Opini

Syair Cinta Sufistik Rabi’ah al-Adawiyah

Oleh : Syahuri Arsyi

Tak diragukan lagi, kecantikan dan keanggunan serta suara yang penuh kemerduan, akan membuat siapa pun yang mendengarnya akan terlena dan terbuai. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu memiliki arti dan makna terpendam. Setiap kalimat demi kalimat yang keluar bagaikan metafor-metafor beresonansi begitu indah tanpa bayang dan angan.

Kisah cintanya sampai pada kita, tak seperti kisah cinta roman picisan, layaknya kisah cinta Romeo dan Juliet, Caleopatra dan Raja-Raja Mesir Kuno, Yusuf dan Zulaikha, Rama dan Sinta, kisah cinta Rangga dan Cinta, kisah cinta Dilan dan Milea, maupun kisah-kisah cinta lainnya.

Tetapi berbeda dengan sosok perempuan satu ini. Ia menjadi satu-satunya perempuan yang dilabeli sufi perempuan sepanjang sejarah sufisme Islam. Kita tahu perempuan itu bernama Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan, teolog, penyair dan ahli dalam keilmuan lainnya. Karya terbesarnya adalah mahabbah hanya diperuntukkan kepada Tuhan semata. Konsep ini, sebagaimana dikatakan Fahruddin Faiz beberapa waktu lalu pada gelaran Ngaji Filsafat Cinta Rabi’ah al-Adawiyah merupakan trendgenre baru dalam maqam sufisme Islam kala itu.

Lahir dengan nama Rabi’ah binti Islamil bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib di Basrah. Ada riwayat yang mengatakan nama lengkapnya Ummi al-Khair bin Ismail al-Adawiyah. Tak ada bukti benar-benar auntentik mengenai tahun kelahirannya. Sejarah turut menjelaskan hal-hal mesterius terkait tahun kelahirannya antara tahun 95 dan 99 H atau 713 atau 717 M.

Sejak kecil Rabi’ah sudah dikenal salihah, dan sudah hafal Al-Quran. Dari berumur 10 tahun serta pekerja keras untuk mencari nahkah untuk bertahan hidup. Dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah: Perjalanan dan Cinta Wanita Sufi (2019) karya Azeez Naviel Malakian, keluarganya dinarasikan sebagai keluarga sangat miskin. Bahkan ketika menyambut kelahiran Rabi’ah, orang tuanya tak memiliki minyak (lampu) sehingga rumah gelap-gulita.

Baca juga:  Selamat Jalan Sang Visioner Muda dan Penuh Loyalitas Sahabat Amir

Rabi’ah manjadi anak yatim piatu tak mewaris harta benda dari kedua orang tuanya. Masa remajanya dijalani sebagai seorang budak pada keluarga kaum Mawali al-Atik dari suku Qais. Meskipun menjadi budak, hidupnya dijalani dengan penuh cinta hingga akhirnya merdeka.

Buku terjemahan berjudul Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah (1999) karya Widad el-Sakkaini menjelaskan, suatu malam, tuannya terbangun dan mendengar keluh-kesah serta rintihan Rabi’ah. Dari celah-celah kamar, ia mengintip untuk mengetahui yang dilakukan oleh Rabi’ah dan ia melihat cahaya di seluruh isi kamarnya. Melihat kejadian itu, tuannya merasa malu dan akhirnya Rabi’ah dibebaskan pada esok harinya.

Setelah merdeka, perjalanan sufistik Rabi’ah dimulai dengan cara bernyanyi dan bermain seruling dan mengungkapkan kecintaannya pada Tuhan melalui syair cinta.

Rabi’ah sendiri tak merumuskan teori tentang cinta, sebagaiman teori cinta saat ini. Para ulama dan kaum sufi mengutip syair-syair dan kalimat-kalimat Rabi’ah. Dari sinilah lahir teori-teori dan konsep yang secara umum dikonotasikan mahabbah Rabi’ah.

