Cerpen & PuisiOpini

Ringan Tangan dan Tidak Menggenggam Tangan

Oleh : Muh. Ridwan Zein

Semalam ketika kumpul dengan senior-senior, kebetulan mereka-mereka ini tetangga kosanku. Dalam keadaan capek dan lelah setelah ada acara seharian, tiba-tiba salah satu senior menyuruhku merebus mie. Kebetulan malam itu sedang hujan, hawa dingin pun terasa. Kebeneran ini namanya, hawa dingin dan makan mie panas benar-benar mendukung.

Aku mulai merebus air, mempersiapkan apa yang perlu dipersiapkan. Aku sendirian menyiapkan. Sementara dua senior sedang ngobrol di kamarnya. Aku masuk ke kamar untuk mencari sesuatu, tak enak rasanya tidak menawari senior yang lain, yang kebetulan juga satu kamar dengan aku. Dia dengan sergap keluar kamar dan langsung rame. اسرار لعبة الروليت Bak anak kecil yang tak diajak temannya makan bareng. Seperti itulah yang dilakukan senior satu kamarku. الروليت الفرنسي Ketika air mulai mendidih, aku dengan segera memasukkan empat bungkus mie yang diminta untuk direbus dengan tambahan dua butir telur.

Ternyata kehadiran senior satu kamar ini membuat keadaan tidak nyaman, dengan keadaan tiga orang pada awalnya untuk empat bungkus mie, sudah terbayang pasti akan sedikit kenyang. Tapi ketika dia ikut, keadaan berubah. Porsi makan yang banyak, membuatnya makan mie lebih banyak dari yang lain. لعب قمار Lantas aku berpikir, pantas saja senior yang awalnya tadi menyuruh untuk membuat mie mengeluh ketika dia datang. Seperti pengacau datang yang bakal mengganggu keadaan, seperti itulah kiranya kesan yang dilukiskan senior pertama tadi. Mie tak berlangsung lama habis, aku hanya menyendok beberapa kali saja.

Setelah prosesi makan selesai. Seperti tradisi di pondok, secara tak resmi ada sebuah aturan yang disepakati bersama, yakni bagi-bagi pekerjaan bagi orang yang lebih muda. Setelah aku memasak dan menyiapkan mie, seharusnya yang membereskan tempat dan mencuci sendok dan piring itu adalah senior sekamar aku. Namun dia menolak, dengan berlagak akrab. Seakan mau enaknya saja. Selesai makan langsung pergi. Lalu ku teringat ketika menuangkan bumbu-bumbu mie, dia tiba-tiba mendekat sambil membantu menuang bumbu. Agar terkesan ada kerjanya. Padahal menurutku, pun aku sendiri bisa melakukannya dan pekerjaan juga sudah selesai.

Baca juga:  Indonesia Abadi! Di Langit dan Bumi

Setelah kejadian itu, kesanku bertambah antipati terhadapnya. Orang lain juga terlihat malas untuk main dan membawa sesuatu. Pertama, karena pasti kalau senior sekamarku tahu, dia pasti akan datang dan ikut menikmati, walaupun belum ditawari. Kedua, ketika makanan itu habis atau sudah selesai, dia akan langsung pergi. Tak punya etika untuk berterima kasih, setidaknya ketika tak diucapkan, rasa terima kasih itu diungkapkan dengan tindakan tahu diri, semisal membersihkan tempat atau sampah sehabis di pakai untuk makan.

Pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian ini adalah, bahwa sebaiknya menjadi orang tetaplah yang mempunyai rasa malu dan tahu diri. Tidak malas untuk melakukan pekerjaan. Dan selalu mempunyai rasa terimakasih kepada setiap orang yang telah memberi manfaat kepada kita walaupun itu kecil bentuknya. “ringan tangan, dan tidak menggenggam tangan.” Garis bawah dari semua ini adalah keluhuran akhlaq. Akhlaq yang baik akan membuat orang disukai orang lain, walaupun dia tidak pintar.

Penulis merupakan warga Nahdliyin yang beraktivitas di NU Care-LAZISNU Pusat

Related Articles

Back to top button