Arusmahakam.co, Jakarta – Pandemi semakin terkendali dan terus melandai. Pemerintah siap-siap kembali ke situasi normal dalam pengelolaan keuangan negara. Defisit (utang) negara dalam APBN 2023 pun akan dibatasi sampai tiga (3) persen saja dari produk domestik bruto (PDB). Ancer-ancer defisitnya sekitar Rp562,6 triliun hingga Rp596,7 triliun, atau 2,81–2,95 persen dari PDB 2023.
Gambaran tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati seusai melakukan rapat kabinet terbatas (ratas) tentang RABPN 2023 di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (14/4/2022). Kelonggaran defisit yang dijamin oleh Undang-Undang (UU) nomor 2 tahun 2020, karena kebutuhan dana besar bagi penanganan Covid-19 dibatasi hingga 2022. Selebihnya kembali ke pengelolaan keuangan negara seperti yang diatur oleh UU nomor 17 tahun 2003 dengan defisit 3 persen.
‘’Ini artinya kita akan laksanakan UU 2/2020 sebagaimana seharusnya, di mana defisit APBN tahun 2023 akan kembali di bawah 3 persen. Namun, APBN 2023 itu akan tetap mendukung pemulihan ekonomi, dan pada saat yang sama ia terus mendukung program-program pembangunan nasional,” ujar Menkeu dalam keterangan persnya.
Secara lebih rinci, Menkeu memaparkan, pendapatan negara diperkirakan mencapai 11,28 persen hingga 11,76 persen dari PDB, atau kisaran Rp2.255,5 triliun hingga Rp2.382,6 triliun. Sementara itu, belanja negara di tahun depan didesain pada kisaran 14,09 persen hingga 14,71 persen dari PDB, atau antara Rp2.818,1 triliun hingga Rp2.979,3 triliun.
‘’Belanja negara tersebut terdiri dari belanja pusat antara Rp2.017 triliun hingga Rp2.152 triliun, dan transfer ke daerah akan berkisar antara Rp800 triliun hingga Rp826 triliun,” kata Menkeu.
Rencana Postur APBN 2023 ini, menurut Menteri Sri Mulyani, disampaikan lebih dini karena bakal menjalani pembahasan yang panjang dalam proses legeslasinya di DPR. Selepas pandemi Covid-19 menerjang, tak berarti kondisi ekonomi dunia langsung pulih. Ada fenomena “long Covid” ekonomi yang berupa terjadinya kenaikan harga-harga komoditas serta susutnya pasokan bahan pangan ke pasar dunia, yang kini memicu inflasi global.
Situasi ini diperburuk oleh adanya guncangan geopolitik, utamanya akibat perang setelah Russia melancarkan serangan militer ke tetangganya, Ukraina. Padahal, kedua negara ialah pemasok gas, minyak, gandum, dan minyak nabati ke pasar dunia. Konflik militer berlanjut ke perang ekonomi. Pemulihan ekonomi mengalami pelemahan, yang menurut Menkeu, menimbulkan masalah baru yang sangat rumit.
Optimisme yang merebak di tengah masyarakat global di awal 2022 pun kini terkoreksi. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), lembaga yang mengorkestrasi kerja sama di antara 35 negara maju, memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah 1 persen, dari tadinya 4,5 persen menjadi hanya 3,5 persen.
Bank Dunia merevisi angka perkiraan pertumbuhan ekonomi global 2022, dari 4,4 persen menjadi 3,5 persen. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga meramalkan pertumbuhan ekonomi dunia akan melemah dari 4,4 persen ke 3,1-3,7 persen. Pada saat yang sama inflasi melonjak.
Bank Dunia memperkirakan inflasi di negara-negara maju bakal naik dari 3,9 persen ke 5,7 persen. Sedangkan di negara-negara berkembang tekanan inflasi melonjak dari 5,9 persen ke 8,6 persen. Dalam situasi itulah APBN 2023 harus disusun. Sejumlah catatan capaian di 2021 bisa mendukung optimisme 2023.
Realisasi penerimaan negara, misalnya, pada 2021 mencapai Rp2.003 triliun, naik 16 persen dari 2020. Realisasi belanja negara Rp2.786 triliun; dan realisasi defisit APBN tercatat Rp783 triliun, jauh di bawah rencana semula yang Rp1.006 triliun. Capaian 2021 itu membuat pemerintah cukup punya keyakinan bahwa APBN bisa disusun dengan defisit di bawah 3 persen.
Di dalam mendesain APBN, Menkeu Sri Mulyani mengatakan, terdapat beberapa aspek yang perlu untuk dipertimbangkan, seperti kenaikan inflasi dan pengetatan moneter. Hal ini berdampak pada sisi utang yang akan dikelola, baik tekanan dari sisi jumlah bunga utang maupun cicilan yang harus dibayar.
“Ini yang harus kita pertimbangkan sebagai bagian untuk mendesain APBN 2023 kembali menuju pada defisit di bawah 3 persen, yaitu agar jumlah kebutuhan untuk menerbitkan surat utang bisa diturunkan secara bertahap namun tetap berhati-hati,” ujar Menkeu.
Dari sisi fiskal, APBN akan melakukan reformasi di bidang pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan dengan membangun pembiayaan yang makin inovatif. ‘’Oleh karena itu, untuk APBN 2023, kita masih akan terus mengkalibrasikan dan mempertajam pada perhitungan untuk belanja, baik pusat maupun ke transfer ke daerah, serta mengestimasi penerimaan negara,’’ Menkeu Sri Mulyani menambahkan. (put/idn/amc)