunan Ampel Hingga KH Hasyim Asy'ari

Dua hari berselang setelah kita memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-76 pada tahun ini, kita akan memperingati hari Asyura, 10 Muharram 1443 H yang tahun ini jatuh pada tanggal 19 Agustus 2021. Salah satu yang kita kenang dan kita petik hikmahnya pada hari Asyura adalah kemerdekaan Nabi Musa ‘alaihissalam beserta para pengikutnya yang beriman dari cengkeraman Fir’aun, al-Walid bin Mush’ab, raja Mesir yang mengaku dirinya sebagai tuhan yang wajib disembah.

Allah memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam agar pergi kepada Fir’aun untuk mengajaknya masuk ke dalam Islam, mentauhidkan Allah dan menyucikan-Nya dari sekutu dan serupa. Nabi Musa pun pergi dan memperlihatkan kepadanya mukjizat-mukjizat yang sangat menakjubkan dan membuktikan kenabian dan kerasulannya. Meskipun begitu, Fir’aun tetap kafir kepadanya, menolak dan bersikap congkak serta menyiksa dan menindas kaum Nabi Musa yang beriman. Akhirnya Nabi Musa ‘alaihissalam dan para pengikutnya dari kalangan Bani Isra’il keluar dari Mesir dengan jumlah 600 ribu orang. Fir’aun mengejarnya bersama 1.600.000 pasukan karena ingin memusnahkan Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketika Musa dan para pengikutnya telah mendekati laut merah, Allah mewahyukan kepada Musa untuk memukul lautan dengan tongkatnya. Laut terbelah menjadi 12 belahan dan setiap belahan seperti gunung yang besar. Di antara setiap dua belahan ada jalan yang kering. Nabi Musa ‘alaihissalam dan orang-orang yang bersamanya masuk ke laut. Fir’aun dan pasukannya pun mengejar mereka. Allah subhanahu wata’ala kemudian menenggelamkan mereka semua dan Allah selamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dan orang-orang yang bersamanya.

Para nabi Allah telah memberikan kepada kita contoh dan teladan dalam  berdakwah kepada Allah dan bersabar untuk itu. Di atas garis  perjuangan mereka inilah para sahabat dan para ulama menempuh jalan. Mereka mendarmabaktikan jiwa dan raga untuk memperjuangkan agama Allah. Teladan Sayyidina al-Husain radhiyallahu ‘anhu yang gugur syahid pada hari Asyura, hari Jumat 61 H selalu lekat dalam ingatan kita. Ketika beliau melihat orang yang tidak cakap memimpin kaum Muslimin ingin meraih puncak kepemimpinan tanpa bai’at dari tokoh-tokoh pembesar kaum muslimin yang berilmu dan bertakwa, al-Husain terang-terangan menentang hal itu.

Baca juga:  Ini Manfaat Konsumsi Kopi Hitam dan Efek Sampingnya untuk Kesehatan

Al-Husain berpegang teguh dengan kebenaran dan konsisten dengannya, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga ia terbunuh padahal beliau adalah putra dari putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau gugur syahid di tangan orang-orang yang fasiq dan zalim.

Tulisan ini dilansir dari khutbah jum’at Ustadz Nur Rohmad, Anggota Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Related Articles

Back to top button