Satu abad lebih penduduk bumi sengaja atau tidak sengaja melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Industri pertambangan, otomotif hingga industri rumah tangga, dikembangkan tanpa memperhatikan kelestarian alam. Pabrik-pabrik tumbuh di seluruh penjuru bumi.
Lalu hukum alam pun berjalan; banjir, longsor, badai dan bencana alam lainnya hadir untuk mengingatkan manusia akan perilakunya. Banjir terbaru di Jerman dan China menjadi pelajaran, sehebat-sehebatnya infrastruktur yang dibuat manusia akan tumbang jika tidak memperhatikan kelestarian alam.
Dalam tema global, banyak yang membaca terjadi perubahan iklim (climate change). Seperti biasa, manusia tak mau disalahkan, istilah climate change mengandaikan alam yang berubah. Sebenarnya fakta yang terjadi, kerusakan alam akibat kerakusan dan ketamakan manusia.
Dan kita yang hidup hari ini, harus menanggung akibat perilaku generasi sebelum kita yang tidak ramah terhadap alam. Kita juga harus menanggung perilaku pembangunan yang hanya mengejar keuntungan, tanpa melihat dampaknya bagi kerusakan alam.
Kita harus hidup dengan udara yang penuh polusi, tanah yang tercemar kimiawi, sungai yang kotor, lautan yang penuh limbah hingga hutan yang gundul. Wajar, bila tubuh manusia hari ini makin lemah karena lingkungannya tak lagi fresh. Bakteri hingga virus pun akan mudah menjangkiti.
Akhirnya, Ada kecenderungan manusia yang hidup di abad 21 ini mengeluarkan biaya untuk kesehatan lebih besar dibanding abad sebelumnya. Hidup manusia akan lebih tergantung kepada obat.
Disini, kita perlu merenung, teknologi pada satu sisi membantu manusia, akan tetapi disisi lain kerusakan alam makin menjadi. Teknologi sebagai hasil karya manusia begitu menggembirakan, tetapi dampaknya yang merusak alam “mendowngrade” manusia menjadi mahluk perusak alam.
Harus ada jalan keluar atas situasi ini. Kuncinya manusia kembali kepada jatidirinya sebagai mahluk yang mampu mengelola alam dengan cara yang baik. Paradigma pembangunan yang hanya mengacu ekonomi semata harus ditinggalkan. Tradisi harmoni dengan alam yang sudah diwariskan ribuan tahun lalu harus dijaga.
Semoga seluruh penduduk bumi, terutama para pemimpinnya mampu membaca tanda-tanda alam ini, Amiin.
NB; Penulis merupakan warga Nahdliyin. Saat ini penulis lebih banyak beraktivitas di Jawa Tengah.