NewsRegionalTelusur

Menggapai Asa di Kutai Barat – Belajar Bertani Lantas Berdagang

Arusmahakam.co, Kutai Barat – Ada banyak alasan orang untuk merantau, entah apapun itu alasannya. Mulai dari soal ekonomi, keluarga, keinginan pribadi, hingga soal tekanan batin atas karena cinta. Seperti yang terjadi pada Dul Ghammek, ia memilih merantau karena tekanan batin cinta dengan cerita yang dahyat tiada akhir.

Akan tetapi kali ini pembaca tidak akan diajak menitikkan air mata, laksana menghayati soal cinta Romeo dan Juliet karya William Shakespeare hingga Layla dan Majnun karya Nezami Ganjavi. Namun mengisahkan sedikit dari berbagai kisah perantauan yang terus bergerak untuk mewujudkan kebahagiaan di tanah kelahiran kedua, ketiga, dan keempat.

Orang-orangan diluaran sana lebih banyak tahu mengenai Balikpapan jika berbincang mengenai Kalimantan Timur. Sementara kabupaten/kota lainnya yang ada tetap diketahui, namun jelas tidak semewah dan sedetail mengenai perihal Kota Minyak tersebut.

Pesawat sipil dengan lambang singa menukik tajam di Bandara Sepinggan Balikpapan, itulah ingatan si Dul ketika menceritakan awal perantauannya. Dengan kata lain, ia tiba di Kaltim sebelum nama bandara tersebut berubah menjadi bandara udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman. Berubah di masa Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan saat Kaltim dipimpin oleh Gubernur Awang Faroek Ishak, pada 15 September 2014 lalu.

“Niat awal tidak ke Kutai Barat, namun di Balikpapan. Namun karena malu merepotkan keponakan, kebetulan ia mengontrak dan tinggal disana. Akhirnya saya memutuskan berangkat bersama istri, naik mobil travel menuju Kubar,” jelasnya.

Di Kubar ia dan istri dijemput kakak kandungnya. Mulailah ia numpang tempat tinggal di rumah gubuk beratap terpal ukuran 2×2 meter, ditengah hutan yang jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota. Dul hanya bisa melihat, menyaksikan, mengamati, hingga memikirkan apa yang dikerjakan kakaknya sangat keras dan luar biasa.

Baca juga:  Mau Dibully Seribu Kali Megawati Tak Takut Dukung Jokowi

“Di Kalimantan jika bertani atau berkebun, cepat pulang jangan sampai siang. Karena cuaca berbeda disini, kalau panas tak bisa dilawan begitupun jika hujan. Ingat diperantauan tidak boleh sakit. Karena orang merantau jika sakit, tidak bisa bekerja dan mencari nafkah. Yang ada malah ngabisin duit,” ujar kakaknya menasehati Dul.

Selama mengikuti kakaknya, ia melihat langsung sang kakak mencari buah kelapa ke kampung-kampung. Beliau naik pohon kelapa sendiri, ngupas kelapa sendiri, ngantar ke pasar sendiri menggunakan motor merk Jepang, klasifikasi Revo. Berangkat jam 10.00 dan balik pada 15.00 Wita, dengan membawa kelapa sebanyak 300-400 butir.

“Dibeli dari kampung per bijinya diantara Rp. 2.000-3.000, dijual ke pasar Rp. 6.000. Jam 4 – 6 sore, dilanjutkan memetik hasil kebun sayur kangkung, bayam, dan lain-lain. Setiap hari dari panen kangkung saja, kakak mewajibkan diri mencabut kangkung sebanyak 300 ikat, perikat bisa dijual dari Rp. 1.250-1.500,” terangnya membicarakan bagaimana ia yang pernah duduk manis belajar di sebuah kampus, harus berlatih dengan sang kakak di perantauan.

