Tas Lukis Purun Melati

Arusmahakam.co, Banjarbaru, Kalsel – Perempuan pada masa lalu, identik sebagai subjek dari sebuah karya seni. Ketika perempuan berposisi sebagai objek seni, maka kecenderungan mereka selalu berada pada deretan paling belakang. Kesenian bahkan amat sangat maskulin, namun zaman terus bergerak dimana kesetaraan perlahan merobohkan dinding-dinding seni atas nama kesakralan, keindahan, dan hak prerogatifnya.

Seni itu sendiri dalam pandangan masyarakat luas, sering dianggap sebuah perihal yang tak bisa memenuhi kebutuhan primer manusia. Ia menjadi begitu hangat dan melelahkan pikiran-pikiran yang bersandar pada mesin, bak kesatuan besi dan baja dalam pabrik atas nama mengejar profit.

Pemeo itu juga menimpa pada sosok wanita cantik bernama Melati Yusuf, S.Psi. Usai menamatkan pendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU), maksud hatinya memanggil untuk dapat melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Tetapi karena pertimbangan orang tua, yang terjerembab pemahaman seragam penduduk Indonesia. Dimana pada masa itu muncul pertanyaan utama “Lulusan seni bisa jadi apa?”

“Kisahnya panjang jika diceritakan secara detail, intinya orang tua beranggapan bisa apa lulusan seni. Agar tetap dapat melanjutkan pendidikan, maka kemudian saya berbelok menuju Fakultas Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Walau bakat seni bukan hanya miliknya saya sendiri, Mama kecenderungannya pada seni kriya dan untuk melukis ada pada Paman ,” ujarnya sembari tertawa lebar mengenang masa itu.

Ditengah kewajibannya menyelesaikan studi, aktivitas melukisnya terus berjalan. Sejak 2003 lalu Melati menyempatkan diri mempertajam kemampuannya melukis. Bahkan pada 2019, ia telah menjadikan tas purun sebagai media lukisnya.

“Sebelum tas lukis purun, sudah sering saya menjadikan tas kanvas, sepatu dan lain-lain bahan menjadi media lukis. Pada suatu hari, ada teman kuliah meminta untuk dibuatkan gambar pada tas purun miliknya. Tentu merupakan sebuah tantangan, mengingat tas purun sebagai media lukis memiliki perbedaan dibandingkan menggunakan tas atau sepatu berbahan kain. Tekstur tas purun tidak rata dan lebih sulit untuk diaplikasikan menjadi bahan lukisan,” terangnya.

Seni yang mengasyikan itu benar-benar membuat Melati menunjukkan perlawanan yang didukung semesta. Peruntungan hidupnya tak jauh dari karya seni, termasuk seni melukis di tas purun. Bahkan ia pernah mendapatkan pesanan hingga 100 pcs tas lukis purun, yang dikerjakan dalam waktu 14 hari atau dua minggu.

Jika pesanan banyak, dirinya meminta bantuan pada teman dan adiknya untuk mewarnai, namun untuk gambar tetap ditanganinya sendiri. Dengan kisaran harga jual tas lukis purun dari Rp. 75.000 hingga Rp. 350.000 per pcs, tergantung ukuran tas dan lukisannya.

“Alhamdulillah, minat tas purun lukis ternyata sangat digemari. Mulai dari kalangan remaja hingga ibu-ibu. Awal mulanya memang peminat tas purun lukis amat sedikit, terbatas pada penggunaanya sebagai tas belanja dan pot tanaman semata. Tapi semenjak saya bikin tas lukis purun, sekarang malah banyak banyak customer yang memakainya, untuk pergi ke undangan, jalan-jalan di pusat perbelanjaan, hingga digunakaan saat pergi berdarmawisata,” ungkapnya bangga.

Melati mengikuti pameran lukis pertama kali pada lingkungan pelukis komunitas di kampus UMM, tepatnya bersama-sama dengan kawannya yang tergabung di UKM Seni Rupa Lentera. Selain itu ia juga mengikuti pameran lukis di Taman Budaya Kalimantan Selatan “Hulu Ke Hilir” pada 2019. Ia mengikuti pula kegiatan Akbar IPI (Ikatan Pelukis Indonesia) di Blitar, Jawa Timur pada 2020. Selanjutnya pada Pameran Bersama IPKS “Topeng” 2021 di Taman Budaya KalSel, serta Pameran Nasional Virtual “Perempuan Seni dan Pandemi” pada tahun 2021.

Kembali berbicara mengenai wawasan seni dan perempuan sebagai objek. Melati menilai dengan semakin sering dilakukannya seminar atau dialog, mengenai seni rupa terutama seni lukis. Seniman perempuan terus bermunculan dengan karya-karya luar biasa. Walau memang secara jumlah, seniman pria lebih banyak dibandingkan seniman perempuan.

“Tapi ini justru bukan kendala sama sekali. Karena dalam berkesenian, saya tidak menemukan permasalahan berarti perihal gender itu sendiri. Setiap seniman memiliki gaya dan ciri khasnya masing-masing, itulah yang membuat seniman tetap spesial dengan karyanya,” ungkap Melati.

Menjadi perempuan yang seniman, tidak membuatnya malu atau merasa berbeda dengan perihal gender. Yang terpenting tetap aktif dalam berkomunitas dan konsisten berkarya. Konsisten berkarya itulah yang sangat-sangat penting.

Ia teringat pada masa dimana dirinya lama tak melukis dan memulai kembali mengikuti pameran lukisan. Seorang seniman berkata padanya, “Biasanya seniman perempuan jarang bertahan lama. Karena mereka harus berkeluarga dan mengurus rumah tangga”. Kata-kata itu sangat membekas dalam dirinya. Melati berkeyakinan jika setiap orang punya caranya sendiri dalam perihal konsisten berkesenian.

“Jadilah unik dan berbeda. Miliki style atau gaya lukisan sendiri. Dengan begitu, orang akan melirik ke dalam karya seni kita. Walau IRT, saya tetap disiplin dalam berkesenian. Usai pekerjaan rumah dan urusan dengan anak-anak beres, lantas saya mulai melukis. Waktunya fleksibel, bisa sore hari maupun malam hari,” pungkasnya.

Melati Yusuf memahami jika ilmu psikologi yang ditempuhnya saat kuliah dulu, turut membantunya untuk dapat menilai orang lain dari bentuk goresan hingga pola lukisannya. Melukis terkadang jadi media konsultasi psikologi orang-orang di sekitarnya. (Jun)