Opini

Layla-Majnun Menyikapi Patah Hati

Oleh : Dimas Wira Adiatama

Patah hati merupakan pengalaman yang dirasakan banyak manusia yang mengklaim pernah merasakan cinta, baik mencintai maupun dicintai. Bagi yang mengklaim tidak pernah merasakan cinta pun tentu pernah mendapatkan efek dari kehadirannya. Layaknya cinta itu sendiri, patah hati juga sukar untuk didefinisikan secara jelas, karena tiap manusia memiliki pengalamannya sendiri.

Selain itu, konsekuensi di balik pendefinisian adalah mengakomodir seluruh pengalaman menjadi susunan kalimat ringkas yang mudah dipahami secara sederhana. Hal ini tentunya kurang dimungkinkan, mengingat patah hati merupakan pengalaman eksistensial, yang pemahamannya diperoleh ketika seseorang merasakan pengalaman itu sendiri.

Patah hati dapat dipahami sebagai sebuah pengalaman yang penuh dengan kekecewaan atas situasi yang berkenaan dengan perasaan—khususnya cinta. Kekecewaan ini dapat bersumber dari beberapa pengalaman, seperti penolakan, pengabaian, hingga pengkhianatan. Patah hati juga dapat terjadi ketika individu terlalu berharap pada hal-hal yang pada dasarnya tidak bisa ia kendalikan—seperti perasaan orang lain.

Ekspektasi yang terlalu tinggi membuat individu tidak mengantisipasi potensi hal-hal buruk yang dapat terjadi. Ia terlalu sibuk dan asyik dengan perasaannya, harapannya, dan mimpinya, sehingga lupa bahwa tidak semua hal berada dalam kendali manusia. Bukan berarti berharap atau bermimpi merupakan hal buruk, namun perlu disadari bahwa manusia penuh dengan keterbatasan.

Guna menyikapinya, seseorang tentunya memiliki variasi strategi tersendiri. Mencari penakhlukan atau pelampiasan baru menjadi jenis strategi yang ditempuh oleh seseorang yang mengalami penolakan. Beralih pada pilihan yang mudah diakses menjadi jenis strategi yang ditempuh oleh seseorang yang mengalami pengabaian. Menurunkan intensitas harapan menjadi strategi yang ditempuh oleh seseorang yang termakan oleh harapannya sendiri.

Salah satu kisah yang menarik untuk ditinjau terkait patah hati tentu saja Layla Majnun. Kisah fenomenal karya pujangga sekaligus sufi asal Azerbaijan, Nizami Ganjavi, memiliki tempat tersendiri di hati para pembacanya.

‘Patah hati’ merupakan salah satu tema yang secara implisit diceritakan, khususnya ketika Layla dan Qays benar-benar terpisah secara fisik. Kegilaan Qays dan kesedihan Layla mewarnai hampir seluruh jalan cerita dari Layla Majnun. Oleh karena itu, menarik untuk mengimajinasikan kira-kira pesan apa yang akan disampaikan oleh Layla dan Qays kepada para pengidap patah hati.

Ekspresikanlah

Salah satu sesi dari patah hatinya Qays adalah ketika ia terpisah—atau lebih tepatnya dipisahkan—dari Layla. Disitulah Qays berubah menjadi ‘majnun’ (gila), di mana ia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain sambil melantunkan syair-syair kerinduannya akan Layla.

Bahkan ketika ia dibujuk oleh seorang khalifah untuk memilih perempuan-perempuan yang cantik dan menarik, ia menolak dan justru menundukkan kepalanya. Ketika sang khalifah memintanya untuk mengangkat kepala, Majnun menolak dan berkata, “Cintaku pada Layla adalah sebuah pedang yang terhunus. Jika kuangkat kepalaku, pedang itu akan menebasnya (Rumi, 2014: 128).

Kekecewaan Majnun atas fakta keterpisahan benar-benar ia ekspresikan. Mulai dari berjalan, berlari, berguling-guling, bersenandung, menangis, meratap, dan semua ekspresi yang dapat ia tumpahkan sebagai wujud atas patah hati yang mendalam.

