Matematika x Filsafat

Oleh: Iven Hartiyasa Prima

Sebagaimana matematika, filsafat bisa dibilang “Ilmu Pasti”. أفضل لعبة بوكر 4+4=8 konkret, tak bisa ditawar. طاولة Mau itu seorang presiden, driver ojol, pemuka agama, bandar togel, pensiunan, pengangguran, sarjana, ibu rumah tangga, tetap 4+4=8. Artinya, berlaku universal apapun latar belakangnya.

Bedanya, matematika menggunakan bahasa angka, filsafat menggunakan bahasa kata. Kalau pada matematika mungkin kesannya datar-kering, sedang di filsafat bisa seperti puisi, karena menggunakan kata-kata. Ada rasa, ada makna. Agak nakal, filsafat bisa dipakai memikat lawan bicara (bahkan lawan jenis) atau sekedar dibikin quotes. Wajar, lebih karena manusia berbahasa kata bukan angka.

Mungkin sebagian orang menyebut filsafat itu “njelimet”. Ya itu lumrah, begitu juga matematika. Berapa persentase yang suka matematika setidaknya di kelas kita sewaktu sekolah dulu? Jujur saja.

Tapi toh itu masih mending daripada dibilang sesat. Atau lebih ekstrem dicap kafir. Saya sendiri pernah dicap keduanya. Padahal filsafat adalah soal konstruksi, koherensi, dan konsistensi berpikir. Seperti matematika. Keduanya menggunakan logika dengan prinsip niscaya lagi rasional. Nasib baik, pakar matematika se-tokcer apapun tak pernah dicap kafir. ادن هازارد

Oleh sebab itu baik filsafat maupun matematika juga bisa dibilang disiplin ilmu kejujuran. 4+4=8 tak bisa jadi 7,5 hanya karena kamu seorang Elon musk, keturunan sultan, pewaris tahta, dsb.

Adapun hubungannya dengan agama, bukankah justru kita dianjurkan untuk berpikir? sebagaimana QS. Al Baqarah: 44,118,219,266, Qs Ali Imran:118, Qs An Nisa:82, Qs Al An’am:32,50,80,151, dan lain sebagainya.

Dalam hidup ini memang ada sesuatu yang tak bisa dinalar, dan itulah batas pikiran. Maka dalam matematika pun ada angka “0” dan bilangan ‘π’. Sebagaimana filsafat dengan istilah “kosong” dan simbolisasi “cahaya”. Pada keduanya ada istilah “tak terhingga”. Meskipun secara tematik ada yang namanya matematika semesta, filsafat iluminasi, disposesi, dsb.

Maka boleh jadi yang tak menyukai filsafat atau matematika itu karena pusing, njelimet, dlsb, tapi apakah kemudian tak menyukai kepastian, bahkan kejujuran?