Pengasuhan Yatim Piatu Akibat COVID Diupayakan Berbasis Keluarga

Arusmahakam.co, Jakarta – Sejak pandemi merebak, banyak anak mendadak yatim piatu setelah orang tua mereka meninggal akibat COVID. Sesuai undang-undang, pengasuhan anak itu dialihkan ke keluarga besar. Kesulitan finansial dan luasnya pandemi tidak memungkinkan keluarga memikul tanggung jawab itu.

Pandemi COVID-19 memaksa anak menjadi yatim piatu ketika salah satu atau kedua orang tua mereka meninggal akibat COVID. Di Kutai Barat, Kalimantan Timur, media setempat melaporkan tentang Aldiano Dafa Raharjo alias Vino, usia 10 tahun, yang ditinggal kedua orangtuanya hampir bersamaan, 19 dan 20 Juli lalu. Di Gambir, Jakarta Pusat, Salma Ramadayanti, usia 15 tahun, kini yatim piatu. Setelah ditinggal ayah 12 tahun lalu, ia ditinggal ibunya pada 13 Juli lalu akibat COVID.

Dalam bencana kesehatan, sekaligus bencana kemanusiaan, siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anak yatim piatu? “Negara, khususnya kementerian sosial,” cetus Dr. Seto Muljadi, lebih dikenal sebagai Kak Seto, ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).

Seto menyamakan situasi mereka sebagai terlantar atau korban bencana umumnya, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab mengambil alih perlindungan. “Tentu pertama adalah negara karena negara juga punya berbagai rumah singgah, rumah-rumah Perlindungan Anak.”

Sebelum negara ‘turun tangan’, wakil ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengatakan, keluarga besar harus diajak berunding mengenai masa depan anak yang kehilangan orangtua.

“Dalam hukum Indonesia, keluarga besar sampai derajat ketiga yang (seharusnya) mengambil alih soal perwalian,” kata Rita.

Derajat yang dimaksud Rita adalah kakak-adik sebagai derajat pertama. Kemudian nenek-kakek, dan derajat ketiga, paman-bibi.

Masalahnya, pada masa pandemi virus corona, keluarga besar pun terimbas, secara kesehatan maupun finansial. Mengasuh anak lain, walaupun masih kerabat, akan menjadi tambahan beban.

Direktur Rehabilitasi Sosial Anak di Kementerian Sosial, Kanya Eka Santi, membeberkan proses panjang perwalian. Proses itu juga menuntut ketekunan pekerja sosial di lapangan.

Kalau tidak memungkinkan pengasuhan dialihkan ke keluarga besar, maka akan dicarikan alternatif. Di Indonesia, pilihannya adalah, “Satu, foster care atau orangtua asuh. Kedua, wali. Yang ketiga, pengangkatan anak,” ujar Kanya.

Kanya menunjuk kasus di Tangerang di mana seorang anggota DPR bersedia menjadi orangtua angkat untuk anak yatim di wilayahnya. Di Sinjai, seorang bupati bersedia menjadi orangtua asuh.

Banyak beredar kabar, anak-anak itu dititipkan ke panti asuhan. Yang Muslim menarget pondok pesantren untuk pengasuhan dan pendidikan. Rita dari KPAI mengingatkan bahwa anak-anak itu juga harus ditanya. “Anak sebagai individu juga punya hak. Sebenarnya, dia ingin seperti apa? Itu yang paling penting karena ini berkaitan dengan perencanaan pengasuhan yang menyangkut anak ini.”

Rita berharap kerabat yang kesulitan mengambil alih pengasuhan tidak serta merta ‘membuang’ anak itu, sehingga anak merasa tidak diinginkan. “Itu kan membuat situasi psikologis anak menjadi lebih berat karena dia sudah kehilangan orangtua, tiba-tiba harus berubah kehidupannya secara dramatis, apalagi kemudian dipindahkan ke tempat yang juga asing sama sekali,” imbuhnya.

Menurut Kanya, panti ada dalam alternatif solusi pengasuhan. “Panti sebenarnya ada dalam continue move care, dari sisi pengasuhan alternatif. Dan itu the last resort (pilihan terakhir),” tukasnya.

Wakil Kepala Program Dampak dan Kebijakan Yayasan Sayangi Tunas Cilik atau Save the Children, Tata Sudrajat setuju panti atau pondok menjadi solusi terakhir. Sebelum ke sana, “Dicarikan pengasuhan alternatif yang masih berbasis keluarga, (seperti) diatur dalam peraturan pemerintah yang baru.”

Sejauh ini, Satgas COVID-19 dan Kementerian Sosial sama-sama mengakui tidak mempunyai data tentang jumlah anak yang yatim piatu dalam pandemi virus corona. Juga tidak ada data mengenai nasib pengasuhan anak-anak itu. Kanya sudah mengusulkan data itu ke Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Tata mengatakan data yang tersedia dari Satgas COVID-19 hanya menunjukkan jumlah anak yang positif, sembuh, dan meninggal, dari usia 0 sampai dua tahun dan terus sampai 18 tahun. “Oleh karena itu, betul-betul harus ada riset atau pendataan untuk mengetahui, pertama, status yatim piatunya,” ungkapnya.

Kembali ke Vino di Kutai Barat, dari luar masyarakat bergantian menjaga Vino yang sendirian menjalani isolasi mandiri di dalam rumah. Ia tertular COVID dari orangtuanya.

Kementerian Sosial, melalui kantor dinas setempat, kata Kanya, rutin mengunjungi Vino, memberi bantuan langsung, terutama bimbingan psikologis. Kalau sudah sembuh, Vino akan diasuh paman dan pihak sosial akan terus memantau perkembangannya.

Sedangkan Salma, yang tidak mengidap virus corona, kini: “Ikut kakak,” ujarnya.

Salma, bungsu dari enam bersaudara, bergabung dengan empat kakaknya yang berpatungan mengontrak rumah di Srengseng, Jakarta Barat. Rumah dengan satu kamar tidur di kawasan padat itu ditempati tujuh orang. Salma menjelaskan perwaliannya, “Jadi, Kak Fira (anak nomor tiga) yang menjadi kakak, mamah, ayah.”

Pusat data virus corona Johns Hopkins University menunjukkan, Indonesia mencatat hampir 3,3 juta kasus COVID dengan hampir 89 ribu kematian. Mengutip data ini, kata Tata, hampir 15 persen yang meninggal berusia antara 19 dan 45 tahun.

“Umur ini adalah umur ketika mereka masih punya anak (usia 0 sampai 17 tahun). Katakanlah satu saja, maka kurang lebih ada 11 ribu yang yatim piatu,” tambah Tata.

Protokol pengasuhan anak terkait COVID, kata Tata, menegaskan bahwa fasilitas kesehatan harus melengkapi data tentang status serta orangtua si anak. Rita mengingatkan, ini adalah pe-er besar bagi kementerian sosial.

“Kementerian harus membuka semacam hotline untuk menerima laporan tentang kondisi anak-anak yang memang yatim piatu dan sebagianya karena COVID-19,” pungkasnya. (Voi)