arusmahakam.co, Samarinda – Penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak membutuhkan biaya yang bisa dibilang tidak murah. Bahkan butuh biaya tambahan. Hal itu diungkap Analis Kebijakan Sub Koordinator Perlindungan Perempuan Dinas Kependudukan dan Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3) Fachmi Rozano.
“Ada yang bilang anggaran itu masalah klise. Saya tersinggung kalau ada yang bilang begitu,” tegasnya.
Pasalnya kata Fachmi, biaya pengobatan untuk korban kekerasan tehadap perempuan dan anak tidak ditanggung oleh BPJS. Ia pun mencontokan beberapa kasus yang pernah ditangani namun biaya pengobatannya tidak bisa ditanggung BPJS. Semisal pada 2020 silam, ada kasus seorang perempuan yang ditusuk oleh suaminya. Kondisinya saat itu harus angkat ginjal karena terluka berat. Nahasnya, biaya untuk operasi tidak ditanggung oleh BPJS.
“Kami kalang kabut cari biaya pengobatannya dari mana,” ungkapnya.
Bahkan, pihaknya pun tidak bisa menanggung biaya pengobatan lantaran tidak ada anggaran untuk itu.
“Makanya kalau ada yang bilang anggaran untuk korban kekerasan itu klise, saya tidak setuju. Karena untuk tangani korban ini kita perlu anggaran, saya marah kalau dibilang anggaran itu persoalan sekian,” tambahnya.
Fachmi pun menyebut mengatasi persoalan seperti ini harus disikapi secara bijak. Harus memandangnya dari sudut pandang korban. Karena itu kebijakan semua pihak diperlukan. Beruntung saat itu si korban mendapat pelayanan gratis di RSUD IA Moeis, Samarinda. Kala itu, Syaharie Jaang masih menjabat sebagai Wali Kota Samarinda. Setelah bertemu langsung dengan Jaang, akhirnya biaya pengobatannya pun diringankan.
“Kami sampai ke Dinkes samarinda, ujung-ujungnya ke Pak Jaang, untungnya beliau setuju untuk diringankan biayanya. Jadi anggaran itu hal yang besar bagi kami karna BPJS tidak menanggung itu,” tukasnya.
“Itu baru satu korban, bayangkan masih ada korban-korban lain di luar sana yang berharap pertolongan seperti itu,” pungkasnya. (adv/bos/DKP3A)