Perantau, Pembelajar, dan Pengacara

Kisah Hingga Harapan Ismail Panda Lubis

Kabupaten Tapanuli Selatan pada 25 November 1982 beberapa puluh tahun lalu, jadi saksi atas lahirnya anak lelaki dari pasangan suami istri Alm Panusuanan Lubis dan Alm Daifah Hamida. Wajah keduanya nampak bahagia, mengingat anak lelaki yang masih memerah itu merupakan anak keenam dalam keluarga tersebut. Pada beberapa tahun selanjutnya, bayi merah itu tak lagi jadi bungsu. Karena ia memiliki adik, sehingga posisinya menjadi anak keenam dari tujuh bersaudara.

Ismail Panda Lubis atau biasa disapa Panda mengaku bangga mendapatkan didikan keras dari ayahnya, yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Tata Usaha (TU) di SMU 1 Stabat di Langkat. Panda menempuh pendidikan formal di SDN 2, SMPN 1, dan SMA swasta yang semuanya berada Langkat.

Melihat catatan pendidikannya tersebut diatas, tentu akan sulit membayangkan bagaimana anak Sumatera bisa sampai terdampar hingga ke Kota Raja Tenggarong Kutai Kartanegara. Sungguh perjalanan yang teramat jauh, namun rupanya Tuhan punya rencana yang tidak diduga-duga oleh hamba-Nya.

Tahun 2005 silam, ia berniat jalan-jalan untuk menemui kerabatnya yang kebetulan berada di Kabupaten Kutai Kartanegara yang kebetulan bertugas sebagai anggota TNI di Kodim 0906 Tenggarong. Setahun setelahnya baru ia kemudian kuliah di Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), tepatnya di Fakultas Hukum.

“Dulu awalnya hanya jalan-jalan dan melihat daerah orang lain, tidak berencana menetap. Sempat tinggal di asrama Kodim di Jl Seluang pada waktu itu. Malah sekarang beliau yang saya tumpangi, telah tinggal di Bongan Kabupaten Kutai Barat, tugas di Koramil sana,” ujarnya mengenang masa itu.

Panda tidak saja kuliah, namun juga bekerja sebagai tenaga honorer Linmas di Kesbangpol Linmas Kukar pada 2005-2009 lalu. Lalu pernah juga bekerja di perkebunan kelapa sawit yakni PT Malaya Sawit Khatulistiwa (MSK). Dan nasib memang terus berjalan dengan pijakan-pijakan kecil untuk kemudian membuatnya menjadi pengacara seperti sekarang.

“Pada saat bekerja di perkebunan kelapa sawit, terjadi pengurangan karyawan. Sehingga saya harus kembali mencari pekerjaan, kebetulan saya berlatar belakang Sarjana Hukum. Maka saya memilih menjadi pengacara, mengingat peluangnya masih sangat besar. Berprofesi sebagai pengacara, kita tidak perlu menempuh pendidikan lanjut ke jenjang S2 atau kuliah di luar Kaltim. Kecuali jika anak-anak hukum ingin mengambil pendidikan notaris, maka harus kuliah diluar,” terang lelaki yang hobi berkebun ini.

Untuk menjadi pengacara, seseorang cukup mengambil pendidikan lanjutan di masing-masing organisasi advokat yang cabang-cabangnya terdapat di Kalimantan Timur. Ia melihat profesi ini memiliki peluang kerja yang menjanjikan, mengingat persoalan-persoalan hukum makin berkembang dan banyak terjadi di Kutai Kartanegara, belum lagi di Kaltim secara luas.

Dirinya bergabung pertama kali di LBH Broetji Djaya yang didirikan Ketua DPC KAI Kukar pada waktu itu yakni Agus Talis Joni, SH., MH. Selanjutnya Panda dipercaya oleh Ketua Tanfidziyah NU Kukar Chairil Anwar, untuk menjadie Ketua LPBHNU (Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama). Selain itu, Ia bersama rekan-rekan pengacaranya juga membentuk firma hukum dengan nama LP2S.

 

Titip Pesan untuk Kemajuan Unikarta

Kembali berbincang-bincang tentang Universitas Kutai Kartanegara. Pria yang merupakan salah-satu lulusan di kampus swasta tertua dan dibanggakan oleh masyarakat Kukar tersebut.

Ismail Panda Lubis menerangkan jika mutu dan kualitas kampus tersebut harus ditingkatkan. Mulai dari fasilitas pendidikan, tenaga pengajar, serta menambah lagi jurusan-jurusan agar Unikarta mampu bersaing dengan kampus-kampus lainnya yang bisa jadi akan berdiri di Kukar.

“Karena daerah ini merupakan salah-satu kabupaten yang kawasannya masuk dalam wilayah Ibu Kota Negara. Ini menjadi persoalan jika tidak ditingkatkan mutu dan kualitasnya, khawatirnya kalah bersaing dengan kampus lainnya. Selain itu status lahan Unikarta yang ada saat ini masih milik Pemkab Kukar. Sehingga jika tidak diurus menjadi milik Unikarta, maka akan menjadi persoalan hukum kedepannya,” ungkapnya khawatir.

Ia mengingatkan, bagaimanapun tanah tersebut masih berstatus milik Pemkab, mengingat penggunaanya untuk sektor pendidikan yang komersial. Ini otomatis akan berdampak hukum, kalau tidak segera diselesaikan. Ambil contoh seperti perihal Yayasan Melati di Samarinda, yang aset lahan merupakan milik pemerintah. Untuk itulah Pemkab Kukar seharusnya memungut sewa pada pihak Unikarta, karena ini aset Pemkab yang digunakan oleh pihak swasta walaupun untuk kepentingan pendidikan.

“Karena ada pungutan biaya untuk mahasiswanya, yang dilakukan Unikarta. Kalau pemerintah tidak memungut sewa, maka Pemkab Kukar akan mengalami kerugian. Ini menjadi persoalan besar nantinya. Dan kita tidak mau Unikarta yang merupakan universitas swasta terbesar di Kukar, akhirnya hanya tinggal nama. Untuk itu diharapkan pihak Rektorat dan Yayasan serius untuk berbicara dengan Pemkab Kukar terkait hal ini,” terangnya.

Lebih jauh ia menjelaskan Unikarta telah memiliki kampus di Tenggarong Seberang, yang sudah dibangun pada tahun 2006 lalu dan belum jadi. Sehingga menjadi terbengkalai karena belum selesai. “Dan ini menjadi persoalan tentunya. Karena anggaran bersumber dari Pemkab Kukar, kita tidak mau seperti itu. Kita mau Unikarta menjadi ikon kebanggan kita nantinya setelah IKN resmi berdiri dan berada di Kalimantan,” tutupnya. (Rio/Jun)