Aswaja

Tasawuf dan Kematian

Oleh : Arif Rahman Hakim

Tema kematian memang bukanlah topik yang populer disajikan ke publik. Tidak semua, tetapi banyak orang yang kurang menyukainya. Alih-alih menjadikannya sebagai bahan renungan untuk lebih bergiat beramal saleh, membayangkan saja kalau seandainya besok tiba-tiba mati, tidak sedikit yang mengingkarinya. Meski pada kenyataanya akhir-akhir ini banyak orang dikabarkan meninggal dunia secara tiba-tiba akibat pandemi.

Kematian tidak mengenal kompromi, kapan pun akan mengintai siapa saja. Kematian tidak mengenal usia, harta, pangkat jabatan. Siapa pun tidak ada yang bisa melawannya. Orang memenuhi kebutuhan fisologis atau berobat jika sakit hanyalah upaya menunda saja.

Saya rasa nyaris semua orang mempunyai rasa takut akan suatu kematian dengan sebab-sebab yang melatarinya. Saya sendiri sejak Madrasah Ibtidaiyah pernah mengalami rasa takut terhadap kematian, yaitu semenjak pengampu mata pelajaran akidah akhlak berkisah betapa mencekam dan menakutkannya proses sakaratul maut.

Kepadanya bercerita orang yang sedang sakaratul maut merasakan sakit yang luar biasa, jika diibaratkan konon seperti sakitnya binatang yang sekujur tubuh kulitnya dikelupas dalam keadaan hidup-hidup. Dan yang lebih sangat menakutkan lagi adalah pada saat nyawa diujung tanduk banyak iblis mengkerubuti sembari menawarkan pertolongan dengan menyamar atau mengaku-ngaku utusan Allah. Jika ia menerima tawaran iblis yang menyamar bak orang saleh atau mengaku-ngaku utusan Allah, ia tergolong umat yang celaka.

Terlepas gambaran pada kisah orang yang sedang menjalani sakaratul maut semacam itu, sifat kebanyakan orang memang lebih menyukai akan kesenangan, kenikmatan, dan sebaliknya. Bawaan sifat seperti ini adalah wujud keragaman yang ada pada dalam diri manusia. Meski begitu setiap orang akan menciptakan kisahnya masing-masing dalam pergulatannya yang disisi lain sebagai mahluk fisik dengan segala ketertarikannya dan mahluk ruhani yang selalu cenderung ingin melepaskan ikatan-ikatan bendawi.

Baca juga:  Kerusakan Alam di Penjuru Bumi

Di dalam forum kajian filsafat, terutama yang awal memasuki babak baru di dunia kefilsafatan, akan menemui sebuah ungkapan yang seolah bernada setengah meledek, “Kalau kamu mulai bingung itu pertanda baik, yang berarti kamu sedang memulai berfilsafat”. Atau meme yang pernah beredar di medsos, “Kalau kamu menikah dan kebetulan istrimu galak, selamat Anda telah menjadi seorang filsuf”.

Sama halnya pada perjalanan ruhani seorang salik, kita juga akan menjumpai hal yang mirip-mirip seperti di atas. Nyaris semua orang yang memasuki dunia tasawuf bukan dari orang yang tanpa masalah tetapi ia berangkat dari kegelisan batin yang mendalam.

Setiap pesalik mempunyai kisahnya sendiri-sendiri, ada yang bermula disebabkan terkena penyakit psikis dan fisik yang sulit untuk disembuhkan yang kemudian pulih sediakala setelah ia masuk tarekat dengan mengamalkan dzikir-dzikir dan tahapan-tahapan pesalik.

Ada pula karena rasa penasarannya pada dunia mistik. Pada cerita seperti ini juga kita temui dalam lembaran sejarah para wali yang berdakwah dengan menggunakan strategi pendekatan ilmu mistik.

Pada zaman kewalian saat itu keadaan masyarakatnya memang sangat lekat dengan hal-hal bermuatan mistik. Mereka yang mempunyai kehebatan dan kekeramatan lebih-lebih bisa menaklukan makhluk gaib, keberadaanya diperhitungkan di tengah masyarakat. Dalam konteks masyarakat kekinian juga tidak jauh berbeda. Alam bawah sadar masyarakat kulturnya juga masih mewarisi akan ketertarikan pada nilai-nilai mistik dan kekeramatan.

Di sisi lain orang berangkat memasuki dunia tasawuf lantaran penelusurannya dalam buku-buku kesufian yang menuturkan kisah-kisah memesona sekaligus menakjubkan. Pada kesempatan lain juga ada sebagian yang memilih jalan hidupnya dijalur tasawuf demi menyelamatkan nyawanya yang selembar dengan berguru kepada guru mursyid yang kamil mukamil khalis muhklisin, yang kepada dirinya mewarisi silsilah yang bersambung sampai kepada Rasulullah Saw.

Baca juga:  Menghidupkan Kembali PERTANU

Kenyakinan yang melekat pada diri seorang salik bahwa pada diri seorang guru yang mursyid memuat nur Muhammad yang mengambil bentuk sebagaimana yang disemayaminya, yang esksistensinya tidak bisa diserupai oleh apa pun dan siapa pun, meski iblis sekalipun. Nur Muhammad yang Nurun ala Nur ini yang akan ikut serta memberi syafaat saat menjumpai kematian dan membimbingnya saat akan memasuki alam selanjutnya.

Pada suatu kisah, ada seorang murid wali meninggal dunia yang ketika di dalam kuburnya didatangi oleh malaikat dengan penampilan garangnya, konon dengan membawa pentung sembari bertanya kepada si fulan dengan suara yang menggelegar, “Man robbuka?

Dasar yang di tanya murid wali pernah ngaji nahwu-sharaf tiba-tiba berkata, “Sebentar-sebentar malaikat, ‘man’ iku huruf opo?” (‘man’ itu huruf apa?) tanya si Fulan. Malaikat pun bingung kelimpungan. Kemudian melapor kepada Allah Swt, “Duh Gusti ini kok ada orang aneh ditanya kok malah balik bertanya, ‘man’ iku huruf opo?. Maksudnya ini bagaimana?” keluh malaikat.

Tuhan pun memberi saran, “Wahai malaikat dia adalah hambaku yang istikamah berada di barisan para kekasih-Ku. Ajaklah dia bermajelis dengan-Ku, dia ahli surga”.

Murid wali itu pun senyum-senyum, lalu malaikat yang terkesan garang tadi tiba-tiba munduk-munduk sopan, seraya berkata mesra, “Wahai ahli surga mari saya antar untuk bermajelis dengan-Nya”.

Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku” (QS Al-Fajr [89]: 27-30).

Penulis merupakan Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hobi membaca buku keislaman bercorak tasawuf

 

Related Articles

Back to top button