Fenomena semesta kian merajalela membungkam keluh dan kesah. Rambu-rambu kehidupan kini mulai ditampakkan, siapa yang benar-benar saleh dan sebatas kata-kata.
Kebisingan terus mengusik peradaban manusia, moral pun mulai tidak lagi menjadi hal istimewa. Lantaran identitas kepribadian
menyusun fitnah dan tuduhan-tuduhan murahan lainnya.
Sebenarnya bukan hal tabu dan tak perlu kaget lagi ketika ulama-ulama NU (Nahdlatul Ulama) selalu diserang, dicaci-maki, di hina dan sebagainya. Karena tujuan utama NU didirikan sebagai benteng perlawanan, dari dulu sampai sekarang dari serangan ideologi kaum wahabi dan teman-temannya.
Namun, tak perlu khawatir dengan ke keramatan NU, karena telah banyak catatan sejarah membuktikan setiap penyerang NU dan kiai NU kehilangan taringnya. Lambat atau cepat akan menuai getah kedzaliman yang diperbuat.
Mengingat serangan yang selalu digulirkan akhir-akhir ini dari polemik toa terhadap warga Nahdliyin, peristiwa kecil pun di gelembungkan apa lagi hal besar, tentu akan menjalar ke seantero jagat.
Maka ditengah arus digitalisasi ini, santri harus pandai memilah dan menjaga komitmen untuk tidak mudah menerima hasutan yang cenderung provokatif.
Faktanya, dunia Maya saat ini adalah pintu masuk dalam mempermudah akses informasi dari yang pro hingga yang kontra. Oleh karenanya, semakin mudah pula sebagai bahan propaganda yang seakan kebenaran adalah milik media sosial. Yang kemudian, orang lebih banyak mengkritik dari pada membaca dan berfikir otentik.
Bukti nyata, ada yang demo sembari salat atau salat sambil demo. Yang seolah-olah bagi mereka (pendemo) ibadah adalah lelucon semata dan mulai meniadakan kesakralan salat.
Sementara salat adalah komunikasi seorang hamba dengan Allah. Bukan semata-mata pamer dan menjadi bumbu dalam demonstrasi.
Bahkan sekelas oknum MUI (Majelis Ulama Indonesia) ikut andil menuntut keadilan Kemenag (Kementrian Agama) yakni Gus Yaqut, sapaan akrab Yaqut Cholil Qoumas untuk dicopot dari posisinya di Kementrian.
Dengan kuasa Allah, yang katanya ulama dari MUI itu, Dr. Bareno yang ikut serta dalam demonstrasi telah ditampakkan wujud kesalehannya Oleh Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, serban bukan ukuran seseorang itu baik, bisa jadi sebatas kepongahan.
Seperti yang dihembuskan oleh Kiai Abdullah Faisol bahwasanya, “Jubahmu dan serbanmu ternyata tidak menjamin kesalehanmu”.
Berdasarkan ungkapan di atas, Tuhan membuka kedok kebobrokan mereka menjadi cacatan merah sebagai pengacau kedamaian, sedangkan kita tahu perdamaian harus diperjuangkan.
Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa menjaga perdamaian adalah bagian dari kesalehan. Allahu a’lam bis showab.
#Penulis adalah ketua PR. Ansor Bancamara Gili Iyang Dungkek – Sumenep.