AswajaNasionalNews

Titik Temu Gus Yahya dan Kyai Said

Oleh: Muhammad Fadllil Kirom*

Saya lebih memilih membahas titik temu daripada titik tengkar. Belakangan ini ada kecenderungan sebagian aktifis memilih jalan “membenturkan” para kandidat calon Ketum PBNU berdasarkan latar belakang organisasi kemahasiswaannya. Pola ini terjadi akibat bias konflik yang terjadi selama orde baru.

Untuk organisasi keagamaan seperti NU yang lahir jauh sebelum organisasi kemahasiswaan seperti PMII dan HMI, pendekatan “sentimen” dan “gengsi” antar alumni PMII dan HMI jelas tidak relevan. Banyak pengamat yang tidak menyadari bahwa basis epistemologis NU itu adalah pesantren. Keilmuan kampus itu hanya menopang dalam mematangkan dinamika NU dengan modernitas atau realitas kekinian.

Sebagai Alumni PMII Unisma Malang tentunya saya berkesempatan untuk mengikuti berbagai pemikiran Yai Said Aqil Siradj. Kebetulan beliau dosen pasca sarjana di kampus Unisma. Saya mengenal beliau setelah beliau kalah di perhelatan muktamar NU tahun 1999 di Lirboyo. Lebih dari 10 kali, kami berdiskusi dengan beliau terutama terkait pemikiran Aswaja sebagai manhajul fikr. Keluasan berpikir beliau, betul-betul menggugah semangat kami untuk terus belajar.

Seiring waktu, Saya aktif di PW Ansor Jateng, dan saya mendapatkan informasi bagaimana peran Gus Yahya dalam mendesain Ansor menjadi organisasi yang sangat aktif menyuarakan Islam rahmatan Lil alamiin sekaligus penjaga NKRI. Jika melihat perkembangan kaderisasi Ansor yang begitu massif dan sistematis dalam 5 tahun terakhir, maka ada peran Gus Yahya di dalamnya.

Kyai Said dan Gus Yahya ini benar-benar dua tokoh panutan anak muda NU. Kedua-duanya adalah kader ideologis Gusdur yang ditempa di era tahun 80an dan 90an. Sebuah era yang penuh tantangan, karena NU berada dalam posisi terpinggirkan oleh kekuasaan Orde baru. Kami tak pernah meragukan militansi dan loyalitas kedua tokoh diatas.

Baca juga:  DINKES KUKAR GELAR AKSI BERGIZI DI 32 TITIK SE-KUKAR

Selain beliau berdua menjadi kader Gusdur, mungkin tidak banyak yang tahu, kalau keduanya alumni pesantren Al Munawwir Krapyak, Jogja. Sebuah pesantren yang melahirkan banyak kyai di penjuru pulau Jawa hingga pelosok Nusantara bahkan di Asia Tenggara. Saya terharu ketika mendengar Gus Yahya Sowan Kepada Kyai Said (-notabene senior) saat menyampaikan niatnya untuk berjuang meneruskan perjuangan Kyai Said. Sikap ini merupakan akhlak pesantren yang jarang ditemui dalam kultur organisasi kemahasiswaan seperti PMII dan HMI.

NU memang organisasi “beyond than”, berdiri tegak tanpa terganggu kepentingan politik partai tertentu, background organisasi kemahasiswaan hingga alumni pesantren. NU membawa misi kemaslahatan bagi seluruh alam, maka NU memiliki tradisi tersendiri dalam memilih calon pemimpinnya. Isyaroh langit hingga pemungutan suara hanyalah asbab/wasilah saja, hakekatnya Allah yang akan memberikan anugerah tipe pemimpin yang paling tepat sesuai zamannya.

Akhirnya saya mengajak Sahabat-sahabat untuk memulai tradisi baru, era disrupsi sosial saat ini harus mengedepankan titik temu atau kolaborasi untuk mewujudkan cita-cita bersama. Alm. Kyai Hasyim Muzadi memberikan contoh regenerasi yang baik kepada Kyai Said setelah beliau memimpin dua periode. Jika pola ini berjalan, mengingat dalam 10 tahun terakhir ini perkembangan dunia digital sangat luar biasa cepat, figur seperti Gus Yahya yang memiliki jaringan internasional yang bagus bisa menjadi penerima tongkat estafet kepemimpinan PBNU yang tepat. Melimpahnya pengkaderan di Ansor bisa dijadikan kekuatan sumber daya penggerak organisasi NU baik di lapangan ekonomi, sosial, budaya, hingga politik.

Akhirnya, tulisan ini hanyalah buih yang tak bermakna di lautan karena memang ditulis oleh warga NU biasa yang tak memiliki otoritas keilmuan yang handal. Tapi, penulis sengaja menulis untuk mewarnai berbagai pendapat yang ramai belakangan ini.

Baca juga:  Kampus STAI Sangatta Akan di Segel Jika Gaji Tidak Segera Dibayarkan

Tentu semua warga NU dan masyarakat Indonesia berharap sinar NU yang teduh mampu menjaga kebhinekaan dan solidaritas kemanusiaan baik di tingkat lokal, nasional dan global, Amiin.

Walahumul Fatikhah untuk Muassis NU….Amiin

NB: Penulis merupakan aktivis NU Provinsi Jawa Tengah. Mantan Presiden BEM Universitas Islam Malang (Unisma) Tahun 2003.

Related Articles

Back to top button