Sebagaimana dalam salah satu syairnya ia berkata, “Rinduku kepadamu menjadi hiburan hatiku. Rindu adalah luka sekaligus obat penawarnya. Sungguh, hanya kau yang kuasa memberiku kecupan manis dari bibirmu yang tipis! Tiba-tiba mata jahat dunia memisahkanku darimu, oh rembulanku. Para musuh merebut buah segar dari tanganku dan menghempaskanku yang dahaga ke atas bumi yang tak berdosa … (Ganjavi, 2020: 21).

Kisah ini mungkin terlihat berlebihan—atau bahkan ekstrem—dalam arti apakah patah hati harus diekspresikan sampai di level itu? Tentu kisah Layla Majnun tidak hanya dapat dipahami di level jalan ceritanya saja, melainkan harus dicari makna dibalik apa yang telah diceritakan.

Secara tersirat, Majnun memberikan pesan bahwa tidak masalah bagi individu untuk mencurahkan dan mengekspresikan segala bentuk kekecewaan yang ia rasakan. Curahkan atau bahkan tumpahkan saja semua ganjalan itu agar setelahnya dirasakan sebuah kelegaan. Menahan rasa kecewa hanya membuat kondisi diri semakin sulit menerima kenyataan.

Fakta bahwa ada hati yang patah memang—cepat atau lambat—mesti diterima, namun alangkah lebih melegakan apabila seluruh ganjalan kekecewaan itu benar-benar telah terkuras habis. Menangislah, merataplah, berteriaklah, atau bahkan tertawalah, jika itu dapat menguras seluruh rasa kecewa dalam hati, sehingga setelahnya tidak ada bibit-bibit kebencian yang tersimpan.

Bila diperhatikan, sebab utama dari ratapan dan tangisan Majnun sebagai wujud kekecewaan atas keterpisahan adalah rasa cinta yang besar kepada Layla. Jika cinta Majnun tidak sebesar itu, maka tidak mungkin ada ledakan kekecewaan yang sebegitu dahsyat. Artinya, dibalik kekecewaan yang besar, ada rasa cinta yang besar pula.

Mengekspresikan kekecewaan bukan berarti menebar benih kebencian. Justru yang terjadi sebaliknya, dalam ekspresi kekecewaan terdapat fakta bahwa ada cinta yang benar-benar tertancap kuat di lubuk hati. Ekspresi kekecewaan adalah wujud dari ketidakpercayaan individu mengenai fakta yang harus ia terima, yaitu ada cinta yang tertolak, terabaikan, atau bahkan terkhianati.

Bersabarlah

Dapat diakui bahwa dalam kisah Layla Majnun seolah-olah hanya tertuju pada ekspresi Qays. Padahal Layla juga memiliki porsi tersendiri dalam mengekspresikan kekecewaannya. Agak keliru jika Layla dianggap tidak berbuat apa-apa, tidak merasakan apa-apa, atau bahkan—yang makin keliru—dianggap menikmati situasi keterpisahan itu, khususnya ketika ia di kemudian hari dinikahkan dengan pemuda terhormat bernama Ibnu Salam.

Dalam salah satu dialognya dengan orang asing, Layla mengatakan, “Mengapa kau taburkan garam ke atas lukaku? Biar kukatakan kepadamu, dulunya aku Layla tapi kini bukan lagi Layla. Aku telah gila, lebih Majnun daripada ribuan Majnun (Ganjavi, 2020: 149-150). Perkataan ini menandakan bahwa Layla sama tersiksanya dengan Majnun.

Kerinduan Layla terhadap Qays tergambar dalam perkataannya, yaitu “Aku tak diizinkan hidup bersama Majnun, dan aku rindu sekali kabar darinya. Bagaimana ia menghabiskan hari-harinya? Dimanakah ia tinggal? Apakah yang ia lakukan ketika menjelajahi padang? Punyakah ia teman? Kalau punya, siapa? Apa yang ia katakan? Apa yang ia pikirkan? Jika kau tahu sesuatu tentangnya, hai orang asing, katakanlah kepadaku, kumohon kepadamu! (Ganjavi, 2020: 151).

