Arusmahakam – Sejak tiba di Kalimantan Barat, Akhmad Fauzi Dimyati memutuskan diri jadi buruh perkebunan sawit. Dia tak melulu memikirkan perbaikan nasib dengan upah yang wajar dan menyoal naiknya harga-harga Sembako.
Santri ini malah bermimpi punya Republik Buku. Sebuah komunitas pencinta buku berhasil diwujudkannya pada Agustus 2019 lalu. Republik Buku Sintang. Walau idenya sempat tak direspon oleh civitas akademika, namun bulat tekad terus menggema dalam dadanya.
“Tercetus sebenarnya pada bulan Juli 2019 hasil dari ngopi dan diskusi. Namun, tidak direspon oleh mahasiswa-mahasiswi di kabupaten ini. Mungkin dikira akan dianggap sebagai saingan dari organisasi-organisasi ekstrakampus sehingga gerakan ini dibatasi oleh senior-senior organisasi,” ujar lelaki yang pernah menduduki jabatan sebagai ketua di salah satu organisasi ektrakampus di Jawa Timur.
Tak mau terjebak dengan anggapan miring, orientasinya berubah. Dari mengajak mahasiswa-mahasiswi, beralih kepada siapa saja yang memiliki minat baca. Termasuk siswa-siswi SMA sederajat. Bahkan, dia masuk ke perguruan pencak silat Persaudaran Setia Hati Terate (PSHT). Kaum pekerja di daerah tersebut akhirnya tertarik bergabung. Mereka terkenang masa muda dan haus membaca lalu jadi anggota dan terlibat aktif.
“Anggota Republik Buku Sintang ada 200 orang lebih. Dengan anggota aktif diskusi maupun pertemuan bisa puluhan orang. Termasuk pula ketika ada kegiatan berupa peringatan hari nasional hingga agenda sosial, banyak yang terlibat. Walau hingga kini belum ada sekretariat, janjian dilakukan lewat group WhatsApp,” jelasnya.
Pandemi COVID-19 juga menghempas Republik Buku Sintang. Anak-anak sekolah dari berbagai kecamatan banyak pulang kampung karena menerapkan belajar dari rumah secara online. Kegiatan berdiskusi menjadi berkurang. Banyak juga siswa SMA yang sudah lulus dan tidak lagi bermukim di Sintang.
Fauzi tetap tak kenal menyerah. Dia yakin pandemi akan berlalu. Semua bakal kembali normal. Dengan anggota yang tersisa, Republik Buku Sintang mengagendakan kembali rekrutmen. Dimulai dari menjejalkan pengalaman menarik tentang buku-buku dan bacaan bergizi kepada anak muda.
“Di luar buku koleksi pribadi, buku-buku dari sumbangan anak-anak muda di Republik Buku Sintang ada sekitar 140 buah buku. Jangan lihat jumlah bukunya lho ya, tetapi bagaimana kita terus melakukan sebuah diskusi buku dalam komunitas ini, sambil sharing ide bersama, itu indah sekali. Tetap idealis walau kenyataan saya hanyalah buruh lepas. Bahkan, nyaris tak punya kerjaan sekarang akibat dampak COVID-19,” terang pria yang sempat menjabat head of the workshop ini.
Sebagai perantauan ia turut menjadi saksi pembangunan di daerah yang berjalan pesat. Terutama pembangunan sarana dan prasana jalan. “Pembangunan suatu daerah dipengaruhi kepemimpinan atau kepala daerahnya. Itu yang aku rasa sebagai perantau dan buruh di daerah tercinta ini. Pengaruh yang benar-benar terasa masyarakat dengan pola kepemimpinan berbeda, ada seorang pemimpin yang membangun karakter, ada pula yang membangun infrastruktur, namun ada pula yang hanya membangun dirinya sendiri,” ungkap sembari terkekeh.
Mbeling! Membuang Mimpi Merebut Gelar Sarjana
Terinspirasi lalu tenggelam dalam karakter oposan novel Rahuvana Tattwa karya KH. Agus Sunyoto, seorang santri berani membuang mimpi menyandang gelar sarjana. Lalu memilih jalan sunyi.
Ia benar-benar jadi mbeling dalam cara menerjemahkan sesuatu yang filosofis. Membalik arah. Bayangkan, dari seorang calon sarjana, dia memutuskan merantau dan mengembara ke negeri pedalaman. Mencari hutan. Seakan dirinya personifikasi Rahwana yang bersemayam di Alengka.
Ayah dari Lintang Haidar Haq Ramadhani ini membulatkan tekad untuk mengembara, dimana ia menemukan sebuah tempat yang memenuhi seluruh ekspektasinya. Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat seperti awal disebutkan pada tulisan ini. Tanpa kepastian apa yang akan dilakukan. Tak ada jaminan soal masa depan.
Mungkin, bagi orang lain, langkahnya adalah kutukan. Menjerumuskan diri dalam kenestapaan, bak orang-orang buangan. Terkatung-katung tanpa sanak famili di pedalaman Borneo.
“Awal datang ke Sintang, benar-benar seperti orang hilang di hutan. Sempat ke Sanggau, namun tak lama diantarkan kenalan yang berkenan mengantarkan aku ke sini. Delapan jam perjalanan naik motor. Kondisi jalan bergelombang dengan angin kencang. Gak nyangka hancur jalanannya. Parah, nggak seperti di Jawa. Berdua sama-sama buta arah, tidak tahu Sintang bagaimana dan tidak bisa berpatok pada GPS, sinyal telpon cerdas jadi goblok,” ungkap jebolan Ponpes Darussalam Lawang, Malang, Jawa Timur tahun 2002-2005 ini sembari terkekeh.
Begitulah kenyataan sosial yang dihadapi Fauzi. Sebagaimana yang dijabarkan Julia Kristeva dalam teori intertekstualitas perpektif di buku Desire In Language: A Semiotic Approach To Literature and Art. Keyakinan Fauzi tentang oposisi mutlak sebagai sesuatu yang tak bisa dikompromikan, disalingtukarkan, dan didamaikan. (JUN)
NB; Ditengah pandemi COVID-19 berkepanjangan, Fauzi kini berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Ia terus berjuang dengan Republik Buku Sintangnya ❤️🙏🏻❤️