Pagi tadi istri mengajak pergi ke rumah Mbah di Kelabang. Sebenarnya sudah dari dua hari kemarin dia mengajak saya, tapi baru hari ini kami sama-sama memiliki kehendak dan kesempatan yang sama. Itu pun karena kami tidak jadi pergi ke Lumajang untuk menjemput Ummi dan dua adik kami.
Di Kecamatan Kelabang, sebelum belok kanan melewati pinggir sebuah kanal, kami meneruskan perjalanan ke Prajegan sekadar untuk membeli gorengan, yang kata istri saya, rasanya enak. Beda dengan rasa gorengan-gorengan lain yang sudah pernah dicicipinya. Beda tangan memang beda rasa. Beda lidah tentu beda selera.
Di Prajegan, saya tidak tahu di bagian mananya, di tepi kanan dan kiri jalan berjajar truk-truk besar pengangkut tebu. Di sisi kiri jalan terdapat bekas rel kereta api. Itu bukan bekas res kereta api yang biasa mengangkut orang. Argo Bromo, Anggrek, atau Argo Dwipangga, misalnya. Bukan. Kata istri saya, itu bekas rel kereta api pengangkut tebu pemerintah Hindia Belanda saat masih memberlakukan sistem kerja rodi.
Saya tidak menyangka bahwa di daerah ini terdapat bekas sistem kerja rodi. Tapi, yang lebih mengagumkan adalah bagaimana rel kereta itu memotong jalan utama, berkelok ke kanan dan kiri jalan beraspal yang kami lintasi. Yang ke kanan, saya tidak tahu ke mana bekas rel itu menuju. Saya hanya tahu, berkat menerka-nerka, rel yang ada di sisi kiri jalan membentang panjang di sebelah pabrik tebu menuju bagian dalam atau mungkin belakangnya. Saya tidak tahu persis.
Terlepas bahwa itu peninggalan pemerintah Hindia Belanda atau bukan, saya merasa kagum bagaimana jalan beraspal yang kami lintasi dibangun di atas rel kereta api yang bekasnya masih terlihat sampai sekarang. Mungkin masih akan membekas sampai bertahun-tahun mendatang. Yang jelas, setiap bekas masa lalu selalu memberikan pesona tersendiri.
Hanya dengan melihat dan mengetahuinya bahwa itu infrastruktur peninggalan Hindia Belanda, meski saya tidak tahu bagaimana fakta-fakta sejarah menceritakannya, atau bagaimana kereta-kereta api itu mengangkut tebu, mungkin itu akan sangat mengagumkan jika saya bisa menyaksikannya sekarang, saya merasa menjadi bagian dari potongan sejarah ini. Saya tidak tahu perasaan ini datang dari mana, tapi ketika saya melintas di atasnya, saya merasa bangga sekaligus kagum karena negara ini memiliki sejarah panjang yang mengagumkan.
Tentu saja, saya tidak mengatakan bahwa saya bangga suatu bangsa serakah telah menjajah dan menguasai negara ini bertahun-tahun lalu, hingga memperdaya bangsa saya, maksud saya nenek-kakek moyang saya, dengan sistem kerja rodi atau kemudian politik etis mereka.
Tidak. Saya tidak bangga sama sekali. Yang saya maksud adalah, saya bangga bahwa sebelum mencapai garis kemerdekaan bangsa ini telah melewati berbagai peristiwa.
Apa pun itu, ya apa pun yang berkaitan dengan sisa-sisa masa lalu, apakah itu gedung yang nyaris runtuh sepenuhnya atau bekas rel kereta api pengangkut tebu, saya bangga bisa menyaksikannya sekarang. Setidaknya, dengan memandangnya, saya bisa melihat adegan-adegan yang mungkin terjadi saat itu. Setidaknya, ya setidaknya, itu terputar di dalam kepala saya.
Seandainya seseorang meniadakan, menghapus, atau menutupi potongan-potongan sejarah masa lalu yang tersisa ini, mungkin saya tidak akan merasa bangga lagi berdiri di atas tanah di mana sekarang saya berdiri. Selama ini, saya, bahkan mungkin kita, merasa bangga akan bangsa ini karena keberadaanya yang dibangun dari deretan sejarah panjang: keringat dan darah, luka dan kematian.
Itulah kenapa, jujur saja, saya merasa tidak mampu menghapus masa lalu. Itu sebentuk rasa syukur atas apa-apa yang sudah menjadikan saya yang kini.
Omong-omong, ada satu hal lagi yang tidak luput dari perhatian saya, mengenai ini saya sudah menyebutkannya sedikit tadi, tentu saya memperhatikannya dari atas sepeda motor yang melaju, melirik dikit-dikit, adalah antrian truk pengangkut tebu yang menumpuk.
Saya sudah melihat pemandangan ini di kota lain sebelumnya. Truk-truk yang sama berderet panjang menunggu giliran masuk ke dalam pabrik. Tapi di sini, truk-truk itu sebegitu banyaknya. Saya berpikir, mungkin hanya pada waktu malamlah truk-truk ini menjalankan aksinya. Maksud saya, menuang tebu-tebu yang dimuatnya ke dalam pabrik. Saya tidak begitu paham cara kerjanya. Setidaknya begitulah yang bisa saya katakan.
