Arusmahakam.co, Jakarta – Direktur Nasional Gusdurian Network Indonesia (GNI) yang juga magister profesi Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid atau Alissa Wahid mengatakan otonomi tubuh bukan sekadar kebebasan dalam berbusana, melainkan kedaulatan dalam menentukan apa yang terbaik untuk diri seseorang.
“Otonomi tubuh kalau tidak diberikan akan sulit mencapai tujuan lain seperti kondisi kesehatan yang ideal, orang sering menyederhanakannya jadi berpakaian minim, padahal tidak, ini terkait berbagai persoalan seperti perkawinan anak hingga marital rape,” kata Alissa dalam diskusi daring “Otonomi Tubuh: Tubuhku adalah Milikku”, Kamis.
Pelanggaran otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri masih terjadi saat ini, termasuk praktik-praktik perkawinan anak di mana perempuan dinikahkan terlalu muda, bahkan ketika organ reproduksinya belum berkembang sempurna.
Persoalan pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape) juga di mana aktivitas seksual dilakukan secara paksa pun salah satu bentuk pelanggaran otonomi tubuh.
Alissa mengatakan, penghakiman sosial yang terjadi adalah salah satu hal yang menyulitkan otonomi tubuh. Budaya, tradisi dan pandangan sosial yang sudah mendarah daging membuat pelanggaran otonomi tubuh bahkan dilakukan secara sukarela karena perempuan menganggap itulah yang diharapkan dan harus dilakukan olehnya.
Dia mencontohkan apa yang terjadi di berbagai daerah, perbedaan pandangan masyarakat terhadap anak lelaki dan perempuan yang dianggap tidak setara.
“Misalnya ketika keluarga punya anak lelaki dan perempuan, kalau makanannya lauk hewani yang mahal, banyak tempat di Indonesia lebih memprioritaskan untuk memberikannya kepada anak lelaki,” katanya.
Ketika lelaki dan perempuan sudah beranjak dewasa, masyarakat umumnya maklum bila anak lelaki punya waktu sendiri untuk mengembangkan kemampuan karena dia diharapkan kelak menjadi kepala keluarga yang harus mencari nafkah dan bisa membantu meringankan beban keluarga.
Sementara anak perempuan yang tumbuh dewasa “divonis” untuk segera menikah demi mengurangi beban keluarga.
Anggapan perempuan yang belum menikah itu “tidak laku” juga membuat perempuan tidak punya otonomi tubuh, sebab dia tidak berhak menentukan apa yang ingin dilakukan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dari perspektif sosial, masih ada anggapan perempuan tak perlu sekolah hingga jenjang yang tinggi karena orangtua hanya perlu menikahkannya ketika dia sudah dewasa.
Menawarkan pemikiran baru adalah langkah awal dalam mengatasi masalah ini. Alissa mengatakan, penting untuk memikirkan lagi apa posisi perempuan di tengah masyarakat. Bukan lagi sebagai warga kelas dua, tapi setara dengan laki-laki yang sama-sama punya potensi dalam memberikan dampak positif bagi lingkungannya.
Setelah itu, perlu ada perubahan kebijakan, pendekatan teologis, serta peran dari organisasi masyarakat sipil yang berkomitmen mendidik masyarakat serta mengadvokasi kebijakan. “Jangan minta masyarakat berubah kalau sudut pandang belum berubah,” katanya. (ant)