Terlihat bahwa ada perbedaan cara menyikapi kekecewaan antara Layla dan Qays. Secara jelas Layla menyatakan bahwa ia ingin sama ekspresifnya dengan Qays, namun ia terhalang atau terikat kodratnya sebagai perempuan. Alhasil dalam kisahnya, ekspresi kekecewaan Layla tergambar dalam isi suratnya kepada Qays berikut ini:

Pesan ini ibarat brokat yang dikirim oleh seorang wanita yang tercekik kesedihan seorang lelaki yang sedang berduka. Surat ini dariku, seorang tahanan, ditujukan untukmu, yang ingin melepas rantai yang membelenggumu … Aku tahu kau setia menjaga persahabatan, dan cinta memperoleh kemegahannya darimu … Dengan segenap cintaku, aku bersamamu dan kau, katakanlah, kau berbahagia dengan siapa? Seperti kebahagiaanmu, aku terpisah darimu, tetapi meski aku jauh darimu, aku tetaplah orang terdekatmu (Ganjavi, 2020: 154-155).

Kekasihku, kirimi aku sehelai rambutmu, sebab itu mewakili seluruh isi dunia bagiku. Kirimi aku salah satu duri yang berada di jalan setapakmu, sebab ia akan menjadi taman mawar di hadapan mataku. Di mana kakimu menyentuh, wahai Khidirku, wahai utusan Allah untukku, di situlah padang pasir akan merekahkan bunga. Jadilah air kehidupan abadiku! Akulah rembulan yang melihatmu dari jauh, untuk menerima sinarmu, wahai matahariku. Maafkanlah kakiku karena begitu lemah sehingga tak pernah bisa mencapaimu … Tubuh kita terpisah, tetapi jiwaku tak pernah sedetik pun terlepas dari jiwamu. … Hanya ada satu jalan keluar dari keputusasaan ini bagi kita berdua: kesabaran” (Ganjavi, 2020: 156-157).

Berdasarkan surat tersebut, Layla memberikan pesan bahwa patah hati juga dapat direspon dengan bersabar dan menerima kenyataan. Hal ini sangat dimungkinkan karena manusia tidak selalu dapat mengendalikan aspek-aspek kehidupannya—termasukan urusan cinta.

Seseorang bisa saja merencanakan dengan seksama siapa yang akan ia cintai, siapa yang akan ia jaga perasaannya, ataupun siapa yang akan ia temani seumur hidupnya. Namun pada kenyataannya, hasil atas rencana-rencana tersebut tidak berada dalam kendali manusia. Kesabaran dan penerimaan adalah langkah yang tepat agar seseorang tidak berlarut-larut dalam kekecewaan.

Secara tidak langsung, Layla sepertinya memiliki sikap yang bertolak belakang dengan Qays, di mana ia merasa bahwa kekecewaan dan kesedihan tidak selayaknya dipertontonkan kepada banyak orang.

Menurutnya, “Seorang yang bijak tidaklah membiarkan orang lain mengetahui rahasia jiwanya. Apakah musuh akan tertawa melihat air mata kita? Tidak! Seorang yang bijak menyembunyikan kesedihannya. Kalau tidak, orang yang jahat dan pendengki akan menjadi gemuk di atas penderitaan kita (Ganjavi, 2020: 157).

Bersabar dan menerima kenyataan bukanlah bentuk kelemahan ataupun kepasrahan, melainkan bentuk tindakan logis yang ditempuh demi menghindari kekecewaan yang berujung pada kebencian.

Seutas Catatan

Patah hati merupakan sebuah situasi yang tidak pernah diharapkan oleh seorang pecinta. Ia bagaikan bencana yang dapat meluluhlantahkan segala hal dalam diri manusia. Namun, layaknya dua sisi mata uang, sepertinya cinta diciptakan bersamaan dengan rasa sakit. Artinya, cinta tanpa patah hati adalah sebuah utopia belaka.

Layla Majnumemberikan pesan bahwa patah hati tidak untuk dihilangkan, melainkan disikapi. Qays memilih sikap untuk mengekspresikan kekecewaan, sedangkan Layla memilih sikap untuk bersabar menerima kekecewaan. Keduanya terlihat bertolak belakang, namun apabila dipahami lebih mendalam, keduanya sama-sama berusaha menghindari tumbuhnya bibit-bibit kebencian di kemudian hari.

Penulis merupakan Pengajar Sosiologi/Alumnus Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Jakarta

Baca juga:  Ritual Apem dan Ketupat

Related Articles

Back to top button