“Kalau sudah jadi saksi nikahnya Adikmu. Papa pasti tenang Eng. Bahkan jika harus meninggal sekalipun setelahnya, Papa pasti tenang sekali. Hingga saat ini yang aku pikirkan hanyalah adikmu,”, begitu perkataan Almarhum Papa usai akad nikahku lima tahun silam.
Ternyata perkataannya benar-benar terjadi. Tepat tengah malam pukul 24.00 Wita, pada Senin 19 Juli 2021 ia menghembuskan nafasnya, seminggu setelah pernikahan adik perempuanku.
Pernikahan yang cukup megah dikampungku, bagaimana tidak. Pada pernikahan itu, hadir Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton KH. Zuhri Zaini serta Rais Syuriah PCNU Situbondo, Jawa Timur yakni Zainul Muin Husni.
Sebatang rokok menemaniku saat mengenang Papa disaat hidupnya dulu. Beliau adalah pendidik alias guru yang begitu mencintai pekerjaannya tanpa kenal rasa lelah. Ia bahkan rela mendampingi anak-anak di SMPN 1 Banyuglugur yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler seni dan sastra.
Begitu banyak anak-anak didiknya yang saat ini menjadi pegiat seni dan kebudayaan di Situbondo. Bahkan ia selalu hadir saat mereka menjejakkan langkah awal mengikuti berbagai macam lomba. Mulai lomba sastra, festival band, pagelaran seni dan budaya, atau apa saja yang berkaitan dengan perihal yang mengarah pada kegiatan positif.
Dukungan yang juga dirasakan langsung oleh aku, kakak, hingga adikku. Ketika aku hobi main musik hingga bermain sepakbola, ia selalu hadir disisiku. Begitupun ketika antuasiasme Kakak hadir pada alat musik drum dan piano, Ia selalu mendukung.
Termasuk saat Nabila memilih masuk Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Papa tetap bersikap sama dan tidak berubah. Bahkan rasa bangganya membuncah luar biasa, saat mengetahui anak bungsunya itu dapat beasiswa di Tianjin University Tiongkok dan lulus di awal tahun 2021 ini.
Seni jadi urat nadi yang bertaut langsung dengan jiwa Papa, terwujudkan dalam karya Patung Selamat Datang di SMPN 1 Banyuglugur. Itu bahkan dikerjakannya saat diriku masih teramat kecil dan imutnya sebagai seorang anak lelaki.
Soal uang! Jangan ditanya, seringkali ia merogoh dari kantung celananya sendiri. Seperti kejadian saat Papa jadi Ketua Rukun Tetangga di Rawan Besuki, sangking nekatnya ia bahkan mendirikan klub sepakbola Garuda. durvet ivermectin label Bahkan untuk mensupport pemuda-pemuda setempat, dalam memenangkan kompetisi setingkat Kecamatan. Ia rela mendatangkan pemain profesional dari Malang.
“Kenapa Papa gunakan uang pribadi. Sudah begitu tidak izin dengan Mama?” tanyaku dengan kesal. Dengan entengnya Ia menjawab, “Nggak mengapa Eng. Yang penting seluruh warga Rawan Besuki bangga punya prestasi. Biar anak-anak mudanya nggak terlibat tindakan kriminal dan senang hal-hal positif yang membangun”. Walau dampaknya, Papa setiap hari hanya bisa pasrah diomeli Mama.
Namun tak cukup sampai disitu. Sebagai Ketua RT, ia menggawangi akan berdirinya Pondok Pesantren Miftahul Jannah. ivermectin used to treat coronavirus Bermula dari tanah wakaf untuk berdirinya Musholla dilingkungan RT, lantas menjadi pusat pendidikan agama Islam seperti sekarang.
Soal kesabaran mendidik anak, mungkin saya jadi bahan orientasinya selama ini. Sejak masuk SMA, Papa seringkali dipanggil oleh Wali Kelas karena beragam kenakalan yang saya buat.
“Nasib dan masa depanmu ada ditangan kamu, bukan pada orang tua. Pilihlah jalan hidupmu yang sekiranya itu baik untuk masa depanmu”, tuturnya padaku, tanpa pernah menunjukkan raut wajah marah.
Begitupun saat kenakalan itu berlanjut. Kesabarannya diuji lagi karena ulahku yang susah payah dibiayainya, untuk studi S1 pada salah-satu universitas swasta terkenal di Kota Malang. Hasilnya dalam waktu tujuh tahun kuliah, tiada gelar sarjana dibelakang namaku.
Saat menginjakkan kaki di depan rumah, Papa langsung menyambut dan menghampiriku. Ia berkata, “Apa rencanamu kedepan?”. Ku tengok wajahnya, lantas ku jawab, “Tidak ada rencana apapun saat ini Pa”. Ku pikir setelah itu akan ada tamparan keras yang mendera pipi, namun ternyata tidak. Papa lantas berkata, “Mulai sekarang, rencanakan dengan matang setiap target yang kau incar. Agar tak terulang kembali, perihal seperti ini”.
Papa memang tidak pernah mengekang anaknya dalam dunia pendidikan. Anak-anaknya tetap diberi kebebasan untuk memilih, perihal-perihal yang dikehendakinya.
Dalam urusan ibadah, Papa adalah orang yang rajin ibadah. Tidak pernah absen sholat lima waktu secara jama’ah di masjid. Perihal sholat tahajud, walau dalam kondisi seperti apapun ia pasti bangun. Seringkali dirinya terlihat tertidur pasa mushola kecil dalam rumah. Jika aku tidak sholat, Papa seakan jadi alarm jam yang berbunyi sebagai pengingat. “Ayo sholat. Jangan hanya pekerjaan yang dipikirkan. oms sobre ivermectina Orang yang sholat akan diberikan ketenangan Eng,” ujar Papa mengingatkan.
Tersadar saat nyamuk menggigit pergelangan tanganku. Papa kini telah tiada, setelah ini jelas sekali tidak ada wejangan-wejangan serta kesabaran yang hadir dalam hidupku seperti selama ini. Aku sangat menyesal, belum bisa membahagiakannya. Papa yang tenang dan bahagia disana!
NB: Penulis sehari-hari bekerja sebagai driver Ojek Online (Ojol) di Situbondo, Jawa Timur. Pegiat literasi pada Gerakan Situbondo Membaca (GSM). Nyaris lulus dari Fakultas Ekonomi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).