Kesatria Bergitar! Revolusi Lagu, Dakwah, Dan Pancasila
Arusmahakam – Bicara revolusi, bukan hanya milik politik dan kekuasaan. Di bidang lain juga terjadi revolusi. Musik, misalnya. Tersebut sosok sang ‘Kesatria Bergitar’ alias Haji Rhoma Irama. Sosok revolusioner besar terhadap musik Melayu di Indonesia maupun Asia Tenggara, lewat caranya mengadaptasi serbuan musik-musik asing dan kemudian dimodifikasi dengan musik Melayu. Lantas, terlahirlah genre musik yang familiar di telinga orang Indonesia; musik Dangdut.
Transformasi besar itu terjadi mulai tahun 1967. Terasa benar dampaknya pada tahun 1980. Melalui sejumlah karya musik dan film dengan model nada dan dakwah yang dilakukan oleh Rhoma bersama Soneta-nya.
Rhoma mengaku, sejak mendeklarasikan Soneta sebagai ladang dakwah dan perjuangan, dia berupaya menampilkan dakwah yang dikemas menarik melalui lagu dan film. Tentu dimulai dari beragam kegelisahan yang muncul dalam dunia keartisan pada masanya.
“Saya melihat aktivitas seni kok meninggalkan salat, terus pergaulan bebas dan lain-lain. Itu membuat saya menjadi resah, lalu banyak-banyak berdoa pada Allah SWT. Jika bakat seni saya besar, maka mohon dijadikan baik dan bukan menjadi sebaliknya,” ungkap Bang Haji, sapaan Sang Raja Dangdut ini.
Era tahun 70-an merupakan masa kejayaan musik hard rock semacam Deep Purple dan Led Zeppelin. Grup musik tersebut berdampak besar terhadap tren musik di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Diakui Rhoma Irama, ketika itu, ia terbiasa membawakan musik barat di gedung mewah pada pekan ini, pekan selanjutnya menyajikan musik Melayu.
“Kalau Orkes Melayu tidak direvolusi, saya berpikir saat itu tentu musik melayu akan selesai. Maka dibangunlah awal mula dari equipment, karena pemain orkes melayu saat bermain di panggung sambil duduk, ditemani lampu petromaks, sound system-nya 10 watt, semua serba akustik,” ungkapnya mengenang masa itu.
Rhoma dan Soneta lalu menggunakan sound system dengan kekuatan 1.000 Watt, saat manggung. Persis Grup Deep Purple. Dengan cerdas, dimasukkannya unsur rock dalam lagu Nafsu Serakah, tetapi rasa Melayunya tak hilang. Itulah yang kemudian memunculkan genre baru bernama dangdut, yang sebelumnya disebut musik Melayu.
“Mereka jungkir balik, kita jungkir balik juga. Mereka pakai celana ketat, kami pakai celana ketat,” paparnya tentang transfomasi musik yang dijalankannya di Indonesia.
Jihad yang dilakukan Rhoma adalah menampilkan gitar sebagai pengganti pedang, surban sebagai simbol dakwah, dan berkuda menjadi simbol perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Musiknya tidak saja banyak bicara soal tauhid, hak asasi, perjuangan dan doa. Namun, juga Pancasila. Semua menyatu bulat dalam diri seorang Rhoma Irama.
“Sampai saat ini saya bisa katakan, bahwa Allah telah menjawab doa saya. Saya bersyukur dengan mendirikan Soneta, di dalam bermusik kami tidak meninggalkan salat berjamaah. Insyaallah, lagu-lagu yang saya lahirkan, bisa saya pertanggungjawabkan,” ucap lelaki yang telah memasuki usia senja ini sembari meneteskan air mata.
‘Kebebasan beragama, itu hak asasi. Kebebasan berbicara, itu hak asasi. Kita bebas untuk melakukan segala-galanya. Asal tidak bertentangan dengan Pancasila’. Penggalan bait dari lagu Hak Asasi ciptaan lelaki kelahiran 11 Desember 1946 ini menegaskan arti pentingnya Pancasila bagi seluruh masyarakat Indonesia. Lima sila di dalamnya sudah sangat Islami.
“Mulai dari sila pertama saja, Ketuhanan yang Maha Esa. Itu sudah tegas nampak hadir. Karena baik bagi orang lain belum tentu baik untuk Indonesia. Benar kata orang lain belum tentu benar bagi Indonesia. Saya komitmen dengan Pancasila, bagaimanapun orang tua saya pejuang untuk negara ini, di Tasikmalaya. Itu sudah cukup mendekatkan saya dengan Indonesia,” tukasnya.
Baginya, Indonesia adalah negara yang gemah ripah loh jinawi, dengan kekayaan yang begitu luar biasa baik di daratan maupun di lautan. Jumlah manusia semakin tahun kian bertambah besar populasinya. Bang Haji menyebutkan, kita sepakat bagaimana bumi amat terbatas untuk ditempati ke depannya.
Akan terjadi krisis pangan, krisis energi, serta krisis sumber daya alam. “Jelas negeri tercinta ini diintip negara-negara lain. Dengan berbagai pertarungan ideologi, politik, ekonomi, dan budaya, maka Pancasila merupakan suatu ideologi yang ampuh untuk menghadapi gempuran globalisasi,” bebernya.
“Indonesia memiliki penduduk yang multi agama dan ras, disatukan dengan baik di sila Ketiga yakni Persatuan Indonesia. Jelas dimana ada namanya toleransi beragama, bukan toleransi agama, namun toleransi umat beragama. Karena agama memiliki klaim kebenarannya masing-masing, sehingga hormatilah akidah orang lain. Lakum diinukum wa liyadin, bagimu agamamu, bagiku agamaku,” sambungnya lagi.
Rhoma menutup dengan mengingatkan seluruh umat beragama di Indonesia untuk amalkan agama masing-masing. “Tentu keadilan sosial akan terwujud. Jangan jadikan Pancasila hanya sebagai slogan belaka. Implementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu akan membentengi Indonesia dari serbuan bangsa lain, mereka menginginkan kekayaan bangsa Indonesia,” pungkasnya. (JUN)