Akhir-akhir ini musibah diujikan pada dunia. Tidak hanya berlaku bagi satu orang saja, namun banyak orang. Tak saja menyentuh desa-desa namun juga perkotaan. Manusia di seantero dunia telah merasakan kegetiran dan kecemasan, baik secara personal maupun komunal. Tidak lagi berbicara soal regional bahkan, namun sudah menyangkut internasional.
Perihal ini, sangat mengerikan dan menjadi sebab turunnya imunitas tubuh. Maka kita (manusia yang berakal) tentu perlu untuk meningkatkan stabilitas jiwa-raga. Menata iman untuk menyikapi pandemi COVID-19 yang kian bergulir kencang pada beberapa tahun terakhir. Tentu ujian ini sangat berat bagi kita. Namun bagaimanapun juga kita wajib optimis!
Pandemi COVID-19 merupakan bukti bahwa kita adalah makhluk lemah, hanya Allah yang Maha Kuat. Menunjukkan kita butuh perlindungan pada Dzat Maha Pelindung. Kepasrahan adalah tanda kita tidak bisa berbuat apa-apa. Sehingga ikhtiar adalah kemampuan yang perlu diapresiasi, dimana titik akhirnya kembali pada takdir.
Musibah adalah tanda agar kita waspada dan mawas diri. Tuhan membuktikan kuasa-Nya, hanya dengan sebutir debu barangkali yang dikirimkan kepada kita melalui virus bernama corona. Banyak manusia sudah bergelimpangan, bersembunyi, frustasi, menyalahkan satu sama lain. Lantas apa yang kita sombongkan selama ini?
Terhadap virus kita boleh juga percaya karena hal itu adalah abstrak adanya. Kenapa percaya! Karena terhadap tensi darah pun kita percaya. Jikalau darah sedang normal atau bahkan mengalami tekanan darah tinggi, perihal ini sedikit banyak juga abstrak. Perlu memang kita percaya pada hal-hal yang abstrak. Karena Allah berfirman dengan kalam-Nya yang agung, “Yaitu mereka yang beriman pada yang gaib“.(al-Baqarah:3).
Virus adalah makhluk gaib yang tidak dapat dilihat oleh mata sebagai salah-satu indera penglihatan. Tapi kita bisa menggunakan indera perasa. Yang berfungsi merasa ketika badan mulai sakit dengan segala bentuk dampaknya, seakan terlunta-lunta.
Dengan wabah yang kita hadapi saat ini, maka kita secara bersama-sama menghadapinya dan tidak boleh terlalu takut. Walaupun resiko dicap sebagai orang yang tidak percaya takdir, akan menggema. Namun dengan keberanian yang ada, kita tidak boleh sombong dan jumawa. Karena dapat berakibat fatal dianggap sebagai orang yang angkuh bin takabur.
Selain kita berupaya dalam bentuk ikhtiar, untuk mengurangi rasa stres, dan rasa frustasi. Dianjurkan untuk senantiasa berdoa, karena doa adalah senjata orang mukmin.Disamping doa yang istiqomah perlu kiranya untuk kita bersodaqoh semampunya, misal dengan cara sodaqoh (arebbha) apem dan ketupat yang mulai dilakukan oleh orang-orang desa bahkan juga orang-orang kota. Dalam upaya menyingkirkan musibah, karena dapat dipahami bersama bahwa sodaqoh mampu menghilangkan beban kebatinan.
Tradisi ritual semacam ini perlu tetap dilestarikan sebagai penghargaan atas peran para leluhur kita. Karena manusia yang baik, adalah mereka yang mempertahankan tradisi yang bermanfaat serta selalu berbuat baik.
Oleh karenanya, adanya apem (sarapi) kata orang madura yang punya asal kata “syarafi” yang dalam bahasa arab berafiliasi pada kata “syarifun” yang memiliki arti mulia. Sedangkan ketupat mempunyai keluasan makna secara filosofi yaitu mengikat, artinya kita harus mempererat ukhuwah insaniyah (hubungan baik dengan semua manusia).
Maka, bentuk dari adanya kegiatan ‘slametan‘ apem dan ketupat, jelas akan memperkuat persaudaraan antar umat beragama secara universal dan menempatkan manusia pada sisi kemanusiaannya, syukur-syukur memudahkan jalan mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT.
Sehingga ritual yang telah dilakukan oleh sebagian banyak umat manusia, jadi ibadah dan pahala untuk mampu menolak bala yang sedang melanda dunia. Wallahu Alam Bishawab.
NB; Penulis Adalah Pimpinan Ranting Ansor Bancamara-Dungkek, Sumenep, Jawa Timur.