Beberapa truk diparkir sangat jauh. Saya bertanya-tanya, kenapa truk-truk itu tidak langsung diparkir di area pabrik, berkumpul dengan truk-truk lain yang sudah lebih dulu tiba di sana, berdempetan satu sama lain.
Mungkin, daripada menunggu tanpa ada kepastian, sopir-sopir truk itu memilih untuk pulang dulu ke rumah, menyapa anak-anak atau menuntaskan rindu kepada istri-istri mereka. Atau mereka pergi ke tempat-tempat menyenangkan, warung remang-remang, bercanda dengan gadis-gadis muda binal atau janda-janda kesepian.
Jawaban ini saya terka-terka sendiri, karena warung gorengan yang kami tuju sedang tutup.
“Yaaaaahh.. kok tutup sih. Padahal gorengannya enak. Lebih enak dari gorengan lain,” kata istri saya. “Tempe gorengnya tebal-tebal. Harganya lima ratus rupiah. Enak lagi.”
Saya tidak mengatakan apa-apa dan tetap menarik gas sepeda motor menuju rumah Mbah di Kelabang.
Di pinggir kanal yang sempat saya ceritakan tadi, kami membeli es teler tiga bungkus. Penjualnya seorang lelaki paruh baya. Usianya mungkin sudah menginjak 50, atau mungkin 55. Dia sendirian menunggu pembeli. Cara mengambil komponen es teler dari dalam toples dan memasukkannya ke dalam kantong kresek masih agak kaku.
Saya menduga, mungkin baru beberapa bulan yang lalu dia memulai bisnisnya itu. Mungkin dia buruh pabrik gula yang dipecat gara-gara korona. Mungkin dia seorang pengangguran akut yang baru sadar untuk memulai bisnis saat warisan orang tuanya sudah ludes diembat anak-anaknya yang bandel dan tak tahu sopan santun.
Mungkin juga, maaf, ini kemungkinan saja, dia mantan aktivis yang tidak tahu mau pergi ke mana, menjadi apa, atau bergantung kepada siapa setelah puluhan tahun lalu lengser dari jabatannya sebagai ketua tingkat kota.
“Berapa, Pak?” kata istri saya.
“Lima belas ribu,” jawab si bapak penjual es teler.
Setelah membayar, kami meneruskan perjalanan ke rumah Mbah. Di sepeda motor sudah saya cangklongkan sekeresek tanggung tahu goreng telanjang yang kami beli di pasar Wonosari. Kami beli seharga lima ribu.
Cukup murah memang, tapi enak. Tahu ini kami beli untuk dirujak di rumah Mbah. Jadi, saya akan beritahu sebuah rahasia: sejak di rumah kami sudah berniat, kami akan rujakan di sana.
Jalan ke rumah Mbah, pokoknya setelah masuk gang kecil di samping sebuah toko, bukan jalan beraspal yang mulus. Bahkan sangat kacau sebagai sebuah jalan umum. Jalan itu sebentuk jalan yang sebenarnya bukan jalan. Tapi masih disebut jalan karena dilewati orang. Di sana sini terdapat cekungan-cekungan, juga gundukan-gundukan. Bagi mereka yang belum pernah ketemu dengan jaan seperti ini, saya yakin mereka akan berhenti sebelum tiba.
Saya menduga, ini terjadi, barangkali karena kepala desanya tidak mau diaspal. Saya merasa perlu menelepon teman saya yang sehari-hari melakukan safari desa, mengukur jalan-jalan rusak untuk diperbaiki atau membangun jalan baru untuk mempermudah akses masyarakat menyelesaikan urusannya masing-masing.
Orang-orang semacam teman saya, yang dikontrak menjadi semacam pendamping desa—saya agak lupa istilahnya, yang jelas dia bekerja kepada pemerintah—seharusnya tersebar di seluruh Jawa Timur.
Program semacam ini sudah ada sejak Khofifah memimpin. Dan seharusnya, orang-orang semacam teman saya ini juga ada di Kelabang. Datang ke kantor-kantor desa, melakukan pendampingan, mengecek infrastruktur jalan yang rusak, mengajukan anggaran perbaikan, dan merealisasikannya dengan baik.
Barangkali mereka sebenarnya ada. Tapi keberadaan mereka hanya semacam siluman. Muncul saat penerimaan gaji, menghilang,lalu muncul lagi saat mencium bau gaji. Atau jangan-jangan, memang pejabat daerahnya yang terlalu haus gaji—baik secara resmi maupun maupun secara rahasia.
Saya memang baru beberapa kali pergi ke rumah Mbah. Tapi, jalan rusak itu sungguh-sungguh sangat mengganggu. Tidak hanya ke mata dan pantat, tapi juga ke perut. Setibanya di rumah Mbah saya langsung merasa lapar setelah digoyang-goyang jalan rusak yang sangat kurang perhatian dari kepala desa. (*)
Latif Fianto lahir di Sumenep. Menulis Novel “Batas Sepasang Kekasih” (Basabasi, 2018) dan Kumcer “Rumah Tanpa Tangga” (Spasi Book, 2019).