“Kak, aku sudah belajar. Tapi kok tetap nggak bisa ya?”
Pertanyaan singkat itu dilontarkan adik saat kami belajar bersama. Sontak membuat saya berpikir akan sesuatu. Bukan karena tidak bisa menjawab, namun jawaban seperti apa yang saya akan berikan untuk anak seumurannya.
Banyak jawaban yang berkecamuk dalam pikiran. Namun, di titik ini saya harus berpikir ulang, mencerna berbagai diksi yang sesuai untuk adik yang masih sibuk dengan pensil dan kertas di tangannya. Sambil berpikir mencari jawaban yang pas, tangan saya mengusap kepalanya yang mungil dengan posisi ia sedang menunduk.
Di ruang tamu, selepas mengaji di mushala sejak Magrib hingga Isya, kebiasaan yang selalu diajarkan oleh orang tua kami yaitu belajar mata pelajaran dari sekolah. Entah itu ada PR ataupun tidak, ibu selalu membiasakan kami untuk membaca dan belajar di malam hari.
Di rumah, saya adalah anak tertua dan memiliki seorang adik. Kami bersaudara sangat berbeda sekali. Tetangga sering bergumam bahwa kami bukanlah saudara. Sebab secara warna kulit kami berbeda, hingga kemampuan yang kami miliki masing-masing jelas sangat kontras.
Bagi saya ini maklum, namanya juga manusia, tidak semua harus seragam. Saya tidak mempermasalahkan perbedaan yang dianugerahkan oleh Allah, sebab itu merupakan ketetapan-Nya. Tetapi, bagi saya adalah sesuatu hal yang salah jika membandingkan hal yang demikian itu.
Misalnya saja begini. Saya terlahir memiliki kemampuan dalam bidang akademik. Sejak kelas 1 SD, saya selalu memperoleh peringkat 1 di kelas. Teman-teman memuji, termasuk para tetangga dan keluarga besar pun demikian. Prestasi semacam ini saya dapatkan 6 tahun berturut-turut. Saya sendiri menganggap pencapaiaan itu biasa-biasa saja.
Namun, hal itu menjadi tidak biasa manakala saya mengalami penurunan prestasi dari yang awalnya peringkat 1, menjadi peringkat 3, dan turun seterusnya. Saya juga sering mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat tingkat sekolah, kecamatan, hingga kabupaten. Capaian prestasi ketika memenangkan lomba dalam bidang akademik tingkat nasional.
Banyak orang yang memuji saya, terlebih ibu dan bapak. Dan itu menjadi kebahagiaan yang sempurna dalam diri saya. Melalui pengalama tersebut, saya dikenal sebagai orang yang memiliki kemampuan akademik mumpuni. Lulus kuliah dengan predikat cumlaude. Diumur saya yang masih 20 tahun, saya kini sudah menempuh pendidikan jenjang magister. Hal ini dikarenakan prestasi yang saya torehkan ketika di sekolah.
Namun, berbeda dengan adik saya, 180 derajat perbedaan terpampang jelas. Ia menempuh pendidikan SD yang sama dengan saya. Namun, pengalaman tidak naik kelas dialaminya bahkan dua kali berturut-turut. Guru-guru membandingkannya dengan saya. Sebagai seorang kakak, otomatis perbedaan itu menjadi sorotan. Bagi saya ini fatal dan akan berdampak buruk terhadap perkembangan adik saya.
Sebagai seorang kakak, saya tidak melihat adik dengan berbeda. Bagi saya, ia tetaplah anak luar biasa. Barangkali ketika saya terus mendekati dan menemaninya dalam belajar, akan melihat kemampuan tak terduga yang akan muncul. Seperti Albert Einstein kecil. Bukankah ia dimasa kecil mengalami keterlambatan dibandingkan dengan teman sebayanya? Namun setelah dewasa, dunia sepakat bahwa ia adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa.
