Kisah Anak Durhaka Sukses – Jelang Hari Tani Nasional

Oleh: Muhammad Fadllil Kirom*

Jika UUPA 1960 dan TAP MPR No IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam diibaratkan sebagai Ibu. Maka peraturan dibawahnya seperti UU, PP, Kepres, Perda, hingga Perdes adalah anaknya.

Seperti tabiat dalam kehidupan, tidak semua anak berbakti. Banyak kisah anak durhaka di negeri ini. Semangat untuk merubah ketimpangan struktur agraria, belum juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. Memang perlu nyali yang besar untuk mengimplementasikan jalan bagi kesejahteraan petani kecil, buruh tani, nelayan tradisional, pekebun hingga peternak kecil.

Banyak peraturan yang lahir mendurhakai spirit pemerataan akses atas sumber-sumber agraria. Kuatnya modal perusahaan dan lemahnya organisasi rakyat menjadikan ketimpangan makin menganga.

Ego sektoralisme menjadi ruang yang empuk bagi perusahaan raksasa untuk menumpuk pundi-pundi ekonomi tanpa memperhatikan nasib wong cilik.

Berkali-kali harapan dan janji manis ditawarkan para pemegang kekuasaan, namun tak ada realisasi yang sejati. Kuatnya cengkeraman sistem yang terpola sejak zaman kolonial, belum mampu diurai dan dicari jalan keluarnya hingga saat ini.

Sebenarnya semua ilmuwan dan pemerintah paham, syarat kemajuan bangsa bisa dicapai bila mampu mewujudkan kedaulatan pangan. Dan petani, pekebun, peternak dan nelayan lah yang menjadi subjek kedaulatan pangan. Sayangnya subjek utama justru dijadikan obyek pelengkap penderita.

Kondisi ini benar-benar mengkhawatirkan, tidak terkoordinasinya kekuatan organisasi rakyat dan makin pragmatisnya kebijakan pemerintah yang fokus pada infrastruktur dan investasi, akan semakin meminggirkan wong cilik di masa mendatang.

Sementara ini, anak durhaka telah sukses mempertahankan pola penataan struktur agraria seperti zaman kolonial. Anak-anak yang baik berhasil dikebiri dengan segala cara dan dipaksa kehilangan nyali. Operasi terstruktur, atas nama mengikuti aturan global tampaknya berhasil membungkam rasa keadilan bagi wong cilik.

Mimpi Bung Karno, Bung Hatta, Mbah Hasyim Asy’ari dan pendiri bangsa lainnya tentang kesejahteraan petani, buruh tani, nelayan tradisional, pekebun dan peternak lokal belum juga terwujud. Generasi penerus seakan kehilangan energi untuk merubah keadaan. Entah sampai kapan? Mungkin sampai kiamat tiba nanti, Entahlah!!!

Akhirnya, satu-satunya harapan adalah jangan pernah berharap pada manusia. Biarlah, Allah SWT yang akan membalas kejahatan anak-anak yang durhaka. Semoga, Amiin.

NB: Penulis merupakan warga Nahdliyin yang beraktivitas di Semarang, Jawa Tengah.