Dari kangkung saja mereka bisa meraup pendapatan Rp 450.000 perhari, dari kelapa bisa meraup 1.200.000 perhari. Jadi sehari semalam bisa mendapatkan uang Rp 1.650.000, Sebagai pengikut, ia berteriak kaget ketika berhitung berapa penghasilan kakanya dalam satu bulannya. Dari situlah ia mulai menggunakan kalkulator, karena ia mengaku nilai matematikanya tidak pernah bisa dibanggakan. Untuk hitungan kelapa saja Rp. 1.650.000 × 1 bulan didapatkan nilai sebesar Rp. 49.500.000.

Sontak nalar kritis dan jiwa aktivisnya di masa lalu yang terkadang arogan, dihajar kenyataan yang luar biasa. Pertanyaan yang muncul dibenaknya, di Jawa atau Madura, lulusan S1 siapa yang menggaji senilai itu perbulannya. Walau memang itu masih pendapatan kotor, belum pendapatan bersih. Namun pembaca bisa memperkirakan keuntungan yang diperoleh.

Baca juga:  Jokowi akan Cabut Larangan Ekspor Minyak Sawit Indonesia

Pada suatu hari Dul Ghammek, kemudian meminta izin untuk dapat berpisah dengan sang kakak. Ia pamit agar dapat membangun gubuk sendiri, dan mulailah mengaplikasikan ilmu bertani dan berkebun. Hitung-hitungan diatas kertas yang selama ini jadi patokan si Dul, yang telah makan bangku kuliahan ternyata goyang.

Awal mula tentu aral-rintangan banyak yang menghadang. Memutuskan mandiri sebagai pasangan suami istri, barulah ia sadar bahwa inilah kenyataan yang sebenar-benarnya. Ia ditempa oleh tanah kelahiran kedua, yakni bumi Kalimantan. Tak mudah menjadi petani, tak seindah kelihatan yang diaplikasikan oleh pejuang tangguh layaknya sang kakak.

Muhammmad Aly anak dari Dul Ghammek, nampak sedang hendak berangkat ke sekolah.

Ditengah kegundahan dan angin putus asa yang berhembus kencang, hadir lagi sosok sang kakak padanya. Sebagai petani pejuang, kakaknya lantas memberi nasehat diluar dugaan si Dul. “Dari pada bertani atau berkebun, kamu lebih baik berdagang saja”.

Setelah itu, ayah dari Muhammmad Aly Dzu Al Fyqor ini mendapat panggilan telpon dari guru di pesantrennya dulu. Beliau menanyakan kabar dirinya beserta keluarga di Kubar, dimana menitipkan pesan mengenai 10 pintu rezeki.

“Jika di dunia ini ada 10 pintu rejeki. Maka yang sembilan itu datang dari perniagaan, dan sisanya di bagi-bagi untuk usaha yang lain di luar perniagaan. Hasil usaha yang paling barokah itu datang dari hasil perniagaan yang jujur,” ucap gurunya pada Dul.

“Sontak setelah mendengar wejangan guru dan nasehat kakak, agar saya beralih usaha ke perniagaan. Seketika itu juga, kepala saya pusing tujuh keliling. Dari merasa harus jadi petani sukses, malah disuruh jadi pedagang. Saya pikirkan benar saat itu, layaknya filsuf yang juga bapak astronomi Galileo Galilei,” ungkapnya sembari tertawa, teringat masa itu.

Baca juga:  KECAMATAN MARANGKAYU KEMBALI HIDUPKAN SEKTOR PERTANIAN DI DUA DESA

Setelah merasa memiliki modal cukup, Dul Ghammek kemudian memutuskan menyewa sebuah rumah di pinggir jalan. Tepatnya di Jl. Sendawar Raya, Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Ia kini berjualan sembako, sayur-mayur, aneka bumbu dan rempah, hingga sekarang.

Mencoba terus menjalani hidup dengan caranya. Sebagaimana ia sadar mengenai perihal hidup harus terus berjalan. “Menggantungkan harapan pada satu keinginan saja, sama dengan bunuh diri. Menciptakan banyak harapan ditengah sempitnya keinginan, sama dengan masuk surga di dalam mimpi,” tutupnya saat ditemui Arusmahakam.co (Dps/Jun)

Related Articles

Back to top button