KESADARAN MASYARAKAT RENDAH, KASUS KDRT MINIM LAPORAN
UPTD PPA Berau Hanya Terima 10 Aduan Kasus KDRT Dari Tahun 2019 Hingga 2022
arusmahakam.co, Samarinda – Kesadaran yang masih rendah dan stigma kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai aib keluarga membuat masyarakat enggan untuk melapor. Faktor tersebut menjadi salah satu pemicu rendahnya laporan yang diterima Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Berau.
Menukil data UPTD PPA Berau, sepanjang tahun 2019-2022 hanya 10 aduan yang diterima. Pada tahun 2019 terdapat 1 kasus KDRT, 5 kasus di tahun 2020, satu kasus di tahun 2021 dan 3 kasus di tahun 2022.
Kepala UPTD PPA Berau, Yusran menjelaskan jika kesadaran masyarakat menjadi salah satu faktor rendahnya aduan yang diterima. Meskipun banyak kasus yang terjadi, masyarakat masih enggan untuk membuat aduan. Masalah KDRT ini seperti gunung es yang sulit dipantau.
“Padahal kasus itu (KDRT) lebih banyak tapi tidak mengadu. Jadi susah untuk mengatakan terjadinya penurunan atau penambahan kasus KDRT di Berau dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ucapnya.
Sementara itu menurut pandangan Psikolog Klinis UPTD PPA Berau, Herliana Rahmi Saputri, masyarakat masih banyak yang belum mengerti akan perlindungan hukum jika terjadi tindak kekerasan. Selain itu, dalam penyelesaian masalahnya, masyarakat masih memilih hanya melalui jalur kekeluargaan. Sebab, pelaku tindak kekersan masih orang terdekat.
“Ada juga yang diselesaikan secara adat. Sudah melecehkan, tetapi tidak dibawa ke jalur hukum. Biasanya pelaku dikenakan sanksi adat,” jelasnya.
Terkait faktor penyebab KDRT, lanjutnya, bisa dipicu banyak faktor. Tidak hanya dari kepribadian pelaku, tetapi juga berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial, dan pendidikan.
“Tapi tidak jauh-jauh dari permasalahan ekonomi,” ungkapnya.
Menurut Rahmi, kekerasan yang terjadi akan menimbulkan dampak psikologis ke para korban. Terlebih jika korban kekerasan masih berusia dini. Ciri-ciri trauma juga tidak selalu muncul dalam waktu dekat, melaikan bisa muncul ketika beranjak remaja.
“Biasanya dirasakan korban adalah trauma yang terlambat. Dan masalah yang lain adalah depresi dan kecemasan,“ bebernya.
Untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan, menurut Rahmi, lingkungan masyarakat mesti menanamkan lingkungan ramah anak. Selain itu pemahaman sejak dini terkait tindak kekerasan juga bisa menjadi salah satu upaya pencegahan.
“Lingkungan harus lebih ramah anak. Semua kalangan harus terlibat untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,” tukasnya. (adv/dys/DKP3A)