Opini

Merah, Kuning, Hijau, di Langit yang Biru

Oleh: R.J Warsa

Tidak peduli apapun warnanya, asal benar-benar bermanfaat untuk orang banyak. Itu yang timbul dalam pikiran saya akhir-akhir ini, mengingat soal warna menjadi sangat begitu penting ternyata bagi banyak orang.

Padahal warna itu begitu banyak jumlahnya, tidak hanya sekedar hitam dan putih. Jingga dan kelabu, atau merah dan biru, banyaklah! Tinggal mana saja yang kita suka, untuk dilihat oleh mata dengan telanjang.

Bahkan soal warna, menjadi sebuah penghias utama yang lekat dengan lagu Pelangi ciptaan AT Mahmud yang dikenal sebagai pencipta lagu anak di Indonesia. Pertanyaannya? Apakah kita mengetahui jika si pencipta lagu tersebut senang jika ia hanya dikenal dengan sebutan singkat AT Mahmud atau Abdullah Totong Mahmud. ivermectina 6 mg com 4 comprimido vitamedic

“Pelangi-pelangi, alangkah indahmu. Merah kuning hijau, dilangit yang biru. Pelukismu agung, siapa gerangan? Pelangi-pelangi, ciptaan Tuhan”. Itulah lirik lagu populer yang dibuat AT Mahmud, dan saya mengenal lagu tersebut bahkan sejak duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) pada tahun 80-an.

Apakah salah jikalau kemudian saya memilih salah-satu warna saja pada tampilan pelangi yang muncul dikala hujan usai atau ditengah-tengah cerah suasana langit yang membiru. Jika warna pelangi yang garis lengkungnya hanya satu, apakah layak disebut pelangi. Tetap layak kemungkinan besar, hanya soal membiasakan saja.

Warna yang ciptaan Tuhan itu begitu lekat saat ini menjadi sebuah identitas perseorangan, kelompok, hingga golongan. Ketika bahkan memilih ketiga warna yang lekat dari pelangi saja, juga akan menjadi sebuah pertanyaan saat ini. Warna yang dianggap warna milik kaum LGBT. Mengingat pada 1978, Alm Gilbert Baker memunculkannya sebagai bendera dalam hari kebebasan kaum Gay di San Francisco.

Baca juga:  Menyibak Kepalsuan

Ketika mengetik tulisan ini, saya masih takut-takut. Takut dianggap memihak pada perorangan, kelompok, maupun golongan. Takut kemudian dianggap sebagai kawan maupun lawan, oleh orang-orang yang mengkultuskan warna. Padahal seperti bait terakhir lagu Pelangi ciptaan AT Mahmud. “Pelangi-pelangi, ciptaan Tuhan”.

Ingin aman, tentu banyak kawan menyarankan saya untuk memilih warna putih. Perlambang warna yang menunjukkan kesucian hati, dimana bahkan menjadi identik warna ksatria utusan Tuhan. what happens if you take ivermectin Tetapi saya bukanlah orang baik-baik amat, tentu tidak layak mengenakan warna putih sebagai warna kesukaan. Walau akhir-akhir ini seringkali warna putih menjadi warna tshirt yang saya kenakan.

Karena khawatir soal jangan sembarangan menunjukkan warna. Maka saya memilih warna yang tidak menunjukkan kesucian, yakni warna hitam. how long does oral ivermectin stay in your system Dengan alasan jelas agar tidak menunjukkan keberpihakan pada warna-warna dominan, yang dapat mengganggu pertemanan. Karena dapat saja, ada yang begitu maniak pada warna dominan.

Duduk di ujung sebuah cafetaria, masih saja saya fokus dengan laptop sembari mengerjakan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kerja yang tidak intelektual sama sekali. Saya tiba-tiba mendengar pembicaraan tipis, dari wanita-wanita cantik yang duduk di meja sebelah kanan meja tempat saya duduk.

“Coba kamu lihat lelaki itu, potongannya seperti dukun. Jangan-jangan orang ini yang sering diperbincangkan orang akhir-akhir ini, bahwa ada dukun sakti mandraguna yang bisa membolak-balikkan hati sesuai permintaan orang yang datang padanya,” ungkapnya wanita yang beralis tebal itu pada sahabatnya.

“Dari mana kamu tahu, dan berani menduga hal itu,” tanya wanita satunya. Lantas dijawab dengan tegas, “Selain mengenakan kaos warna hitam, coba lihat dari kumis dan jenggot tebalnya. Benar-benar dukun yang luar biasa kekinian, apalagi ia duduk sembari ditemani laptop,” jawabnya tuntas.

Baca juga:  Kementerian Agama dan NU

Saya hanya bisa pasrah kali ini dengan dugaan yang muncul dari dua wanita yang duduk hanya terpisah satu meja itu. Bahkan memilih warna hitam saja, sudah mendapatkan tuduhan miring seperti itu. Baru soal warna, dan tentu tidak akan saya bahas soal kumis dan jenggot yang tumbuh lebat. Khawatir dianggap ke kiri dan ke kanan nanti. Pastinya, pelangi ciptaan Tuhan.

NB: Penulis sedang intens menepi di Bukit Pelangi, dan ini tidak main-main. Karena lokasinya berada dekat dengan pusat pemerintahan, di Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur.

Related Articles

Back to top button