arusmahakam.co, Samarinda – Gangguan stress pasca trauma atau lebih dikenal dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan kondisi kesehatan kejiawaan yang dipicu oleh peristiwa traumatis. Gangguan psikologis ini bisa menyerang siapapun. Termasuk korban tindakan kekerasaan, verbal, fisik, maupun seksual.
Tenaga Ahli Psikolog Klinis Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kalimantan Timur (UPTD PPA Kaltim) menerangkan PTSD dapat berkembang setelah peristiwa yang sangat menegangkan, menakutkan, menyedihkan, atau setelah pengalaman traumatis berkepanjangan. Gangguan ini cenderung terjadi dalam kurun waktu yang lama, bisa mencapai 2-6 bulan.
“Kalau PTSD itu bisa dipicu dan terjadi pada korban tindakan kekerasan juga, termasuk KDRT. Tindakan kekerasannya itu baik kekerasan fisik, seksual atau verbal. Untuk penegakan PTSD sendiri paling tidak 2-6 bulan. Jadi gejala itu menetap, kalau kurang dari itu bukan PTSD,” terang Ira.
PTSD sendiri bisa dipicu oleh beberapa faktor. Mulai dari pengalaman yang menakutkan, termasuk jumlah dan tingkat keparahan trauma yang telah dialami dalam hidup.
Selain itu mewarisi risiko kesehatan mental atau riwayat gangguan kecemasan dan depresi dalam keluarga, hingga terkait cara otak mengatur bahan kimia dan hormon yang dilepaskan tubuh sebagai respons terhadap stres berpengaruh dalam menimbulkan PTSD.
Selain itu, beberapa faktor juga bisa meningkatkan risiko PTSD. Mulai dari mengalami trauma yang intens, Pernah mengalami trauma lain di awal kehidupan, seperti pelecehan pada masa kanak-kanak. Memiliki masalah kesehatan mental lainnya, seperti kecemasan atau depresi dan memiliki anggota keluarga sedarah dengan masalah mental.
“jadi ada juga namanya faktor risiko, semisal orang tua saya dulu ada pengalaman pernah mengalami KDRT dan saya menyaksikan, kemudian akhirnya saya juga jadi korban bahkan lebih parah, jadi itu akan menimbulkan dampak yang jauh lebih besar,” terang perempuan yang juga masuk dalam tim penindakan UPTD PPA Kaltim ini.
“Dampak lebih besar bisa juga ditimbulkan dari faktor pendukung, mulai dari lingkungan sekitar hingga ekonomi. Sehingga tidak ada support sistem yang bisa memperparah keadaan. Faktor risiko ini sama seperti sakit diabetes lah, jika orang tuanya diabetes maka risikonya kan juga semakin besar,” tambahnya.
Ira juga menerangkan terkait gejala PTSD. Gejala yang timbul mulai dari gejala ingatan intrusif atau ingatan mengganggu yang datang berulang, mengindari sesuatu seperti menghindari obrolan dan tempat terkait traumatis yang dirasakan. Perubahan negatif, yang biasanya dimulai dari pikiran negatif serta perubahan reaksi emosional dan fisik.
“Untuk treatment yang dijalani juga bisa lebih lama tergantung kondisi korban atau pasien,” tukasnya.(adv/dys/DKP3A)