Misalnya dalam syair berikut, Rabi’ah mengatakan, “Aku mencintai-Mu dengan dua macam cinta // Cinta rindu dan cinta karena Engkau layak dicinta // Dengan cinta rindu // Kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu // dan bukan selain-Mu // Sedangkan cinta karena Engkau layak dicinta // di sanalah Engkau menyingkap hijab-Mu // agar aku dapat memandangmu // Namun tak ada pujian dalam ini atau itu // Segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

Dari syair di atas, kita tahu bahwa sebenarnya konsep cinta Rabi’ah secara terminologi merujuk pada konsep cinta sejati (al-Hubb al-Haqiqi) dan cinta profan (al-Hubb al-Danasi). Istilah pertama sering kali dipergunakan untuk mengekspresikan rasa cinta pada Tuhan. Sedangkan istilah yang kedua dipergunakan untuk selain Tuhan.

Baca juga:  Kelangkaan Solar, Hingga Akhir Tahun?

Pada suatu ketika Rabi’ah ditanya perihal cinta. Ia menjawab, “Sulit menjelaskan apa hakikat cinta itu. Ia hanya memperlihatkan kerinduan gambaran perasaan. Hanya orang yang merasakannya yang dapat mengetahuinya. Bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan sesuatu yang engkau sendiri bagai telah hilang dari hadapan-Nya, walaupun wujudmu masih ada karena hatimu yang gembira telah membuat lidahmu bungkam.”

Demikian halnya ketika ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai rasul?”. Ia hanya menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”

Pujian-pujian Rabi’ah kepada Tuhan terekam dalam buku Mahabbah Cinta (2017) karya Asfar dan Otto Sukatno, yang memperlihatkan betapa dalam cinta Rabi’ah kepada Ilahi.

Kekasihku tak ada yang menandingi-Nya

Hatiku hanya bercurah padanya

Kekasihku tidak tampak padaku,

Namun dalam hatiku tak pernah sirna.

O, kekasihku

Tak ada yang kuharapkan selain-Mu

Limpahkan rahmat-Mu pada orang yang datang menghadap-Mu

O, harapan, ketenteraman, dan kebahagian hati hanya pada-Mu juga

Syair lain Rabi’ah juga menjelaskan kepada kita betapa ia sangat cinta dan merindukan Tuhan,

O, kegemberian, tujuan dan harapanku, engkau sangat hatiku

Engkau telah memberikan kebahagian padaku

Kerinduan pada-Mu, merupakan bekalku

Kalau bukan karena mencari-Mu, tak kujalajahi negeri-negeri yang luas ini

Betapa banyaknya limpahan nikmat karunia-Mu

Cinta pada-Mu tujuan hidupku

Konsep cinta Rabi’ah al-Adawiyah ini bisa dikatakan suatu konsep cinta yang sangat ekstrem atau bahkan radikal untuk ukuran kita saat ini. Walaupun demikian, paling tidak Rabi’ah telah mengajari kita, pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta kata Rabi’ah tadi, bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya.

Baca juga:  TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM PADA PEMILU 2024

Kedua, Rabi’ah mengajari kita bahwa cinta harus langsung ditunjukkan kepada Tuhan dengan mengesampingkan hal lainnya, termasuk memutuskan diri tak menikah dengan menolak lamaran Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir Abbasiyah di Basrah serta menolak lamaran Hasan al-Basri (w. 110 H).

Pada akhirnya, pendefinisian cinta antara seorang sufi dan non-sufi lebih didasarkan pada pengalaman spiritualitas yang dialami oleh masing-masing individu dalam menempuh perjalanan ruhani kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah al-Adawiyah adalah cinta spiritual, bukan cinta nafsu atau cinta lainnya seperti orang biasa pada umumnya. Begitu.

Penulis merupakan Mahasiswa dan Penikmat Ngaji Filsafat Virtual

Related Articles

Back to top button