TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM PADA PEMILU 2024

Oleh: Muhammad Sulaiman

Pemilu secara serentak sudah hampir pasti akan digelar pada tahun 2024. Dasar penyelenggaraan pemilu dan pilkada sejauh ini belum ada perubahan, yakni tetap menggunakan UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

KPU, Bawaslu, dan DKKP sudah harus menyiapkan langkah-langkah berupa persiapan menyambut tahapan pesta demokrasi tersebut.

Sebagai fokus utama pembahasan dalam tulisan ini adalah Bawaslu, sebagai salah satu lembaga penyelanggara pemilu yang memiliki tiga fungsi yakni pencegahan, pengawasan, dan penanganan pelanggaran serta penyelesaian sengketa, Bawaslu sudah harus melakukan pemetaan awal terhadap potensi yang bisa menjadi hambatan dan tantangan Pemilu Serentak 2024, terutama dalam penegakan hukum pemilu.

Dari beberapa pengalaman pemilu sebelumnya setidaknya sudah bisa dipetakan beberapa tantangan penegakan hukum yang berpotensi terjadi padai proses penyelenggaraan pemilu serentak tersebut.

Yang pertama, tantangan regulasi. Jika melihat UU 7 tahun 2017 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2019 dan kemungkinan masih tetap digunakan pada Pemilu 2024.

Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa norma yang sulit untuk diterapkan dan ditegakkan. Misalnya dalam penegakan hukum politik uang yang diatur dalam beberapa pasal UU 7/2017 yakni pasal 278 ayat (2), pasal 280 (1) huruf j, pasal 284 dan pasal 515 serta ketentuan pidana diatur dalam pasal 532 ayat (1), (2), dan (3).

Pasal di atas memilki kelemahan, yakni penegakan hanya terbatas pada subyek pelaksana, peserta, dan tim kampanye. Pembatasan subyek ini dapat dijadikan celah bagi calon yang ingin meraih kekuasaan dengan cara jalan pintas dalam pemilu.

Contoh kongkrit yang biasa terjadi adalah terjadinya money politik yang dilakukan oleh relawan atau tim calon legislative. Pelaksana penegak hukum terpadu (Gakkumdu) akan kesulitan menggunakan atau menerapkan ketentuan pidana di pasal 523 ayat (1) dan (2) karena unsur subyek yakni tim relawan yang melakukan kejahatan tersebut tidak terdaftar di KPU.

Kemudian ada kelemahan dari sisi regulasi seperti tindak pidana bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di pemilu yang sangat berbeda dalam UU 10/2016 tentang Pilkada. Padahal potensi ASN cawe – cawe dalam Pilkada sangat besar.

Terutama ASN yang memiliki jabatan tinggi dalam mengamankan posisi untuk mendukung salah satu calon pilkada dengan mengerahkan masa bawahannya dalam menentukan pilihan yang menguntungkan Pejabat ASN tersebut.

Selanjutnya adalah tidak efektifnya Gakkumdu, hal ini terjadi disebabkan oleh kurang fokusnya penyidik kepolisian dan jaksa yang ditugaskan di Gakkumdu. Sebab, pada saat yang sama penyidik tersebut masih memiliki tanggungjawab yang harus tunaikan di institusinya masing-masing untuk menangani perkara di luar kasus pemilu.

Sementara itu dalam penanganan tindak pidana pemilu, penanganan tersebut sangat dibatasi dengan waktu paling lama 7 (tujuh) hari dan ketika masih membutuhkan keterangan tambahan dan kajian dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah temuan dan laporan diterima dan diregistrasi.

Seharusnya penyidik dan jaksa yang ditugaskan di Gakkumdu dapat dibebaskan dari tugas lainnya dan tercantum dalam kesepakatan bersama Bawaslu, Polisi dan Kejaksaan. Agar kedepannya Gakkumdu dapat fokus dalam penanganan tindak pidana pemilu.

Terakhir adanya budaya hukum merupakan salah satu faktor berpengaruh dalam penegakan hukum pemilu. Budaya hukum pada penyelenggaran pemilu berkaitan dengan rasa malu dan rasa bersalah ketika melakukan politik uang.

Jika praktik politik uang oleh masyarakat dinilai sebagai hal yang wajar hingga membudaya dalam pemilu, apatis dan tidak menerima aturan serta membiarkan praktik politik uang itu terjadi. Maka sebaik apapun aturan yang telah ditetapkan dan sekuat apapun aparat penegak hukum yang tergabung di Gakkumdu, maka tetap sulit untuk menerapkan aturan hukum pemilu tersebut.

Untuk itu menyambut Pemilu Serentak 2024 sudah seharusnya semua elemen penting dalam pemilu untuk meningkatkan pendidikan politik di masyarakat.

*Penulis Merupakan Pemerhati Kebijakan Publik