Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma’a al-kufri, dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma’a al-muslimin”.
Dalam kerangka berpikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermura pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat, maka perlu ditinggalkan.
Jika ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka perlu dibuat fiqih baru. Harus diingat bahwa yang namanya fiqih itu bersifat ijtihay. Fiqih siyasah itu sendiri bukan sebatas kekuasaan tapi lebih pada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan kemaslahatan umum.
Nabi Muhammad SAW pernah berkata : ” antum ‘alamu biumuri dunyakum” artinya pada wilayah “non ibadah” semisal perpolitikan (siyasah), ummat islam diberi kebebasan penuh untuk merumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak.
Rumusan itu harus mengacu pada prinsip maqashid al-syari’ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama (hifzh al-din), (2) melindungi jiwa dan keselamatan fisik (hifzh al-nafs, (3) melindungi kelangsungan keturunan (hifzh al-nasl), (4) melindungi akal fikiran (hifzh al-‘aql) dan (5) melindungi harta benda (hifzh al-mal) .
Rumusan lima maqasid ini memberikan pemahaman bahwa islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam penyembahan Tuhan semata. Namun aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) harus disikapi dengan meletakkan keadilan dan kemaslahatan sebagai pertimbangan.
Semoga kita semua mampu berlaku adil dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama di setiap langkah dan gerak kita, Amiin.
NB: Penulis merupakan aktivis NU Provinsi Jawa Tengah