Seperti itulah saya lihat pendidikan disekeliling saat ini. Seolah-olah pengetahuan dan kemampuan diukur dari satu aspek lalu semuanya digeneralisasikan. Kemampuan akademik tidak menjadi satu-satunya standar kemampuan seseorang. Saya mengamini itu. Kalau kita ingat Ivan Illich dalam memberi contoh, mana mungkin binatang yang ada di hutan harus bisa memanjat pohon semuanya. Sedangkan kemampuan memanjat pohon hanya dimiliki kera, ataupun tupai. Sementara gajah, sapi, tidak kemampuan memanjat pohon.
Saya kira contoh gambaran tersebut relevan dengan kondisi saya dengan adik, yakni tidak memiliki kemampuan yang sama.
Lambat laun, saya melihat perbedaan yang signifikan antara saya dengan adik. Pernah sesekali saya kebingungan mengerjakan tugas kreativitas dari kampus. Saya tidak memiliki kemampuan untuk menggambar, membuat karya seni. Bagi saya ini tugas berat yang tidak bisa saya selesaikan sendiri.
Adik saya, ia begitu mahir dengan tangannya membuatkan saya burung dara dari tanah liat. Hasilnya persis. Saya takjub dengan karya hasil tangan adik, dan saya menyebutnya sebagai sebuah karya luar biasa dari seorang anak kecil.
Pernah juga suatu waktu, anak sebayanya membeli bahan eksperimen yang ditugaskan oleh guru sekolah. Sebuah alat komplit yang terdiri dari kabel dan lampu yang dibeli dari sebuah toko elektronik. Adik saya justru membeli alat tersebut secara terpisah dan menggabungkannya sendiri. Uang yang dikeluarkannya pun lebih sedikit dibandingkan teman-temannya.
Saya melihat perbedaan kemampuan yang luar biasa, yang ditonjolkan oleh adik saya. Meski ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang, namun saya selalu mengapresiasi hal kecil yang dilakukan oleh adik saya.
Saya selalu mengatakannya kepada ibu, untuk tidak membandingkan adek dengan saya ataupun dengan orang lain. Bagi saya, hal tersebut hanya akan mengecilkan semangatnya dan meniadakan kemampuan yang ada dalam dirinya.
Sementara saya bilang, adik memiliki kemampuan luar biasa dibandingkan dengan saya. Sebab bahwa setiap anak dilahirkan dengan kemampuannya masing-masing.
Penghargaan atas kemampuan yang dimiliki menjadi bentuk yang harus kita terapkan kepada diri seseorang dalam melakukan berbagai perannya. Dorongan yang diberikan oleh lingkungan sekitar akan menjadikan ia luar biasa akan kemampuan dirinya sendiri. Bukankah sesuatu yang luar biasa berawal dari yang biasa? Tidak ada sesuatu yang tumbuh langsung besar, semua membutuhkan proses panjang untuk menjadi besar.
Tumbuhan saja melewati berbagai proses untuk berbuah. Manusia pun sama, sekecil apa pun kemampuan, jika terus diasah dan terus latihan, semua akan menjadi luar biasa. Pun selalu saya katakan kepada ibu, bahwa kami memiliki kemampuan berbeda yang tidak bisa disamakan. Saya menyebutnya itu adalah bentuk keniscayaan Allah dalam menganugerahkan ibu anak seperti kami. Bahwa perbedaan kemampuan, tidak untuk dibandingkan antara yang satu dengan lain.
Lama setelah saya berpikir, akhirnya saya menemukan jawaban untuk adik. “Dik, Allah menyuruh kita untuk belajar, bukan untuk pintar. Kita hanya diwajibkan berusaha, selebihnya Allah yang Maha Kuasa atas segalanya. Bisa saja kita bodoh hari ini—bukti Allah sayang sama kita, biasakan terus belajar. Nanti meskipun sudah pandai, terus belajar. Karena sudah terbiasa belajar, nanti-nanti juga akan bisa”.
“Jawabannya seperti kata ustad Andi kak, guru yang mengajarkan matematika kemarin”, jawabnya.
Penulis merupakan Mahasiswi asal Sampang. Sedang menyelesaikan studi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta