Katanya tengah malam adalah saat yang tepat untuk menulis atau belajar, karena tengah malam sudah mulai sepi dan sunyi. Memang keadaan di tengah malam sangat sepi dan sunyi. Lalu penulis mencoba untuk mempraktekkan. Apalagi ketika kita hidup di kampung, ketika sudah masuk pukul 21.00 rumah warga sudah ditutup dan lampu sudah dimatikan. Karena jam 21.00 terhitung sudah larut. Tapi beda kenyataannya ketika penulis hidup di Ciputat. Jam 21.00 adalah saat yang tepat untuk keluar kost, untuk cari makan cemilan dan aktivitias, walaupun sebenarnya jam segitu sudah mulai tutup toko-toko. Tapi tentu saja, ciputat masih saja bisa ditemukan pojok-pojok tempat nongkrong dan nyari makan. Misal di Sahabat Kopi Kampung Utan, tempat tongkrongan mahasiswa dan mungkin pegawai yang pulang kerja, atau muda-mudi SMA yang biasa bermain sampai larut malam.
Saat ini, penulis sedang mengisi waktu liburan untuk pulang ke kampung halaman, liburan ini tidak seperti kebanyakan mahasiswa berduit yang mungkin jalan-jalan ke Malang atau Jogja untuk menikmati keindahan alam dan mencicipi kuliner murah. Tentu saja, liburan ini penulis lakukan untuk menjenguk keadaan orang tua dan keluarga di kampung, dengan segala keluh kesahnya yang banyak berhubungan dengan ekonomi dan kesulitan hidup.
Jika dipikir-pikir hidup dikampung itu sebenarnya simple, begitupun orang-orangnya (orang kampung). Mereka hanya hidup dari tanaman yang mereka tanam. Atau mereka mengkonsumsi makanan dari pasar yang diambil juga dari petani mereka. Hingga sesederhananya mereka, mereka menggunakan bahan-bahan bersandang papan hanya dari buatan asli mereka. Welit (daun sagu) misalnya, adalah hasil karya orang kampung yang dibuat untuk menutup bangunan sebagai genting bila di jaman sekarang diumpamakan. Gedek (dinding anyaman dari bambu), mereka gunakan untuk dinding rumah mereka, mungkin bisa dianggap gubuk bila dilihat sekarang. Berlantai tanah merah. Begitu damai hidup dikampung, tak menemui permasalahan korupsi, hiruk pikuk polusi.
Ah, kampung. Selalu ada tempat untuk penulis ceritakan. Ketika kemarin turun dari Stasiun Poncol Semarang. Cuaca di semua tempat rata-rata mendung, hujan atau hanya gerimis, sepeti ketika penulis menanti datangnya bus ke arah Terminal Terboyo. Pagi hari yang sejuk, dengan melihat-lihat genangan air di jalan-jalan Kota Lama yang beberapa tahun terakhir selalu begitu. Dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, kiri-kanan jalan mulai dari jalan lingkar Demak hingga Pati, penulis dapati pemandangan hijau yang luas menghampar. Denger-denger, pulau Jawa dijuluki lumbung padi, apakah benar seperti itu. Memang hijau ini jarang ditemui di Jakarta, karena hijau ini dirampas dengan beton-beton bertumpuk dan cor-coran yang membentang menggantikan tanah sebagai pijakan kaki kehidupan. Pantas saja, penyimpanan air didalam tanah di kota-kota besar menipis dan sudah pasti terkuras habis tak terbarui, karena air hujan yang jatuh dari langit tak meresap ke dalam tanah kok. Air hujan dihadang lajunya untuk meresap mengisi tangki-tangki air didalam tanah.
Beda dengan dikampung, bersyukur sekali pembangunan tak segera merambah perkampungan. Pun juga pemerintah daerah tak terlalu pintar mengelola aset daerah, makanya kota kecil tetaplah kota kecil yang tak payu untuk dilirik investasi bisnis. Bagi penulis, hal ini tetaplah menjadi rasa syukur tak terkira. Sebab kemana lagi nantinya jika orang kota, yang sering melihat gedung tinggi dan bangunan dimana-mana, ketika pulang ke kampung mereka juga menemui hal yang serupa di kampung. Bah apa jadinya nanti kalau begitu. Padahal pulang kampung bagi warga kota adalah momen untuk melepas penat, kepadatan dan hiruk-pikuk kota, melihat sawah, menanam padi, mencabut jagung di ladang misalnya, itu sudah menjadi hiburan luar biasa lho bagi warga kota.
Namun, ini kenyataan yang tersembunyi, warga kampung sekarang sedikit-sedikit duit atau materialis. Ketika ada anak kampung yang merantau ke kota, entah mau kerja atau menimba ilmu. Mereka hanya melihat dari apa yang mereka naiki atau peroleh, misalkan naik kendaraan apa setelah pulang dari merantau. Nah kalau yang merantau ini kerja, ya jelas tidak masalah kalau ditanya dapat apa dari merantau, mereka pasti bawa uang atau ada barang baru-lah ketika pulang dari merantau. Nah, kalau yang ditanya ini hanya kuliah atau menimba ilmu di kota, ini yang apes. Mereka pasti gelagapan ketika pulang ke kampung. Sudah dapat apa saja dari kota ?? kalau pulang kok nggak pernah bawa oleh-oleh ??. lha ini, pertanyaan seperti ini yang kadang membuat kalangan perantau yang hanya belajar jadi puyeng. Lha mereka kira, kita yang sekolah merantau jauh itu kerja’ e. Hal kedua inilah yang sering penulis alami, lebih-lebih ketika bilang kepada orang tua kalau mau pulang kampung. Sanak saudara pasti sms, sebelum penulis pulang sudah banyak pesanan dari mereka.
Kenyataan dikampung selanjutnya adalah, karena masyarakat dikampung rata-rata bekerja sebagai petani, maka rata-rata para orang tua memotivasi anak mereka agar bernasib baik tidak seperti mereka. Nah disini yang penulis rasa keliru, misalkan profesi nelayan atau petani, apakah kedua profesi ini tampak suram atau tidak sejahtera. Kenapa orang tua yang berprofesi petani berharap anaknya agar tidak menjadi petani seperti orang tuanya atau nelayan seperti orang tuanya. Apa ada yang salah dengan profesi ini. Penulis rasa jika petani dan nelayan sudah tidak ada regenerasi, pasti ini akan menjadi bencana. Istilah lumbung padi diatas akhirnya benar-benar dipertanyakan kembali. Bolehlah petani anaknya tetap menjadi petani begitupun dengan nelayan. Tapi tentu saja menjadi petani dan nelayan yang mengikuti jaman dan memahami keadaan. Bila kebutuhan meningkat bagaimana caranya untuk memenuhi dan bila keinginan berkurang maka bagaimana mereka ini untuk mengakali.
Satu lagi keadaan dikampung yang sekarang mungkin menjadi budaya, namun benar-benar penulis sedihkan. Budaya merantau yang marak terjadi dikampung sekarang memang sudah tak asing lagi. Pemuda-pemudi desa pergi keluar kota, keluar pulau, atau sampai keluar negeri. Motifnya bermacam-macam, ada yang sekolah, ada yang ingin mengubah nasib dll. Nah disini penulis ingin menyoroti masyarakat yang keluar dari kampung untuk mengubah nasib. Mengubah nasib memanglah bagus dan dianjurkan, apalagi mengubah dari keterpurukan kearah yang lebih sejahtera. Namun, kenyataan yang terjadi kebanyakan sekarang adalah ketika warga kampung ini merantau dan pulang lagi ke kampung, mereka ini mulai menjadi ekslusif. Mulai mengadopsi model kehidupan kota atau kehidupan tempat perantauan mereka dan diterapkan dikampung. Masyarakat yang dulunya sering kongkow, kumpul-kumpul ngobrol ngalor-ngidul, sekarang sudah tak mau lagi seperti itu. Padahal budaya kumpul masyarakat kampung ini menjadi model sosial yang ramah dan ciri masyarakat guyub-rukun satu sama lain dan saling menjaga. Keadaan yang biasanya tetangga menjaga tetangga yang lain sudah mulai luntur dan hilang. Hidup sendiri-sendiri menjadi marak sekarang di masyarakat kampung. Ketika terjadi pencurian, tetangga sebelah rumahnya tak tahu karena memang sudah tak pernah serawung atau bercakap-cakap lagi dengan tetangga samping kanan-kiri rumah. Inilah yang menjadi penyakit masyarakat kampung yang sedang dialami. Lambat laun kebudayaan luhur nenek moyang juga akan hilang. Apalagi melihat anak mudanya sekarang yang malah menganggap budayanya tidak keren dan kuno dibandingkan budaya impor negara lain, atau malah yang lebih konyol lagi agama ikut campur melabeli budaya khas daerah, ini kenyataan-kenyataan yang terbentuk dimasyarakat kita sekarang.
Sebelum penulis akhiri, penulis ingin menceritakan kenyataan di masyarakat kampung sekarang. Di kampung-kampung yang warganya kebanyakan merantau, coba kita periksa di setiap rumah. Kita tidak bisa menemukan keluarga yang lengkap, semisal ayah, ibu dan anak. Pasti akan kita temui rata-rata hanya ada anak dan ibu, jika yang merantau adalah ayahnya. Atau hanya ayah dan anaknya saja, jika ibunya yang merantau. Atau malah hanya ada anak dan seorang nenek dirumah, jika ayah dan ibunya pergi merantau. Kalian bisa bayangkan keluarga seperti ini, apakah bisa dianggap sehat?!. Tentu ini tidak sehat, karena setiap orang tua mempunyai peran dan tugasnya masing-masing yang tak bisa digantikan perannya jika yang satunya tidak ada. Ayah tidak bisa menggantikan posisi ibu, sebaik apapun sang ayah berusaha menggantikan posisi ibu, anak tetap tak mendapat kasih sayang seperti yang ibu berikan. Begitupun sebaliknya.
Kejadian yang lebih konyol lagi adalah ketika sang ayah pergi merantau dan istrinya melahirkan, sang ayah baru bisa pulang kampung beberapa tahun setelah anaknya tumbuh besar. Ketika ayahnya mendekati anaknya yang sedang bermain, anaknya tiba-tiba takut dan menangis melihat ayahnya yang dianggapnya orang asing. Kalau seperti ini, siapa yang akan disalahkan. Atau yang lebih tragis lagi, ketika sang suami pergi merantau bertahun-tahun dan hanya bisa mengirim uang kepada istrinya dikampung, suatu saat sang istri ingin mendapatkan nafkah batin. Bagaimana sang istri ingin memenuhi keinginannya tersebut, sementara ia dirumah sendirian tak ada suami. Bukankah hal ini akan menjadi mudah untuk sang istri melakukan perselingkuhan. Tiba-tiba suami pulang kampung, istrinya sudah menggendong anak. Anak siapakah itu?!.
Mungkin inilah sedikit cerita dari penulis, tentang kenyataan hidup dikampung yang memang sudah berubah beberapa dekade terakhir. Mungkin banyak hal yang terlewat dan tak selalu seperti yang penulis ceritakan. Dengan perbedaan tempat dan budaya.
Penulis merupakan warga Nahdliyin yang beraktivitas di NU Care-LAZISNU Pusat