Musim panas kembali tiba, ranting-ranting pepohonan meneteskan merah darah. Daun-daun berguguran diterjang angin kencang yang membawa panas. Taman-taman bunga tak lagi menebarkan aroma wangi bunga Yasmin (melati), tak lagi merekahkan senyum kegembiraan dari bibir-bibir merahnya. Taman itu telah sepi lagi. Rembulan di langit biru beringsut kembali ke titik bulan hilal. Layla diserang demam. Ia hanya bisa beristirahat di tempat tidurnya tanpa bisa ke mana-mana.
Tubuhnya bertambah tipis. Wajahnya pucat pasi, tanpa binar cahaya. Ia seperti merasa malaikat Izrail akan segera datang menjemput dirinya. Ia ingin hanya bersama ibunya dan meminta tak ada orang lain masuk ke kamarnya. Ia ingin menumpahkan seluruh isi hatinya kepada ibu yang mencintai dan yang dicintainya itu. Katanya, “Ibuku, lihatlah, cahaya wajahku telah memudar, dan menjadi pucat-pasi dan tak lagi bercahaya. Lilin-lilin di mataku tampak muram dan akan segera padam.
Duhai Ibuku, aku mohon engkau mendengarkan wasiatku, sebelum aku pulang esok atau lusa; bilamana aku mati, kenakan aku baju pengantin yang paling bagus. Jangan bungkus aku dengan kain kafan. Carilah kain berwarna merah muda, bagai darah segar seorang syahid (martir). Lalu riaslah wajah dan tubuhku secantik mungkin, bagaikan pengantin yang paling cantik di seluruh bumi. Alis dan bulu mataku ambillah dari debu yang melekat di kaki kekasihku, Qais.
Dan jangan usapkan ke tubuhku minyak wangi kesturi atau minyak wangi apa pun. Usapkanlah dengan air mata Qais, kekasihku. Sang ibu mendengarkannya dengan sepenuh jiwa, sambil matanya basah dan menetes air deras. Layla masih meneruskan pesannya: Sesudah aku mengenakan baju pengantin itu dan menjadi sangat cantik, aku akan menunggu Qais, sang pengembara yang luka itu datang. Usai mengucapkan semua itu, nafas Layla berembus pelan-pelan dan semakin pelan, untuk kemudian berhenti.
Wajahnya berbinar-binar, memancarkan cahaya. Bibirnya mengembang senyuman yang paling manis. Senyuman yang terakhir untuk kekasihnya : Qais. Ia sangat yakin dirinya akan bertemu Qais dan menjadi pengantin di sampingnya, lalu menyatu dalam cinta yang tak terbatas. Diambil dari buku : “Memilih Jomblo, Kisah Para Intelektual Muslim Yang Berkarya Sampai Akhir Hayat”.
Penulis merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Dar at-Tauhid Arjawinangun