arusmahakam.co, Samarinda – Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, termasuk Samarinda, terbilang masih tinggi. Bahkan terus meningkat. Kultur patriarki yang masih melekat dianggap menjadi salah satu pemicunya.
Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), jumlah perempuan yang mejadi korban kekerasan terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Pada 2019 lalu, sebesar 17.575, lalu meningkat pada 2021, 21.753 kasus. Sedangkan pada tahun 2022 yang belum usai ini angka kekerasan sebesar 21.024.
Menurut Kepala UPTD PPA Samarinda, Violeta mengatakan memang hingga kini perempuan masih kerap menjadi korban kasus kekerasan, baik secara fisik, psikologis hingga seksual. Beberapa faktor sebenarnya bisa mempengaruhi terjadinya kekerasan. Salah satunya masih kuatnya kultur patriarki di masyarakat.
“Salah satu faktor kekerasan terhadap perempuan dikarenakan salah satunya sistem patriarki di masyarakat yang masih kuat,” ucapnya.
Untuk diketahui, kultur patriarki merupakan sebuah sistem sosial di mana pria lebih dominan daripada perempuan dalam hal otoritas, partisipasi sosial dan politik, dan sebagainya.
Contoh budaya patriarki yang ada di Indonesia, antara lain yang terdekat dari lingkup keluarga. Seorang istri, misalnya, harus menurut kehendak suaminya dan tidak memiliki ruang berdiskusi. Contoh lain yang masih banyak terjadi di Indonesia, budaya patriarki juga salah satu penyebab terjadi kasus KDRT.
“Memang bisa juga memicu terjadinya KDRT,” imbuhnya.
Kultur ini pun memicu stigma negatif pada korban. Pelecehan seksual yang dilakukan pelaku malah diasumsikan terjadi akibat korban yang menggunakan pakaian terbuka.
“Misalnya tindak kekerasan seksual atau pelecehan yang terjadi dianggap karena seorang wanita memakai pakaian terbuka , sehingga mengundang tindakan kekerasan seksual atau pelecehan,” tukasnya. (adv/dys/DKP3A)